Historis yang Terlupakan
Alhamdulillah, akhir-akhir ini orang merasakan manfaatnya
Nahdlatul Ulama (NU). Dulu, orang yang paling bahagia, paling sering merasakan
berkahnya NU adalah orang yang sudah meninggal: setiap hari dikirimi doa,
tumpeng. Tapi, hari ini begitu dunia dilanda kekacauan, ketika Dunia Islam
galau: di Afganistan perang sesama Islam, di Suriah perang sesama Islam, di
Irak, perang sesama Islam. Semua ingin tahu, ketika semua sudah jebol, kok ada
yang masih utuh: Islam di Indonesia. Akhirnya semua ingin kesini, seperti apa Islam di Indonesia
kok masih utuh. Akhirnya semua sepakat: utuhnya Islam di Indonesia itu karena
memiliki jamiyyah NU. Akhirnya semua pingin tahu NU itu seperti apa.
Ternyata, jaman dulu ada orang belanda yang sudah
menceritakan santri NU, namanya C. Snock
Hurgronje. C. Snock Hurgronje itu hafal Alquran, Sahih Bukhori, Sahih Muslim,
Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul Mu’in , tapi tidak islam, sebab tuganya
menghancurkan Islam Indonesia, karena Islam Indonesia selalu melawan Belanda.
Sultan Hasanuddin, santri. Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, santri.
Sultan Agung, santri. Mbah Zaenal Mustofa, santri. Semua santri kok mewlawan
Belanda.
Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam,
untuk mencari rahasia bagaimana caranya Islam Indonesia ini remuk, namanya C.
Snock Hurgronje. C. Snock Hurgronje masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya
Syekh Abdul Ghaffar. Tapi C. Snock Hurgronje belajar Islam, menghafalkan
Alquran dan Hadis di Arab. Maka akhirnya paham betul Islam. Begitu ke Indonesia, C. Snock Hurgronje bingung: mencari
Islam dengan wajah Islam, tidak ketemu. Ternyata Islam yang dibayangkan dan
dipelajari C. Snock Hurgronje itu tidak ada. Mencari Allah disini tidak ketemu, ketemunya pangeran.
Padahal ada pangeran namanya Pangeran Diponegoro. Mencari istilah shalat tidak
ketemu, ketemunya sembahyang. Mencari syaikhun, ustadzun , tidak ketemu,
ketemunya kiai. Padahal ada nama kerbau namanya kiai slamet. Mencari mushalla
tidak ketemu, ketemunya langgar.
Maka, ketika C. Snock Hurgronje bingung, dibantu Van Der
Plas. Ia menyamar dengan nama Syeh Abdurrahman. Mereka memulai dengan belajar
bahasa Jawa. Karena ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa Indonesia,
bahasa Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa. Begitu belajar bahasa Jawa, mereka bingung,
strees. Orang disini makanannya nasi (sego). C. Snock Hurgronje tahu bahasa
beras itu, bahasa inggrisnya rice, bahasa arabnya ar-ruz . Yang disebut ruz,
ketika di sawah, namanya pari, padi. Disana masih ruz, rice. Begitu padi
dipanen, namanya ulen-ulen, ulenan. Disana masih ruz, rice. Jadi ilmunya sudah
mulai kucluk , konslet. Begitu ditutu, ditumbuk, digiling, mereka masih mahami ruz, rice ,
padahal disini sudah dinamai gabah . Begitu dibuka, disini namanya beras,
disana masih ruz, rice . Begitu bukanya cuil, disini namanya menir , disana
masih ruz, rice . Begitu dimasak, disini sudah dinamai sego , nasi, disana
masih ruz, rice. Begitu diambil cicak satu, disini namanya upa, disana namanya masih ruz, rice . Begitu dibungkus daun
pisang, disini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur kuning namanya ketupat,
sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan ajur, lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz,
rice.
Inilah bangsa aneh, yang membuat C. Snock Hurgronje judeg, pusing. Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam Indonesia dengan tiga hal:
Inilah bangsa aneh, yang membuat C. Snock Hurgronje judeg, pusing. Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam Indonesia dengan tiga hal:
- kethune miring sarunge nglinting (berkopiah miring dan bersarung ngelinting),
- mambu rokok (bau rokok),
- tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit).
Lha , akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham Islam Indonesia. Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus Islam dunia, Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini sari pati (essensi) Islam yang paling baik yang ada di dunia. Kenapa? Karena Islam tumbuhnya tidak disini, tetapi di Arab. Rasulullah orang Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga makanan Arab. Budayanya budaya Arab.Kemudian Islam datang kesini, ke Indonesia. Kalau Islam masuk ke Afrika itu mudah, tidak sulit, karena waktu itu peradaban mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum terdidik itu mudah dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi 20.000 atau mie instan sebungkus, beres. Kalau mengajak orang berpendidikan, sulit, dikasih 10 juta belum tentu mau. Islam datang ke Eropa juga dalam keadaan terpuruk. Tetapi Islam datang kesini, mikir-mikir dulu, karena bangsa sedang dalam kuat-kuatnya. Bangsa anda sekalian itu bukan bangsa kecoak. Ini karena ketika itu sedang ada dalam kekuasaan negara terkuat yang menguasai 2/3 dunia, namanya Majapahit. Majapahit ini bukan negara sembarangan. Universitas terbesar di dunia ada di Majapahit, namanya Nalanda. Hukum politik terbaik dunia yang menjadi rujukan ada di Indonesia, waktu itu ada di Jawa, kitabnya bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya Sutasoma. Bangsa ini tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar dan kaya-kaya.
Cerita surga di Jawa itu tidak laku. Surga itu (dalam
penggambaran Alquran): tajri min tahtihal anhaar (airnya mengalir), seperti
kali. Kata orang disini: “mencari air kok sampai surga segala? Disini itu,
sawah semua airnya mengalir.” Artinya, pasti bukan itu yang diceritakan para
ulama penyebar Islam. Cerita surga tentang buahnya banyak juga tidak, karena
disini juga banyak buah. Artinya dakwah disini tidak mudah. Diceritain
pangeran, orang Jawa sudah punya Sanghyang Widhi. Diceritain ka’bah orang jawa
juga sudah punya stupa: sama-sama batunya dan tengahnya sama berlubangnya.
Dijelaskan menggunakan tugu Jabal Rahmah, orang Jawa punya Lingga Yoni.
Dijelaskan memakai hari raya kurban, orang Jawa punya peringatan hari raya
kedri.
Sudah lengkap. Islam datang membawa harta-benda, orang Jawa juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa beragama hindu. Hindu itu, orang kok ngurusin dunia, kastanya keempat: Sudra. Yang boleh bicara agama adalah orang Brahmana, kasta yang sudah tidak membicarakan dunia. Dibawah Brahmana ada kasta Ksatria, seperti kalau sekarang bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin dunia. Dibawah itu ada kasta namanya Wesya (Waisya), kastanya pegawai negeri. Kasta ini tidak boleh bicara agama. Dibawah itu ada petani, pedagang dan saudagar, ini kastanya Sudra . Kasta ini juga tidak boleh bicara agama. Jadi kalau ada cerita Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa dterima akal. Secara teori ilmu pengetahuan ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra tidak boleh bicara soal agama. Yang cerita Islam dibawa saudagar ini karena saking judeg-nya, bingungnya memahami Islam di Indonesia. Dibawahnya ada kasta Paria , yang hidup dengan meminta, mengemis. Dibawah Paria ada pencopet, namanya kasta Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta Mlecca. Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.
Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait dengan Nahdlatul Ulama. Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu bagusnya, mencoba diislamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini. Namun mereka menghadapi masalah, karena orang-orang disini mau memakan manusia. Namanya aliran Bhairawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa atau murco. Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil dan menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya. Lha ini terus menjadi jenglot atau batara karang. Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk gagal moksa.
Akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah, namanya
ilmu ngrogoh sukmo. Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari ajar
dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, mengajarkan Pancamakara.
Supaya bisa ngrogoh sukmo , semua sahwat badan dikenyangi, laki-laki perempuan
melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung daging manusia. Supaya syahwat
bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di
Gunung Kemukus. Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang,
tidak banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan
tidak bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau tumbuh Sumanto. Ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo , ketika sukmanya pergi di ajak mencuri
namanya ngepet. Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika sukmanya diajak pergi diajak mencintai
wanita namanya pelet. Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet .
1500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis di-ingkung oleh orang Jawa. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka dari Turki Utsmani mengirim kembali ulama dari Iran, yang tidak bisa dimakan orang Jawa, namanya Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh Subakir. Di Jawa ini di duduki Syekh Subakir, kemudian mereka diusir, ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di namai Banten, di ambil dari bahasa Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro. Karena Syekh Subakir sepuh, dilanjutkan kedua muridnya namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim Asmoroqondi), melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu menyerah, anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak, melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik. Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah menyerah, melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang, arak diganti air biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh sukmo diganti kalimat tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat tumpengan. Kalau ada orang banyak komentar mem- bid’ah -kan, diceritain ini. kalau ngeyel , didatangi: tapuk mulutnya. Ini perlu diruntutkan, karena NU termasuk yang masih mengurusi beginian.
1500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis di-ingkung oleh orang Jawa. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka dari Turki Utsmani mengirim kembali ulama dari Iran, yang tidak bisa dimakan orang Jawa, namanya Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh Subakir. Di Jawa ini di duduki Syekh Subakir, kemudian mereka diusir, ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di namai Banten, di ambil dari bahasa Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro. Karena Syekh Subakir sepuh, dilanjutkan kedua muridnya namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim Asmoroqondi), melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu menyerah, anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak, melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik. Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah menyerah, melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang, arak diganti air biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh sukmo diganti kalimat tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat tumpengan. Kalau ada orang banyak komentar mem- bid’ah -kan, diceritain ini. kalau ngeyel , didatangi: tapuk mulutnya. Ini perlu diruntutkan, karena NU termasuk yang masih mengurusi beginian.
Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya
Sayyid Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di (daerah) Merapi. Orang Jawa
sulit mengucapkan, maka menyebutnya Syekh Jumadil Kubro. Disana punya murid
namanya Syamsuddin, pindah ke Jawa Barat, membuat pesantren puro di daerah
Karawang. Punya murid bernama Datuk Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon.
Punya murid Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas
mengislamkan Padjajaran. Maka ada Rara Santang, Kian Santang dan
Walangsungsang.
Nah , Syekh Jumadil Kubro punya putra punya anak bernama
Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoroqondi, bapaknya Walisongo. Mbah Ishak
melahirkan Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang
bertugas mengislamkan Majapahit. Mengislamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit orangnya
pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat sawah ditanami
padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda begitu, pohon pisang anda bisa
ditebang.
Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya beliau mendapat petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath, 48:29 disebutkan:
Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya beliau mendapat petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath, 48:29 disebutkan:
“……………. masaluhum fit tawrat wa masaluhum fil injil ka zar’in ahraja sat’ahu fa azarahu fastagladza fastawa ‘ala sukıhi yu’jibuz zurraa, li yagidza bihimul kuffar………”Artinya: “…………Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)……………”
Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya,
kemudian hamil, kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar,
menakuti orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya
hamil? Jawabannya adalah padi. Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam
seperti menanam padi. Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi dibawah
tanah, kalau diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.
Mau menanam Allah, disini sudah ada istilah pangeran. Mau
menanam shalat, disini sudah ada istilah sembahyang. Mau mananam syaikhun, ustadzun, disini sudah ada kiai. Menanam
tilmidzun, muridun , disini sudah ada shastri, kemudian dinamani santri. Inilah
ulama dulu, menanamnya tidak kelihatan. Kalau sekarang dibalik: akhi, ukhti. Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit:
kalimat syahadat, jadi kalimasada. Syahadatain, jadi sekaten. Mushalla, jadi
langgar. Sampai itu jadi bahasa masyarakat.
Yang paling sulit mememberi pengertian orang Jawa tentang
mati. Kalau Hindu kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati (tidak
kembali ke dunia). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan. Ini pekerjaan
paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena ini prinsip. Prinsip
inna lillahi wa inna ilaihi rajiun berhadapan dengan reinkarnasi. Bagaimana
caranya? Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun kemudian
di-Jawa-kan: Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi . Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa
suka tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan: mengajarkan
hal yang sulit itu dengan tembang.
Orang Jawa memang begitu, mudah hafal dengan tembang. Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak lapor polisi, tapi nyanyi: ndang baliyo, Sri, ndang baliyo. Lihat lintang, nyanyi: yen ing tawang ono lintang, cah ayu. Lihat bebek, nyanyi: bebek adus kali nucuki sabun wangi. Lihat enthok:menthok, menthok, tak kandhani, mung rupamu. Orang Jawa suka nyanyi, itulah yang jadi pelajaran. Bahkan, lihat silit (pantat) saja nyanyi: … ndemok silit, gudighen.
Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit, berat, itu
ditembangkan. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan dalam bentuk
tembang bernama Macapat . Apa artinya Macapat? Bahwa orang hidup harus bisa
membaca perkara Empat. Keempat itu adalah teman nyawa yang berada dalam raga
ketika turun di dunia. Nyawa itu produk akhirat. Kalau raga produk dunia.
Produk dunia makanannya dunia, seperti makan. Yang dimakan, sampah padatnya
keluar lewat pintu belakang, yang cair keluar lewat pintu depan. Ada sari
makanan yang disimpan, namanya mani (sperma). Kalau mani ini penuh, bapak akan
mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian dicampur dan dititipkan di rahim ibu.
Tiga bulan jadi segumpal darah, empat bulan jadi segumpal daging. Inilah produk
dunia. Begitu jadi segumpal daging, nyawa dipanggil. “Dul, turun ya,”. “Iya, Ya
Allah”. “Alastu birabbikum?” (apakah kamu lupa kalau aku Tuhanmu?). “Qalu balaa
sahidnya,” (Iya Ya Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab sang nyawa,. ”fanfuhur
ruuh” (maka ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka daging itu menjadi hidup.
Kalau tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging ini. (lihat, a.l.: Q.S. Al-A’raf,
7:172, As-Sajdah: 7 -10, Al-Mu’min: 67, ed. )
Kemudian, setelah sembilan bulan, ruh itu keluar dengan
bungkusnya, yaitu jasad. Adapun jasadnya sesuai dengan orang tuangya: kalau
orang tuanya pesek anaknya ya pesek; orang tuanya hidungnya mancung anaknya ya
mancung; orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya ganteng dan
cantik, lahirnya ya cantik dan ganteng. Itu disebut Tembang Mocopat: orang hidup harus membaca
perkara empat. Keempat itu adalah teman nyawa yang menyertai manusia ke dunia,
ada di dalam jasad. Nyawa itu ditemani empat: dua adalah Iblis yang bertugas
menyesatkan, dan dua malaikat yang bertugas nggandoli, menahan. Jin qarin dan
hafadzah . Itu oleh Sunan Ampel disebut Dulur Papat Limo Pancer. Ini metode
mengajar.
Maka pancer ini kalau mau butuh apa-apa bisa memapakai dulur tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau pancer kok ingin istri cantik, memakai jalan kanan, yang di baca Ya Rahmanu Ya Rahimu tujuh hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta. Tidak mau dulur tengen, ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Jaran Goyang , ya si wanita jadinya cinta, sama saja. Kepingin perkasa, kalau memakai kanan yang dipakai kalimah La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim. Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Bondowoso, kemudian bisa perkasa. Mau kaya kalau memakai jalan kanan ya shalat dhuha dan membaca Ya Fattaahu Ya Razzaaqu, kaya. Kalau tidak mau jalan kanan ya jalan kiri, membawa kambing kendhit naik ke gunung kawi, nanti pulang kaya.
Maka, kiai dengan dukun itu sama; sama hebatnya kalau
tirakatnya kuat. Kiai yang ‘alim dengan dukun yang tak pernah mandi, jika sama
tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa mencari barang hilang. Sama
terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu dan satunya terang rumah terbakar.
Satu mencari ayam dengan lampu senter, ayamnya ketemu dan senternya utuh;
sedangkan yang satu mencari dengan blarak (daun kelapa kering yang dibakar),
ayamnya ketemu, hanya blarak-nya habis terbakar. Itu bedanya nur dengan nar .
Maka manusia ini jalannya dijalankan seperti tembang yang awalan, Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo, sabut ngapati, mitoni, ini rohaninya, jasmaninya ketika dipasrahkan bidan untuk imunisasi. Maka menurut NU ada ngapati, mitoni, karena itu turunnya nyawa.
Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang Mijil. Bakal Mijil : lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir laki-laki
aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu.
Setelah Mijil , tembangnya Kinanti . Anak-anak kecil itu,
bekalilah dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul. Masukkan ke TPQ,
ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji, malah main
layangan, potong saja benangnya. Waktu ngaji kok malah mancing, potong saja
kailnya. Anak Kinanti ini waktunya sekolah dan ngaji. Dibekali dengan
agama, akhlak. Kalau tidak, nanti keburu masuk tembang Sinom: bakal menjadi
anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek , bandel.
Apalagi, setelah Sinom, tembangnya Asmorodono, mulai jatuh cinta. Tai kucing serasa coklat.
Tidak bisa di nasehati. Setelah itu manusia disusul tembang Gambuh , laki-laki dan
perempuan bakal membangun rumah tangga, rabi, menikah.
Setelah Gambuh, adalah tembang Dhandanggula. Merasakan manis dan pahitnya kehidupan.
Setelah Dhandanggula , menurut Mbah Ampel, manusia mengalami
tembang Dhurma. Dhurma itu: darma bakti hidupmu itu apa? Kalau pohon mangga
setelah berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang berbuah bisa untuk
makanan burung, lha buah-mu itu apa? Tenagamu mana? Hartamu mana? Ilmumu mana
yang didarmabaktikan untuk orang lain?
Khairunnas anfa’uhum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya.
Sebab, kalau sudah di Dhurma tapi tidak darma bakti, kesusul
tembang Pangkur. Anak manusia yang sudah memunggungi dunia: gigi
sudah copot, kaki sudah linu. Ini harus sudah masuk masjid. Kalau tidak segera
masuk masjid kesusul tembang Megatruh : megat, memutus raga beserta sukmanya.
Mati.
Terakhir, tembangnya Pucung . Lha ini, kalau Hindu
reinkarnasi, kalau Islam Pucung . Manusia di pocong. Sluku-sluku Bathok, dimasukkan pintu kecil. Makanya orang
tua (dalam Jawa) dinamai buyut , maksudnya : siap-siap mlebu lawang ciut
(siap-siap masuk pintu kecil). Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia?
Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nakir. Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: “Man rabbuka?” , dijawab: “Awwloh,”. Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir, karena tidak bisa mengucapkan Allah. Ketika ingin disaduk, Malaikat Rakib menghentikan: “Jangan disiksa, ini lidah Jawa”. Tidak punya alif, ba, ta, punyanya ha, na, ca, ra, ka . “Apa sudah mau ngaji?”kata Mungkar – Nakir. “Sudah, ini ada catatanya, NU juga ikut, namun belum bisa sudah meninggal”. “Yasudah, meninggalnya orang yang sedang belajar, mengaji, meninggal yang dimaafkan oleh Allah.”
Maka, seperti ini itu belajar. Kalau tidak mau belajar, ditanya, “Man rabbuka?” , menjawab, “Ha……..???”. langsung dipukul kepalanya:”Plaakkk!!”. Di- canggah lehernya oleh malaikat. Kemudian jadi wareng , takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, di- udek oleh malaikat, di-gantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti tarangan bodhol, ajur mumur seperti gedhebok bosok. Maka, pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak – simbah – mbah buyut – canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – tarangan bodol – gedhebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti ini ada yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tapuk mulutnya!
Begitu tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian
tidak ada musiknya. Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelok :
nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang, gung . Nang
ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini ya disana); ya disini
ngaji, ya disana mencuri kayu. Lho, lha ini orang-orang kok. Ya seperti disini
ini: kelihatannya disini shalawatan, nanti pulang lihat pantat ya bilang: wow!.
Sudah hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini kan kamu pas pakai baju putih.
Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos Slank.
Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana. Kalau pingin akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang balik ke Sanghyang Agung. Fafirru illallaah, kembalilah kepada Allah. Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan Bonang.
Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, dibuatkan
tumpeng agar bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh dengan tiga air
bunga: mawar, kenanga dan kanthil. Maksudnya: uripmu mawarno-warno, keno ngono
keno ngene, ning atimu kudhu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni,
boleh seperti ini seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut kepada Allah). Lho ,
ini piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga, yang
belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh Siti Jenar,
yang belum sembahyang, diajari syahadat saja. Ketika tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin
tahu: tanamanku itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang Lir Ilir
, tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo royo-royo, ayo
menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu sanopo lambang shalat. Disini itu, apa-apa dengan lambang, simbol: kolo-kolo teko,
janur gunung. Udan grimis panas-panas , caping gunung. Blimbing itu bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek
blimbing . Tidak cah angon ayo memanjat mangga.
Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak shalat, kita beda. Disana, shalat ‘imaadudin , lha shalat disini, tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun. Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil jam segitu masih disawah, di kebung, angon bebek, masih nyuri kayu. Maka manggilnya pukul setengah dua.
Adzanlah muadzin, orang yang adzan. Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang. Padahal tugas imam adalah menunggu makmum. Ditunggu memakai pujian. Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana, – sambil tolah-toleh, mana ini makmumnya – wainlam taghfirlana, wa tarhamna lanakunanna minal khasirin. Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid. Tidak masuk.
Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak shalat, kita beda. Disana, shalat ‘imaadudin , lha shalat disini, tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun. Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil jam segitu masih disawah, di kebung, angon bebek, masih nyuri kayu. Maka manggilnya pukul setengah dua.
Adzanlah muadzin, orang yang adzan. Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang. Padahal tugas imam adalah menunggu makmum. Ditunggu memakai pujian. Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana, – sambil tolah-toleh, mana ini makmumnya – wainlam taghfirlana, wa tarhamna lanakunanna minal khasirin. Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid. Tidak masuk.
Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang perkoro…...
Sampai pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima kali kok tidak
datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: di urugi
anjang-anjang……., langsung deh, para makmum buruan masuk. Itu tumbuhnya dari
situ.
Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga tidak sama.
Shalat disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda. Begitu Allau Akbar ,
matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya bocor, ting-ting-ting, ada
penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya membaca surat kepanjangan. Nah,
ini ditambal oleh para wali, setelah shalat diajak dzikir, laailaahaillallah.
Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya gedek-gedek, geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho , sahabat
kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang sini, di ajak
dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaanya dilantunkan dengan keras, agar
makmum tahu apa yang sedang dibaca imam. Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal nabi,
karena nabi ada jauh disana. Kenalnya Gatot Kaca. Maka pelan-pelan dikenalkan
nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan dengan syair:
kanjeng Nabi Muhammad,lahir ono ing Mekkah,dinone senen,rolas mulud tahun gajah .
Inilah cara ulama-ulama dulu mengajarkan Islam, agar
masyarakat disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang
banyak (tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil
‘aalamiin; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi
rahmat bagi alam semesta.
Maka, shalawat itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda. Ada yang sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran kalau shalawat itu bermacam-macam. Ini beda dengan wayang yang hanya dimiliki orang Jawa. Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia, pasti bingung. Maka Gus Dur melantunkan shalawat memakai lagu dangdut. Astaghfirullah, rabbal baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini lagunya Ida Laila: Tuhan pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang sayang. Yang mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir. Nama grupnya Awara. Ida Laila ini termasuk Qari’ terbaik dari Gresik. Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang yang mendengarnya malah bikin kepala pusing.
Sistem pembelajaran yang seperti ini, yang dilakukan oleh
para wali. Akhirnya orang Jawa mulai paham Islam.
Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran: menerapkan Islam dengan hukum, tidak dengan budaya. “Urusanmu kan bukan urusan agama, tetapi urusan negara,” kata Sunan Kalijaga. “Untuk urusan agama, mengaji, biarlah saya yang mengajari,” imbuhnya. Namun Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang tidak sesuai dan tidak menerima Islam diuber-uber. Kemudian Sunan Kalijaga memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian:
Gundul-gundul pacul, gembelengan
Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x
Gundul itu kepala. Kepala itu ro’sun . Ro’sun itu pemimpin. Pemimpin itu ketempatan empat hal:
mata, hidung, lidah dan telinga. Empat hal itu tidak boleh lepas. Kalau sampai
empat ini lepas, bubar. Mata kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung
lepas sudah tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak mendengar
rakyat. Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah
tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan. Kalau kepala memangku
amanah rakyat kok gembelengan, menjadikan wangkul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun
jabatannya, jika nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja
Gundul-gundul pacul. Inilah cara orang dulu, landai.
Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara orang Jawa
dalam ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada Sunan
Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung Bawakaraeng, menjadilah
cikal bakal Islam di Sulawesi. Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di penjuru
Sulawesi. Khatib Dayan belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.
Ketika kembali ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan.
Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera bagian
selatan,menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera.
Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda. Ketika Belanda pergi, bersepakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya tinggalan para wali. Jadi, jika anda meneruskan agamanya, jangan lupa kita ditinggali wilayah. Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun wilayah, adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati.
Maka di mana di dunia ini, yang menyebut daerahnya dengan nama wilayah? Di dunia tidak ada yang bisa mengambil istilah: kullukum roo’in wa kullukum mas uulun ‘an ro’iyatih; bahwa Rasulullah mengajarkan hidup di dunia dalam kekuasaan ada pertanggungjawaban. Dan yang bertanggungjawab dan dipertanggungjawabi disebut ro’iyyah . Hanya Indonesia yang menyebut penduduknya dengan sebutan ro’iyyah atau rakyat. Begini kok banyak yang bilang tidak Islam.
Nah , sistem perjuangan seperti ini diteruskan oleh para
ulama Indonesia. Orang-orang yang meneruskan sistem para wali ini, dzaahiran wa baatinan, akhirnya mendirikan sebuah
organisasi yang dikenal dengan nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama. Dan kenapa yang
menyelamatkan Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama Nahdlatul
Ulama. Nama inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul Ulama, orang
tahu kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya muridnya ulama.
Meski, nama ini tidak gagah. KH. Ahmad Dahlah menamai organisasinya
Muhammadiyyah: pengikut Nabi Muhammad, gagah. Ada lagi organisasi, namanya Syarekat
Islam, gagah. Yang baru ada Majelis Tafsir Alquran, gagah namanya. Lha ini
“hanya” Nahdlatul Ulama. Padahal ulama kalau di desa juga ada yang hutang
rokok. Tapi Nahdlatul Ulama ini yang menyelamatkan, sebab kedudukan
kita hari ini hanya muridnya ulama. Yang membawa Islam itu Kanjeng Nabi. Murid
Nabi namanya Sahabat. Murid sahabat namanya tabi’in . Tabi’in bukan ashhabus-shahabat , tetapi tabi’in, maknanya
pengikut. Murid Tabi’in namanya tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikut.
Muridnya tabi’it-tabi’in namanya tabi’it-tabi’it-tabi’in, pengikutnya pengikutnya pengikut.
Lha kalau kita semua ini namanya apa?
Kita muridnya KH Hasyim Asy’ari. Lha KH Hasyim Asy’ari hanya muridnya Kiai Asyari. Kiai
Asyari mengikuti gurunya, namanya Kiai Usman. Kiai Usman mengikuti gurunya
namanya Kiai Khoiron, Purwodadi (Mbah Gareng). Kiai Khoiron murid Kiai Abdul
Halim, Boyolali. Mbah Abdul Halim murid Kiai Abdul Wahid. Mbah Abdul Wahid itu
murid Mbah Sufyan. Mbah Sufyan murid Mbah Jabbar, Tuban. Mbah Jabbar murid Mbah
Abdur Rahman, murid Pangeran Sambuh, murid Pangeran Benowo, murid Mbah
Tjokrojoyo, Sunan Geseng. Sunan Geseng hanya murid Sunan Kalijaga, murid Sunan
Bonang, murid Sunan Ampel, murid Mbah Ibrahim Asmoroqondi, murid Syekh Jumadil
Kubro, murid Sayyid Ahmad, murid Sayyid Ahmad Jalaludin, murid Sayyid Abdul
Malik, murid Sayyid Alawi Ammil Faqih, murid Syekh Ahmad Shohib Mirbath, murid
Sayyid Ali Kholiq Qosam, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid
Alwi, murid Sayyid Ahmad Al-Muhajir, murid Sayyid Isa An-Naquib, murid Sayyid
Ubaidillah, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Ali Uraidi, murid Sayyid Ja’far
Shodiq, murid Sayyid Musa Kadzim, murid Sayyid Muhammad Baqir. Sayyid Muhammad
Baqir hanya murid Sayyid Zaenal Abidin, murid Sayyidina Hasan – Husain, murid
Sayiidina Ali karramallahu wajhah . Nah, ini yang baru muridnya Rasulullah saw.
Kalau begini nama kita apa? Namanya ya
tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit…, yang panjang sekali. Maka cara
mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami. Rasulullah itu muridnya bernama sahabat, tidak diajari
menulis Alquran. Maka tidak ada mushaf Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika
sahabat ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran. Untuk siapa? Untuk
para tabi’in yang tidak bertemu Alquran. Maka ditulislah Alquran di jaman
Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman. Tetapi begitu para sahabat wafat, tabi’in harus mengajari dibawahnya. Mushaf Alquran yang
ditulis sahabat terlalu tinggi, hurufnya rumit tidak bisa dibaca. Maka pada
tahun 65 hijriyyah diberi tanda “titik” oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar
supaya bisa dibaca. Tabiin wafat, tabi’it tabi’in mengajarkan yang dibawahnya.
Titik tidak cukup, kemudian diberi “harakat” oleh Syekh Kholil bin Ahmad
al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 hijriyyah Kemudian Islam semakin menyebar ke penjuru negeri, sehingga
Alquran semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai suku dan ras. Orang
Andalusia diajari “Waddluha” keluarnya “Waddluhe”. Orang Turki diajari “Mustaqiim” keluarnya “Mustaqiin”. Orang Padang, Sumatera Barat, diajari “Lakanuud ” keluarnya “Lekenuuik ”. Orang Sunda diajari “Alladziina ”
keluarnya “Alat Zina”. Di Jawa diajari “Alhamdu” jadinya “ Alkamdu ”, karena
punyanya ha na ca ra ka. Diajari “ Ya Hayyu Ya Qayyum ” keluarnya “Yo Kayuku Yo Kayumu”. Diajari “ Rabbil ‘Aalamin ” keluarnya “Robbil
Ngaalamin” karena punyanya ma ga ba tha nga . Orang Jawa tidak punya huruf “Dlot ” punyanya “ La ”, maka “ Ramadlan ” jadi “ Ramelan ”. Orang Bali disuruh
membunyikan “ Shiraathal…” bunyinya “ Sirotholladzina an’amtha ‘alaihim ghairil
magedu bi’alaihim waladthoilliin ”. Di Sulawesi, “’ Alaihim” keluarnya “’
Alaihing ”.
Karena perbedaan logat lidah ini, maka pada tahun 250
hijriyyah, seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid fi Qiraatil Quran ,
namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam. Ini yang kadang orang tidak paham pangkat dan tingkatan
kita. Makanya tidak usah pada ribut. Murid ulama itu beda dengan murid
Rasulullah. Murid Rasulullah, ketika dzikir dan diam, hatinya “online” langsung
kepada Allah SWT. Kalau kita semua dzikir dan diam, malah jadinya tidur. Maka disini, di Nusantara ini, jangan heran. Ibadah Haji,
kalau orang Arab langsung lari ke Ka’bah. Muridnya ulama dibangunkan Ka’bah
palsu di alun-alun, dari triplek atau kardus, namanya manasik haji. Nanti
ketika hendak berangkat haji diantar orang se-kampung. Yang mau haji diantar ke
asrama haji, yang mengantar pulangnya belok ke kebun binatang. Ini cara
pembelajaran. Ini sudah murid ulama. Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa
Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai
dengan hukum pelajarannya ulama.
Anda sekalian disuruh dzikir di rumah, takkan mau dzikir,
karena muridnya ulama . Lha wong dikumpulkan saja lama kelamaan tidur. Ini
makanya murid ulama dikumpulkan, di ajak berdzikir. Begitu tidur, matanya tidak
dzikir, mulutnya tidak dzikir, tetapi, pantat yang duduk di majelis dzikir,
tetap dzikir. Nantinya, di akhirat ketika “wa tasyhadu arjuluhum”, ada saksinya.
Orang disini, ketika disuruh membaca Alquran, tidak semua dapat membaca Alquran. Maka diadakan semaan Alquran. Mulut tidak bisa membaca, mata tidak bisa membaca, tetapi telinga bisa mendengarkan lantunan Alquran. Begitu dihisab mulutnya kosong, matanya kosong, di telinga ada Alqurannya. Maka, jika bukan orang Indonesia, takkan mengerti Islam Indonesia. Mereka tidak paham, oleh karena, seakan-akan, para ulama dulu tidak serius dalam menanam. Sahadatain jadi sekaten . Kalimah sahadat jadi kalimosodo. Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo Kayuku Yo Kayumu. Ini terkesan ulama dahulu tidak ‘alim . Ibarat pedagang, seperti pengecer. Tetapi, lima ratus tahun kemudian tumbuh subur menjadi Islam Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia. Orang shalat terbanyak dari Indonesia. Orang membaca Alquran terbanyak dari Indonesia. Dan Islam yang datang belakangan ini gayanya seperti grosir: islam kaaffah, begitu diikuti, mencuri sapi.
Dilihat dari sini, saya meminta, Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia, jangan sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama menanamkan benih teroris. Teroris tidak mungkin tumbuh dari Nahdlatul Ulama, karena Nahdlatul Ulama lahir dari Bangsa Indonesia. Tidak ada ceritanya Banser kok ngebom disini, sungkan dengan makam gurunya. Mau ngebom di Tuban, tidak enak dengan Mbah Sunan Bonang. Saya yang menjamin. Ini pernah saya katakan kepada Panglima TNI. Maka, anda lihat teroris di seluruh Indonesia, tidak ada satupun anak warga jamiyyah Nahdlatul Ulama.
Maka, Nahdlatul Ulama hari ini menjadi organisasi terbesar di dunia. Dari Muktamar Makassar jamaahnya sekitar 80 juta, sekarang di kisaran 120 juta. Yang lain dari 20 juta turun menjadi 15 juta. Kita santai saja. Lama-lama mereka tidak kuat, seluruh tubuh kok ditutup kecuali matanya. Ya kalau pas jualan tahu, lha kalau pasnderep di sawah bagaimana. Jadi kita santai saja. Kita tidak pernah melupakan sanad, urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama agar tidak keliru dalam mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad saw.
Tulisan ini adalah resume ceramah Kiai Ahmad Muwaffiq (PWNU
DIY) di Halaman TPQ Matholi’ul Falah, Dk. Pesantren, Ds. Sembongin, Kec.
Banjarejo, Kab. Blora, Jawa Tengah, pada 06 Agustus 2016. Dialihtuliskan dan
diedit oleh Ahmad Naufa Khoirul Faizun, pengelola blog ahmadnaufa.wordpress.com, Wakil Sekretaris PC GP Ansor
Kabupaten Purworejo, selesai pada 19 Desember 2016.
Post a Comment for "Historis yang Terlupakan"