Islam: Punyakah Konsep Kenegaraan?
Oleh : KH. Abdurrahman Wahid
Salah satu yang menarik dari peng-angkatan para menteri Kabinet Pembangunan IV adalah nama Munawir Djadzali untuk jabatan menteri agama. Karena ia menggabungkan dalam dirinya beberapa latar belakang: pendidikan agama semasa muda, perhatian ilmiah tentang Islam (melalui kajian di luar negeri) dan karir diplomatik.Seolah-olah, dengan itu terkumpul beberapa unsur yang akan saling membantu. Pendidikan agama untuk ’’menyambungkan diri” dengan umat beragama yang diwakilinya, perhatian ilmiah tentang Islam yang akan membawakan semacam ’’kecendekiawanan” ke dalam fungsi jabatan yang dipegangnya nanti, dan karir diplomatik yang memberi kelengkapan mencapai sasaran secara lancer dan halus, tanpa gejolak apa-apa di kalangan umat.
Di antara hal yang patut diamati adalah
kenyataan ia menulis tesisnya untuk mencapai gelar Master of Art tentang
ada-tidaknya konsep kenegaraan dalam Islam. Penulis sendiri belum pemah
membacanya, namun jelas masalah itu sangat menarik. Apalagi kalau ditangani
seorang diplomat yang di kemudian harinya menjadi menteri agama. Mengapa?
Karena justru masalah tersebut titik pusat perhatian gerakan Islam di seluruh
dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Ali Abdel Raziq di Mesir dalam tahun empat
puluhan menulis buku Al-Islatn wa Qawa’id Al-Sulthan (Islam dan Sendi-sendi
Kekuasaan), yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Islam
and the Bases of Power. Dalam buku itu, ia menyangkal adanya kerangka
kenegaraan dalam Islam. Al-Qur'an tidak pemah menyebut-nyebut sebuah ’’negara
Islam” (daulat islamiah, an Islamic state), katanya. Hanya menyebut
negara ” yang baik, penuh pengampunan Tuhan” (baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafur).
Ucapan itu, di waktu itu, dan di Mesir pula,
mengundang reaksi keras para ulama Al-Azhar. Akibatnya? Ia dikeluarkan dari
pekerjaan yang ’’berurusan dengan Islam dan kepentingan umum” (public
offices). Bukunya disita, pikirannya diberangus, dan akhimya ia terlempar
ke Akademi Bahasa Arab.
Mengapa begitu keras reaksinya? Karena, dengan
demikian, ia menerima gagasan sekularisme: agama tidak memiliki sangkut-paut
dengan masalah kenegaraan. Sebuah pandangan yang diametral bertentangan dengan
pandangan umat (Al-Azhar ). Padahal, ia telah mengajukan argumentasi yang cukup
kuat dan masuk akal. Pertama, katanya, dalam Al-Qur'an tidak pemah ada
doktrin. Kedua, perilaku Nabi Muhammad sendiri tidak memperlihatkan
watak politis, melainkan moral. Ketiga, Nabi tidak pemah merumuskan
secara definitif mekanisme penggantian jabatannya.
Kalau memang Nabi menghendaki berdirinya
sebuah ’’negara Islam”, mustahil masalah suksesi kepemimpinan dan peralihan
kekuasaan tidak dirumuskan secara formal. Nabi cuma memerintahkan
"bermusyawarahlah kalian dalam persoalan". Masalah sepenting itu
bukannya dilembagakan secara konkret, melainkan dicukupkan dengan sebuah diktum
saja, yaitu: ’’masalah mereka (haruslah) dimusyawarahkan antara mereka” . Mana
ada negara dengan bentuk seperti itu?
Memang, sampai saat ini belum jua dicapai kata
akhir. Di Indonesia, kita semua berasas tunggal politik dalam bentuk Pancasila.
Di Iran, secara definitif didirikan republik Islam. Di Aljazair, sebuah negara
’’Arab sosialis” menyatakan secara formal dalam undang-undang dasamya bahwa
agama resmi Negara adalah Islam. Di Arab Saudi dinyatakan Al-Qur'an sebagai
konstitusi, walaupun negaranya sendiri bukan ’’negara Islam” formal. Sangat
beragam. Ada yang menganggap sebuah negara telah memiliki ’’watak Islam” kalau
inti ajaran Islam telah diakui - seperti keesaan Tuhan. Islam berfungsi
inspirasional: menjadi sumber yang mendorong munculnya legislasi dan pengaturan
negara yang manusiawi, namun tidak menentang ajaran Islam. Katakanlah pandangan
’’minimalis”. Sebaliknya, ada pula kehendak ’’optimalis” yang menginginkan
ajaran Islam dilaksanakan sepenuhnya dan, kalau dapat, secara harfiah. Sebuah
negara’’masih harus diislamkan” kalau belum benar-benar ’’Islam secara tuntas”.
Hanya saja, strategi yang ditempuh membagi
pula pandangan itu ke dalam dua pandangan lanjutan. Yang menginginkan
ketuntasan dicapai dalam esensi, tanpa mementingkan bentuk formal dan yang
menuntut formalisasi bentuk kenegaraan sebagai syarat utama, seperti dilakukan
oleh Khomeini. Untuk masyarakat seperti Indonesia, jawaban atas pertanyaan
tersebut sering harus dicari melalui proses ’’hilang-hilang timbul”. Tidak dibicarakan
terbuka, namun dalam memberikan tafsiran atas ideologi tunggal negara.
Memang, tidak mudah membicarakan ada-tidaknya
konsep kenegaraan dalam Islam. Di samping kesulitan politis dan lain-lain, ada
juga sebuah kesulitan yang sebenarnya teknis: belum adanya kesamaan pemahaman
atas istilah-istilah yang digunakan. Umpama saja "konsep”. Apa yang
dimaksud? Sebuah teori kenegaraan yang lengkap, tuntas dan terperinci, yang
sama sekali berbeda dari teori-teori lain (seperti teori ekonomi marxis berbeda
dari teori ekonomi kapitalis)? Kalau itu, jelas belum ada. Ataukah pandangan
bagaimana mengatur negara dalam garis besamya, dengan kata lain "wawasan
kenegaraan” ? Kalau itu, dapat segera dibuat.
Ada kesulitan akibat perbedaan yang dimaksud
dengan "konsep” itu. Misalnya, apakah yang dimaksud dengan ’’pandangan
Islam tentang negara” hanya nilai-nilai dasar yang melandasi berdirinya sebuah
negara? Ataukah norma-norma formal yang mengatur kehidupan di dalamnya? Atau
kelembagaan yang ditegakkan di dalamnya? Atau gabungan ketiga-tiganya? Selama
tidak ada kejelasan tentang hal-hal di atas, sebenamya sia-sia saja diajukan
klaim bahwa Islam memiliki konsep kenegaraan.
26 Maret 1983
Tulisan ini diambil sepenuhnya dari buku
Melawan Melalui Lelucon: Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di Tempo, Jakarta:
Pusat Data dan Analisa Tempo, 2000 oleh : santrigursdur.com
Post a Comment for "Islam: Punyakah Konsep Kenegaraan?"