Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tata cara dan Rangkaian Perkawinan





1.      Upacara Perkawinan Adat
Upacara perkawinan adat Jawa merupakan salah satu dari sekian banyak kebudayaan atau rangkaian upacara adat yang ada di Nusantara. Kebudayaam-kebudayaan tersebut perlu dilestarikan sehubungan semakin berkembangnya bangsa Indonesia yang tidak menutup kemungkinan akan dilupakan bahkan ditinggalkan oleh generasi penerus. Perlunya pelestarian kebudayaan-kebudayaan atau tradisi dari nenek moyang kita adalah generasi penerus yang akan datang. Dan merupakan kebanggan tersendiri bagi bangsa Indonesia yang kaya, tidak hanya kaya akan hasil buminya tapi juga kaya akan kebudayaannya. Sebagaimana kata-kata mutiara yang menyatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang budaya yang tinggi. [1]

Suku bangsa Jawa dikenal sebagai salah satu suku yang memiliki budaya yang sangat tinggi pun memiliki beberapa pranata yang berkaitan dengan perkawinan. Perkawinan bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang sacral sehingga pelaksanaan perkawinan penuh dengan ritual-ritual yang apabila kita telaah memiliki banyak makna yang juga dapat ditafsirkan sebagai suatu perwujudan doa agar kedua mempelai selalu mendapat hal-hal yang terbaik dalam bahtera rumah tangganya.[2]
2.      Rangkaian Tata Cara Perkawinan Adat Jawa
Perkawinan adalah suatu langkah yang penting dalam proses pengintegrasian manusia dalam tata alam. Hal ini harus menemui semua syarat yang di tetapkan oleh tradisi untuk masuk ke dalam tata alam sosial (suci). Upacara perkawinan bukan saja proses meninggalkan taraf hidup yang lama dan menuju yang baru dalam diri seseorang, melainkan merupakan penegasan dan pembaruan seluruh tata alam dari seluruh masyarakat. Biasanya seluruh acara perkawinan, nikah dan panggih berlangsung kurang lebih 60 hari, rangkaian tersebut sebagai berikut:[3]

  •  Nontoni, yaitu melihat dari dekat keadaan keluarga dan gadis yang sesungguhnya. Dilakukan oleh seorang yang cengkok (wali) atau wakil dari keluarga pemuda yang akan mencari jodoh. Dalam hal ini dibicarakan sekitar kebutuhan untuk biaya perkawinan.
  •  Nglamar, disebut juga meminang/melamar, setelah taraf nontoni berakhir, diteruskan dengan taraf  meminang. Apakah rencana perkawinan dapat diteruskan atau tidak. Kalau ternyata ada kecocokan, maka cengkok meneruskan tugasnya untuk mengadakan pertemuan lebih lanjut dengan istilah ngebun-ebun isuk, anje Jawah santen.
  •  Peningset, bila pinangan berhasil, diteruskan dengan upacara pemberian peningset. Biasanya berupa pakaian lengkap, kadang-kadang disertai cincin kawin (tukar cincin).
  • Serahan, disebut pasok tukon bila hari perkawinan sudah dekat, keluarga calon putra memberikan hadiah kepada calon pengantin putri sejumlah hasil bumi, peralatan rumah tangga kadang juga disertai dengan uang. Barang-barang dan uang tersebut digunakan untuk menambah biaya penyelenggaraan perkawinan nantinya.
  •   Pingitan, enjelang saat perkawinan, kurang lebih tujuh hari sebelumnya, calon pengantin putri dilarang keluar rumah dan tidak boleh menemui calon pengantin putra dan kadang-kadang dianjurkan untuk puasa. Selama masa pingitan calon pengantin putri melulur seluruh badannya.
  •  Tarub, Seminggu sebelum upacara dimulai, pihak calon pengantin putrid memasang tarub dan tratak. Kalau di kota-kota besar, dua atau tiga hari sebelum upacara perkawinan dimulai.
  •   Siraman, Setelah upacara memandikan pengantin, calon pengantin putri dilepas dilanjutkan dengan selametan. Menjelang malam hari pengantin putri mengadakan dengan malam midodareni.
  •  Panggih, Setelah melaksanakan akad nikah, disusul dengan upacara panggih yaitu pengantin putra dan putri dipertemukan secara adat.

3. Tentang Srah-Srahan
a.      Pengertian
Pengertian Srah-Srahan Peningset, Peningsetan, Hantaran, Seserahan. Serah-serahan selanjutnya disebut peningsetan, adalah bagian dari prosesi upacara pernikahan secara adat Indonesia (yang dahulunya ada pengertian bahwa peningsetan hanyalah digunakan oleh suku-suku di Jawa ).[1]
Setiap calon mempelai pengantin Jawa pasti menyadari betul makna filosofi (peningset) atau srah-serahan. Kini hantaran bisa dibuat sebagus, secantik, dan semenarik mungkin. Dalam tata upacara pernikahan pernikahan adat Jawa, ada beberapa upacara adat yang diselenggarakan, seperti lamaran, upacara srah-srahanhingga akad nikah. Peningsetan atau yang lazim disebut seserahan sudah menjadi bagian yang umum dalam rangkaian pernikahan di Indonesia.Seserahan yang dulu tidak wajib hukumnya, kini sudah mengakar budaya dan menjadi bagian dari prosesi pernikahan.[2]
Peningsetan dari kata singset artinya mengikat erat, dalam hal ini terjadinya komitmen akan sebuah perkawinan antara putra putri kedua pihak dan para orang tua penganten akan menjadi besan.Peningset adalah barang-barang yang dibawa oleh pihak calon pengantin pria yang diserahkan kepada pihak calon pengantinwanita sebagai tanda pengikat. Kedua belah pihak orangtua bersepakat untuk menjadi besan (mertua) dan kedua calon.mempelai bersedia menjadi menantu dan bersedia melangsungkan pernikahan untuk menjadi sepasang suami-istri dalam ikatan resmi sebuah perkawinan.[3]
Srah-srahan Yaitu menyerahkan seperangkat perlengkapan sarana untuk melancarkanpelaksanaan acara sampai hajat berakhir. Untuk itu diadakan simbol-simbol barang-barang yang mempunyai arti dan makna khusus, berupa cincin,seperangkat busana putri, makanan tradisional, buah-buahan, daun sirih dan uang.Peningsetatau srah-serahan adalah pemberian dari pihak mempelai pria.Berasal dari kata singset yang artinya ”mengikat”,peningset berarti hadiah yang menjadi pengikat hati antara dua keluarga. Secara adat Jawa, peningset biasanya terdiri atas: satu set daun sirih yang disebut Suruh Ayu, beberapa helai kain jarik dengan motif batik yang berbeda, kain bahan untuk kebaya, ikat pinggang tradisional yang disebut stagen, buah-buahan (terutama pisang), sembako (beras, ketan, gula, garam, minyak goreng, bumbu dapur), satu set cincin nikah, dan sejumlah uang sebagai sumbangsih dari pihak mempelai pria. Seserahan merupakan simbolik dari pihak pria sebagai bentuk tanggung Jawab ke pihak keluarga, terutama orangtua calon pengantin perempuan. Untuk adat istiadat di Jawa biasanya seserahan diberikan pada saat malam sebelum akad nikah pada acara midodareni untuk adat Jawa. Tetapi ada juga yang melakukan seserahan pada saat acara pernikahan. Sekarang, hantaran (peningset) pun bisa ditampilkan dengan lebih kreatif.[4]
b.      Pelaksanaan
Menurut adat Jawa srah-srahan peningset biasanya diberikan pada malam hari sebelum acara pernikahan. Walau pihak pengantin tidak mengadakan malam midodareni, tapi tetap saja pada malam hari sebelum hari pernikahan diadakan acara silaturahmi, di mana pihak calon pengantin pria datang kerumah pihak calon pengantin wanita. Hal ini bertujuan selain untuk menjalin silaturahmi, sekaligus menunjukkan kepada keluarga calon pengantin wanita kalau calon pengantin pria masih “ada” dan masih berniat untuk menikahi calon pengantin wanita. Begitu juga untuk keluarga calon pengantin pria. Karena sifatnya yang menjadi non formal dan memang bukan malam midodaren, maka tidak diadakan persiapan khusus. Srah-srahan peningset juga biasa dilaksanakan menunggu keputusan kedua pihak keluarga antara calon pengantin pria dan calon pengantin perempuan atau kedua keluarga yang akan berbesanan tersebut. Ada baiknya saat membicarakan waktu untuk acara srah-srahan peningset itu, membicarakan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan acara pernikahan itu seperti, tamu yang bakal datang dari pihak calon pengantin putra. Karena biasanya jumlah yang datang itu hampir berimbang dengan jumlah peningset yang dibawa.[5]
Peningset tidak sama dengan mahar karena mahar adalah sesuatu pemberian suami atas permintaan istrinya, dan merupakan syarat sah pernikahan. Mahar tidak memiliki ketentuan harus dalam bentuk apa dan berapa jumlahnya, tetapi ada ajaran dari Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk tidak berlebihan dalam menentukan mahar, karena dikhawatirkan akan memberatkan calon suami.[6]

c.       Barang-barang dalam srah-srahan
Jika melihat makna atau arti srah-srahan menyerahkan seperangkat perlengkapan sarana untuk melancarkan pelaksanaan acara sampai hajat berakhir. Untuk itu diadakan simbol-simbol barang-barang yang mempunyai arti dan makna khusus, berupa cincin, seperangkat busana putri, makanan tradisional, buah-buahan, daun sirih dan uang. Barang- barang yang dibawa dalam upacara srah-srahan sangat bermacam-macam dan mengandung berbagai makna yang sangat dalam jika kita benar- benar memahami, seperti yang telah diungkapan sebagian di atas mempunyai makna dan maksud tertentu. maksud dan makna dari barang tersebut adalah:[7]
-        Cincin Emas, dibuat bulat yang mempunyai makna agar hubungan kedua mempelai tidak ada putusnya, sehingga agar cinta mereka abadi.
-        Seperangkat Busana Putri, bermakna masing-masing pihak harus pandai menyimpan rahasia terhadap orang lain.
-        Perhiasan yang terbuat dari emas, Intan dan Berlian Mengandung makna agar calon pengantin putri selalu berusaha untuk tetap bersinar dan tidak membuat kecewa.
-        Makanan tradisional, terdiri dari jadah, lapis, wajik, jenang; semuanya terbuat dari beras ketan.Beras ketan sebelum dimasak hambur, tetapi setelah dimasak, menjadi lengket.Begitu pula harapan yang tersirat, semoga cinta kedua calon pengantin selalu lengket selama-lamanya.
-        Buah-buahan, bermakna penuh harap agar cinta mereka menghasilkan buah kasih yang bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat.
-        Daun sirih, daun ini muka dan punggungnya berbeda rupa, tetapi kalau digigit sama rasanya. Hal inibermakna satu hati, berbulat tekad tanpa harus mengorbankan perbedaan.


[1] Marmien S., Rias Pengantin Gaya Yogyakarta: dengan Segala Upacaranya, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 78.
[2] Ibid., hlm.  88.
[3] Ibid.
[4]  Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa, (Yogyakarta: Hangar Creator, 2008 ), hlm. 57.
[5] Ibid.  
[6] Ibid.  
[7] Sumarsono, Tata Upacara Pengantin Adat Jawa, (Jakarta: PT. Buku Kita. 2007), hlm. 65.

 [1]Thomas Wijaya Bratawidjaja,Upacara Tradisional Masyarakat Jawa, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1988), hlm.  134.
[2] Muh Taufiq, Perkawinan Adat Jawa pada Masyarakat Desa Tanjungmaja Kecamatan Kangkung Kabupaten Kendal, http://sabuk_inten.blog.uns.ac.id/2011/02/26/perkawinan-adat-jawa-pada-masyarakat-desa-tanjungmaja-kecamatan-kangkung-kabupaten-kendal/, diakses 23 November 2017.
[3] Ibid, hlm. 16-17.

Post a Comment for "Tata cara dan Rangkaian Perkawinan"