Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menyoal Larangan Eks Koruptor Nyaleg lagi


Berbicara tentang larangan eks koruptor mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dapat dimulai dengan beberapa pertanyaan, mulai dari apakah para eks koruptor diperbolehkan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif ? Apabila tidak, maka mengapa mereka tidak diperbolehkan untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon anggota legislaif?

Dalam upaya memperoleh jawaban tersebut dapat kita tilik kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) menginginkan agar eks narapidana korupsi tidak dapat dicalonkan sebagai anggota legislatif dalam pemilihan umum tahun 2019. Hal ini tak lain dalam rangka meningkatkan kualitas out put dari para calon anggota legislatif di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang semakin merosot marwahnya.

Keinginan KPU tersebut dimplementasikan dalam beberapa pasal yang terdapat dalam Peraturan KPU yang diterbitkan pada Sabtu, 30 Juni 2018 yang salah satu point berbunyi :
“Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi”.

Pengaturan mengenai eks narapidana korupsi tidak dapat dicalonkan sebagai anggota legislatif dapat dilihat dalam berbagai perspektif. Pada aspek hukum yang perlu dipertimbangkan adalah konstitusionalitas terbentuknya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dimaksud. Konstitusionalitas lahirnya sebuah peraturan perundang-undangan merupakan parameter yang sangat penting.

Sebagaimana dikemukakan oleh Maruarar Siahaan bahwa konstitusionalitas peraturan perundang-undangan diperlukan untuk menguji konsistensi dan kesesuaian substansi materi peraturan perundang-undangan, baik pasal, ayat atau bagian dari peraturan perundang-undangan dengan prinsip dan jiwa UUD 1945. 

Oleh karena itu, pertanyaan mendasar dengan diterbitkannya PKPU mengenai larangan eks narapidana korupsi untuk dicalonkan dalam pemilihan umum tahun 2019, apakah tepat diatur dalam instrumen hukum dengan bentuk PKPU? 


Hak dipilih dan hak untuk memilih secara tegas telah diatur dalam UUD 1945. Lalu diatur lebih lanjut dalam UU tentang Pemilihan Umum mengenai persyaratan untuk menjadi calon anggota legislatif di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam pasal-pasal UU dimaksud tidak ada ketentuan yang mengatur atau melarang bagi eks narapidana tertentu menjadi calon legislatif. Oleh karena itu, PKPU yang mengatur mengenai larangan eks narapidana korupsi menjadi calon legislatif berpotensi bertentangan dengan UU tentang Pemilu dan Konstitusi.

Hal telah diperkuat dengan adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah membatalkan Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota dan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD terkait larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, menjadi bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dalam Pemilu 2019. Mahkamah Agung menyatakan peraturan dimaksud bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dalam Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memang dimungkinkan PKPU dibentuk berdasarkan kewenangan. Namun pembentukan PKPU tersebut juga harus memperhatikan asas yang tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tersebut, yakni kesesuaian antara jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan.

Materi muatan mengenai pembatasan hak harus diatur dalam bentuk UU, karena dalam mengatur pembatasan hak harus mendapatkan persetujuan dari rakyat melalui DPR. Oleh karena itu, pengaturan mengenai pembatasan hak untuk dipilih bagi eks narapidana korupsi seharusnya diatur dalam UU bukan dengan PKPU.

Karena sifat dari PKPU adalah melaksanakan isi dari UU yang tidak boleh bertentangan dengan UU yang menjadi pijakannya, sebagaimana pendapat Hans Kelsen dalam teori hirarki peraturan perundang-undangan bahwa validitas norma dari peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus berdasarkan pada validitas dari norma peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan seterusnya secara berjenjang.

Selain itu, secara sosiologis dapat dikatan memberikan cap sebagai eks narapidana korupsi yang akan terus melekat kepada yang bersangkutan perlulah dipertimbangkan, karena di satu sisi yang bersangkutan telah menjalani proses pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan dan mempunyai kesempatan untuk menjadi pribadi lebih baik sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Namun di sisi yang lain, apabila kita kembali kepada pertanyaan awal tentang mengapa dalam hal ini eks koruptor tidak diperbolehkan untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon anggota legislaif?

Maka pandangan kita akan tertuju pada etis atau tidaknya seorang eks koruptor nyaleg lagi. Logika kita akan bepikir tentang tindakan mereka sebelumnya yang telah menyalah gunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tanpa memikirkan bagaimana kesejahteraan rakyat yang menjadi tanggung jawabnya. Hukum yang hidup di lingkungan masyarakat kita yang secara tidak sadar menjadi jalan bepikir kita bahwa cap seorang eks narapidana akan selalu melekat pada diri sebagai bentuk sanksi sosial terhadap dirinya serta sebagai bentuk peringatan kepada para legislator lainnya agar tidak mencoba coba atau bahkan berniat untuk melakukan tindakan korupsi.

Dalam hal demikian memang perlu menerapkan hukum itu sebagai alat untuk memaksa (law is a tool social egeenering), yaitu penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana yang dicita – citakan atau untuk melakukan perubahan – perubahan yang diinginkan. Dengan demikian pemerintah seharusnya dapat mengakomodasi kehendak masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang – undangan. 

Maka memang dapat dimungkinkan adanya aturan untuk mengatur eks narapidana korupsi untuk dipilih atau tidak dipilih sebagai calon legislatif dengan dua alternatif, yakni dengan mengubah UU tentang Pemilu atau mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai solusi hukum jika dianggap dengan adanya calon legislatif yang berasal dari eks narapidana korupsi dapat menciderai rasa keadilan masyarakat.

Karena terkadang hukum itu terkesan suatu hal yang kejam, tapi memang begitu lah bunyinya (lex dura se tamen scripta).

Post a Comment for "Menyoal Larangan Eks Koruptor Nyaleg lagi"