POTRET PENDIDIKAN NASIONAL
Pendidikan merupakan salah satu pilar
kebangsaan. Masa depan suatu bangsa bisa diketahui melalui sejauh mana komitmen
masyarakat, bangsa atau pun negara dalam menyelenggarakan Pendidikan Nasional.
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi yang dibutuhkan oleh setiap
manusia. Hal ini merupakan suatu kewajiban yang memang harus diemban oleh
negara agar dapat membentuk suatu masyarakat yang memiliki pemahaman dan
kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan yang selaras dengan
fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari setiap
masa ke masa.[1]
Namun realita
yang ada, di negara ini yang terjadi hanyalah
banyaknya sarjana yang menganggur, anak putus sekolah, mahalnya biaya
pendidikan, ketidak sediaan pengajar yang professional serta masih banyak lagi.
banyaknya permasalahan tersebut merupakan
suatu tantangan besar yang harus dihadapi oleh seluruh komponen anak bangsa.
Permasalahan pendidikan merupakan suatu permasalahan yang kompleks. Hal inilah
yang melatarbelakangi kami untuk
melakukan suatu kajian tentang problematika sistem pendidikan di negeri ini yang menjadikan kualitas
dan mutu pendidikannya jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain.
B.
Makna Sistem Pendidikan Nasional
Sistem
merupakan unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu
totalitas.[2] Sistem
juga dapat dimaknai sebagai suatu strategi, cara berpikir, atau model berpikir.
Bila sistem itu berhubungan dengan suprasistemnya, maka ia disebut sistem
terbuka. Pendidikan merupakan sistem terbuka, sebab tidak mungkin
pendidikan dapat melaksanakan fungsinya dengan baik bila ia mengisolasi diri
dengan lingkungannya.[3]
Dalam
Undang – Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 yang merupakan induk peraturan perundang
– undangan pendidikan mendefinisikan pendidikan sebagai “Usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif megembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”
(Pasal 1 Ayat 1). Pendidikan nasional didefinisikan sebagai “Pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang berakar pada nilai-nilai
agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntunan perubahan
zaman” (Pasal 1 Ayat 2). Sedangkan yang dimaksud dengan sistem pendidikan
nasional adalah “Keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara
terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional” (Pasal 1 Ayat 3). Jadi,
Sistem Pendidikan Nasional merupakan jaringan satuan-satuan pendidikan yang
dihimpun secara terpadu dan dikerahkan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional[4]
yang tidak lain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan pembangunan diri
manusia Indonesia seutuhnya.
C.
Keadaan
Pendidikan di Indonesia
Potret dunia pendidikan di negeri
ini semakin lama semakin menampakkan wajah buram bak akar pohon yang
berkelindan tanpa arah dan tujuan yang jelas. Beberapa usaha inovatif yang
dilakukan dalam dunia pendidikan seakan bukan tawaran-tawaran solutif bagi
problematika yang semakin kompleks. Output
yang dihasilkan dunia pendidikan seringkali tidak mampu – untuk tidak dikatakan
gagal – menerjemahkan teori-teori dan konsep-konsep ke dalam tataran praksis.
Pengejewantahan teori-teori yang telah “ditelan” objek sekaligus subjek
pendidikan ke dalam ranah praksis (seharusnya) bukan hal yang taken for granted. Dengan usaha
inilah, pendidikan baru dikatakan memanusiakan kemanusiaan
manusia. [5]
Sistem pendidikan di negeri ini
nyaris kehilangan ruhnya. Demikian banyak wacana, kritik dan koreksi dari
berbagai kalangan, namun belum juga menemukan formulasi yang tepat untuk
memberdayakan untuk memberdayakan pendidikan. Mungkin kalau ada upaya
perbaikan, sering tidak produktif pada tataran aplikasi karena ujung-ujungnya
sebatas pada pengembangan fisik dan simbol-simbol, bukan pada
penguatan esensi dan substansi.[6]
Jika keadaannya seperti ini terus berlajut maka perlu dipertanyakan kembali
tentang pendidikan yang dianggap sebagai
sarana yang tepat untuk transformasi sosial.
D.
Faktor Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
1.
Kualitas
dan Moralitas Pengajar dan Pengajaran
Kita
semua memahami bahwa persoalan mendasar dunia pendidikan kita tidak hanya
bermula dari sistem kekuasaan politik yang dikembangkan, tapi sudah terseret
jauh melampaui masalah itu. Di sekolah-sekolah dasar sampai menengah dan umum,
termasuk juga di perguruan tinggi, yang kerap terjadi sesungguhnya bukanlah
pendidikan dalam arti sebenarnya, tapi sekedar pengajaran. Trasnformasi yang
terjadi hanya sebatas ilmu dengan gaya bank. Sebuah transformasi yang hanya
melibatkan peran keilmuan guru dan kebodohan murid. Asumsinya, murid menjadi
pintar berkat pengajaran sang guru.
Pendidikan
tidak dianggap begitu penting, mungkin saja karena hasilnya dianggap kurang
konkret. Justru, pengajaranlah yang begitu ditekan habis-habisan. Pendidikan
dan pengajaran yang menjadi jargon sistem pendidikan kita selama
bertahun-tahun, dengan demikian menghasilkan format yang tidak seimbang. Dalam
hal pengajaran guru akan bertindak sebagai orang yang paling pintar di kelas,
dan siswa adalah objek yang dikenai blue
print kemana guru berkehendak, sementara dalam pendidikan, yang lebih
ditekankan adalah transformasi perilaku, transformasi etika, transformasi
moralitas, bukan transformasi gaya berpikir. Tentu konsep pendidikan sesungguhnya
mempunyai ruang lingkup yang lebih luas ketimbang sekadar pengajaran.
Para
pengajar masih banyak yang hanya mengejar tunjangan saja dengan menomorduakan
kualitas pengajarannya. Hal ini dapat dilihat dari rasio guru di Indonesia
yang dinilai terlalu besar sehingga menyebabkan anggaran untuk guru di APBN
sangat gemuk, sedangkan kualitas pendidikannya tidak bergeser dari peringkat
bawah. Sebagaimana yang diungkapkan Indra Charismiadji, seorang pengamat
pendidikan tentang rasio guru di Indonesia yang besarnya 1:15, sangat jauh
berbeda dengan Singapura, Amerika, Inggris, Tiongkok, dan Malaysia. Di Malaysia
rationya 1:22, sedangkan Tiongkok dengan penduduk lebih banyak 1:18. Oleh sebab
itu semestinya pemerintah sadar betul dan segera menindak tegas terhadap para
guru yang yang kompetensinya rendah untuk memutasinya ke jabatan pengawas, tata
usaha atau pensiun dini.[7]
Mentalitas
kapitalisme yang licik ini telah merasuk ke dalam pejabat pendidikan hingga
kepala sekolah. Kenyataan yang tidak bisa kita dinafikan. Tingkat partisipasi
pendidikan di Indonesia meningkat tajam, namun mutu pendidikan yang didapat
setiap anak, belum setara. Padahal, penyediaan kualitas pendidikan yang baik
merupakan kunci menciptakan generasi berkualitas.[8]
Beberapa daerah di berbagai pelosok
negeri ini dikabarkan membutuhkan banyak tenaga kependidikan. Namun ironis jika
hal tersebut ada sedangkan banyak sarjana pendidikan yang menganggur.
Pemerintah tak bisa tinggal diam begitu saja membaca kenyataan ini lantas
mereka merekrut guru bantu. Memang angka pengangguran para sarjana pendidikan
setidaknya dapat diminimalisir. Kenyataan berbicara lain, honor perbulan guru
tersebut di bawah rerata UMR buruh pabrik. Guru bantu tak sekadar membantu
pemerintah memenuhi tetapi lebih tepatnya menjadi guru (pem)bantu. Beban tugas
banyak bahkan melebihi guru PNS, tetapi honor berbanding terbalik dengan
profesionalitas mereka.[9]
Selama
dua taun kabinet kerja dikabarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) terus berupaya membumikan nawacita untuk meningkatkan angka
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 0,75 poin dari 68,8 pada tahun 2014
menjadi 69,55 pada tahun 2015, dengan indeks pendidikan meningkat sebesar 0,82
poin dari 60,18 menjadi 61,00 di tahun 2015. Peningkatan IPM tersebut disebabkan
oleh peningkatan rata-rata lama sekolah penduduk usia 25+ dari 7,73 tahun
menjadi 7,83 tahun pada tahun 2015 dan peningkatan rata-rata harapan lama
sekolah yang meningkat dari 12,39 tahun menjadi 12,55 tahun pada tahun 2015.[10]
Walaupun
demikian kenyataan bahwa masih banyak lulusan pendidikan tinggi yang belum
mampu menggunakan ilmu pengetahuan yang dimiliki untuk memenuhi kepentingan
nasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pengangguran sarjana di
Indonesia meningkat dari 653.586 pada Agustus 2015 menjadi 695.304 orang pada
Februari 2016. Sedangkan jumlah pengangguran diploma mencapai angka 249.362
orang.[11]
Kemudian
menurut Riset Willis Tower Watson Indonesia, 8 dari 10 perusahaan di Indonesia,
masih saja mengaku kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi yang siap
pakai. Menurut Lilis Hakim, Consultant Director Willis Tower Watson Indonesia,
salah satu penyebab lulusan perguruan tinggi di Indonesia sulit mendapat
pekerjaan adalah belum memiliki skill yang dibutuhkan perusahaan. Riset dari National
Association of Colleges and Employers (NACE) pada 2015, misalnya, mendapati
70,2% dari 201 manajer yang menjadi respondennya mengaku mencari calon karyawan
dengan mempertimbangkan kemampuan komunikasi tulisan. Riset NACE juga
mendapati, sekitar 80,1% responden mencari kandidat yang memiliki kemampuan
kepemimpinan, dan 78,9% responden mengutamakan keterampilan calon karyawan
untuk bekerja dalam tim.[12]
Ini menandakan adanya kesalah kaprahan sistem pengajaran yang telah
terstandarisasi dalam bentuk kurikulum.
Kesalah kaprahan itu masih ditambah
dengan pengobok – obokan yang tidak karuan. Setiap pergantian menteri pasti ada
pergantian kurikulum juga yang bukan hal baru lagi bagi rakyat. Tuntutan
standar kelulusan nasional merupakan wujud pengkhianatan kurikulum tingkat
satuan pendidikan yang pemerintah gulirkan. Pendidikan yang seyogyanya menjadi
tempat siswa mengembangkan kompetensinya hanya tersentuh sebatas ranah
kognitif. Pencapaian target nilai angka menjadi acuan keberhasilan proyek
mercusuar pemerintah ini. Istilah “Gengsi gede-gedean” menjadi sebuah
pertaruhan sekolah dengan orang tua. Wajar jika akhirnya sekolah mengajarkan
dusta kepada anak didiknya. Sekolah agaknya lebih banyak menuntut daripada
mendengarkan. Para guru sering lebih bangga ketika anak didiknya mampu
mempersembahkan nilai 100 ketimbang mereka yang tak bisa menuntaskan PR.[13]
Dan masih banyak lagi permaslahan permaslahan yang itu masih dalam lingkup
sekolah.
Dari
paradigma berpikir para pengajar yang demikian itulah yang menjadi masalah
utama dalam hal hasil dari kualitas pendidikan terutama masalah moralitas. Maka
tidak heran bila masih seringnya terjadi tawuran, lunturnya adab kesopanan dan
pelanggaran para pelajar terhadap norma norma kesusilan lainnya. Bahkan dari
hal hal itu pulalah nilai nilai korup pun tak sadar tertanam dalam diri para
siswa itu sendiri.
2.
Pandangan
Terhadap Pendidikan
Pragmatisme
pendidikan saat ini masih diartikan sekedar sebagai sebuah transfer ilmu yang
perlu dihafal, tanpa memberi kesempatan untuk ide-ide kreatif lagi inovatif.
Karena tidak sedikit lembaga pendidikan yang bukan saja ketiadaan visi, tetapi
juga telihat cukup sibuk melirik visi lembaga lain untuk kemudian diterapkan. Akibatnya,
ketika terjadi pergantian tahun ajaran, lembaga pendidikan seperti ini sibuk
mempromosikan konsep (jiplakan) yang hendak ditawarkan ke konsumen (baca: orang
tua). Ada aneka kurikulum dalam dan luar negeri, ada iklim bahasa Inggris, ada
struktur baru (yang tak jarang kedengaran aneh di telinga orang Indonesia). Hal
seperti ini sangat baik. Pendidikan perlu bersifat inklusif, dalam arti terbuka
terhadap ide-ide baru. Namun, visi akan meyakinkan masyarakat ketika lahir dari
penemuan dan refleksi berdasarkan perjalanan pengalaman.[14]
Aneka ide promosi
dalam pendidikan tersebut tak jarang begitu memperdayai orang tua. Apalagi
ketika kenyataan menunjukkan bahwa banyak orang tua tidak peduli untuk masuk
lebih jauh menyelami visi sebuah sekolah. Mereka sudah merasa puas dengan
elemen hardware (gedung, fasilitas dll) sebuah sekolah. Akibatnya
sudah pasti. Tak jarang demi mencapai tujuan, ada yang mesti dikorbankan.
Pendidikan ala kadarnya, bak mie instant, biar semuanya berhasil. Kegiatan
Belajar Mengajar di sini sekedar melatih soal-soal ujian demi mengejar target,
tetapi kehilangan elemen pendidikan watak, pengembangan kepribadian. Pendidikan
seperti ini tidak bedanya dengan mencetak robot-robot yang begitu terampil
tetapi sangat kurang dimensi kemanusiaannya.[15]
Sekolah seharunya tidak lebih dari
sebuah sarana yang membantu mengembangkan potensi dan kualitas diri seseorang
yang selanjutnya dapat memunculkan ide-ide kreatif yang dimatangkan dalam
proses waktu. Berpijak
pada pemahaman ini maka pendidikan perlu memiliki visi. Anak didik tidak sekedar
diajarkan keterampilan untuk ditiru, melainkan dirangsang imajinasi dan visinya
untuk menemukan hal-hal baru lagi inovatif dalam perjalanan waktu. Itu berarti
visi merupakan hasil olahan setiap pribadi masing masing. Karena itu, sedikit
aneh ketika melihat banyak orang yang menjiplak visi orang lain. Hal seperti
itu hanya akan menjadikannya kehilangan daya internal yang menjadikannya eksis
dalam pergumulan kehidupan.[16]
Dari berbagai faktor yang demikian
dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan modern di saat ini tetap mencerminkan
ketimpangan struktur masyarakat seperti yang terlihat semisal pada zaman
kolonial di Indonesia. Lebih ironis lagi, pendidikan modern cenderung
mempertahankan kelanggengan struktur masyarakat tersebut sekaligus
memperkuatnya. Oleh karena itu wajar bila kemudian timbul kritik yang
mempertanyakan sistem pendidikan modern itu. Ivan Illich dengan tajam membantai
sistem sekolah saat ini yang menurutnya hanya mempertajam ketimpangan
masyarakat. Lewat lisan “After
Descholling What? Ia menuntut agar sistem kelembagaan sekolah yang
cenderung mempertahankan status quo kalangan atas itu dihapus saja.[17]
Sedangkan dalam waktu yang sama biaya sekolah di mana-mana meningkat lebih
cepat daripada pertumbuhan pendapatan nasional. Untuk meratakan pendidikan,
maka kelembagaan seperti sekolah, harus dilenyapkan karena ia telah mengalami
kematian fungsi.[18]
Satu hal yang patut menjadi catatan
adalah bahwa kecenderungan untuk berfikir pragmatis. Output pendidikan seringkali hanya memikirkan nasib sendiri
untuk mencari pekerjaan untuk penghidupannya dan dengan serta merta melupakan
nasib sesama. Walaupun hal ini juga bukan kesalahan individu an sich, namun ketika ditarik dalam
skup yang lebih luas, maka kesalahan juga terletak pada kehidupan politik dan
ekonomi yang sudah semakin tidak menentu. Sehingga, dengan kata lain, negara
juga bertanggung jawab akan hal ini. Dengan memakai logika ini, sudah selayaknya
negara mempunyai political will
yang penuh demi transformasi sosial yang didambakan seluruh stake holder masyarakat. Dengan
demikian pendidikan kita menghasilkan output yang tidak hanya memiliki
kesalehan individu tetapi juga memiliki kesalehan sosial.[19]
E.
Mengurai Permasalahan
Pendidikan adalah manifestasi
kehidupan. Proses pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. kehidupan akan
berkembang dengan optimal mana kala ada “Pemerdekaan”. Pendidikan akan
kehilangan ruhnya ketika tidak ada suasana yang memerdekakan. Semua manusia
sepakat, hanya dengan pendidikan yang berkualitas bisa mengantarkan anak
menjadi insan yang berkualitas. Ukuran berkualitas tentu saja bukan karena
siswa mempunyai nilai sembilan atau sepuluh dalam ijazahnya karena nilai ijazah
atau surat kelulusan sekolah yang sekarang ini terjadi hampir tidak mengukur
kompetensi yang sebenarnya ketika menghadapi realitas sosial kehidupan.
Indikasi manusia berkualitas adalah manakala seseorang sanggup memecahkan
persoalan kehidupannya, kreatif, mandiri, beretika dan terus bersemangat
mengembangkan mengembangkan pengetahuannya sehingga merasa hidup sejahtera dan
berguna bagi orang lain.[20]
Untuk mengatasi masalah-masalah sistem pendidikan di
indoneisa yaitu mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem
pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem
ekonomi yang diterapkan. Ekonomi adalah problem riil masyarakat kita dan itu
salah sau hal yang harus di pertimbangkan di sekolah untuk dikaji dan di pelajari
dengan serius. Sekolah-sekolah sampai sekarang mendasarkan pada asumsi bahwa
semua anak membutuhkan pelajaran yang sama dan harus mencapai standar yang sama. Itu adalah
bentuk dari penyeragaman melalui idiologi standardisasi dan kompetisi. Yang
kalau diteliti lebih lanjut akan sampai pada tatanan nilai filosofi
neo-liberalisme dan kapitalisme.[21]
Dan sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks
sistem ekonomi kapitalisme, yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan
tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan. Dan
indonesia sudah mempunyai progam kartu indonesia pintar yang di tujukan untuk rakyat yang kurang mampu dengan tujuan
supaya semua anak bisa sekolah. Saat ini pemerintah tinggal lebih harus bisa mengontrol supaya progam itu tidak salah
sasaran.[22]
Di sini, kiranya muncul suatu
gagasan yang tak bisa ditunda-tunda lagi, yakni sebuah upaya untuk
menyeimbangkan makna antara pendidikan dan pengajaran. Keduanya perlu
mendapatkan perhatian serius. Memang, pendidikan sering dinisbatkan orang
sebagai transformasi dalam arti yang sangat luas dan tak terjangkau, tidak
hanya di sekolah-sekolah saja. Namun, yang demikian itu tentu bukan berarti
dalam sekolah tak ada pendidikan. Justru di sekolah-sekolah itulah pendidikan
mempunyai makna yang penting untuk pertama kali diaplikasikan. Dalam ruangan
yang sempit itulah, konsep pendidikan yang sebenarnya bisa diajarkan oleh guru,
yang mewakili realitas sosial kepada murid (untuk mengenal realitas sosial)
yang dengan hal ini dalam rangka pembentukan karakter (character building).[23]
Khusus mengenai pembentukan etika
ini sangat perlu ditekankan dalam pendidikan kita sehingga pendidikan sebagai
transformasi sosial dapat mencegah dan mengobati kerusuhan sosial maupun
masalah sosial-sosial yang lain.[24]
Pendidikan berkarakter harus lebih ditekankan bukan
pendidikan yang berorintasi kepada nilai. Ilmu tanpa agama buta, dan agama
tanpa agama lumpuh. Sama saja artinya bahwa pendidikan kognitif tanpa
pendidikan karakter adalah buta. Sebaliknya, pengetahuan karakter tanpa
pengetahuan kognitif, maka akan lumpuh sehingga mudah di setir, dimanfaatkan
dan dikendalikan orang lain. Untuk itu penting
artinya untuk tidak mengabaikan pendidikan karakter anak didik.[25]
Perlu juga pendidikan pancasila untuk meningkatkan rasa Nasionalisme. Tujuan
praktis pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harus tertuju kepada perubahan
paradigma berpikir dan sikap hidup. Dengan demikian, kalau menggunakan konsep ranah yang
diolah maka tujuan tersebut sampai pada ranah kognitif tingkat tinggi dan
efektif. Jadi, tidak sekedar menguasai materi dan ideologi saja,tetapi materi
yang dipelajari tersebut harus dapat membangun kesadaran dan sikap baru yang
lebih baik dari sebelumnya.[26]
Pada level SD dan SMP, tidaklah tepat jika siswa diajak
memikirkan secara ruwet tentang betapa pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya, upaya membangun kesadaran
bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah penting
akan lebih tepat ketika dibenturkan
dengan realitas kehidupan sosial anak itu sendiri. Jadi polanya adalah
induktif bukan dedukif. Dengan prinsp
non-hafalan, non-drill and
practice dan tidak membawa pancasila sebagai sesuatu yang sakral, profan,
dan kanonik maka nilai-nilai idiologis pancasila dibelajarkan pada anak-anak SD
dan SMP dengan mengambil isinya bukan kulitnya.[27]
Dalam melakukan pembongkaran
pendidikan menuju transformasi sosial, di sini Ivan Illich menawarkan dua
alternatif yang harus dihadapi dan dilakukan. Pertama, kita bisa bekerja untuk
alat-alat pendidikan baru yang mengerikan dan perkasa, yang akan mengajarkan
tentang sebuah dunia yang makin lama makin pekat serta merantai manusia. Kedua, kita
dapat meletakkan landasan-landasan bagi era baru di mana teknologi akan dipakai
untuk menjadikan masyarakat lebih sederhana dan lebih trasnparan, hingga semua
manusia bisa mengetahui fakta-fakta serta menggunakan alat-alat untuk membentuk
kehidupannya sendiri. Secara sederhana, alternatif-alternatif tersebut
mengisyaratkan adanya pilihan antara menggulingkan sekolah atau membebaskan
kebudayaan dari sekolah.[28]
Ivan Illich berpendapat, untuk
menjadikan pendidikan yang sebebas-bebasnya, sekolah harus memenuhi dua syarat.
Pertama, sekolah
harus dijalankan sedemikian rupa agar mencegah kembalinya kurikulum
tersembunyi, yang isinya adalah kewajiban hadir menurut tingkat-tingkat atau
kelas-kelas, dan kewajiban para murid berijazah untuk belajar di kaki para
guru. Kedua,
sekolah harus bisa membedakan antara kurikulum tersembunyi dengan
dasar-dasar pengkultusan persekolahan. Kurikulum tersembunyi adalah ritual yang
bisa dianggap sebagai inisiasi resmi anak sebelum masuk masyarakat modern,
ditetapkan secara institusional dalam sekolah. Ungkapan Ivan Illich tersebut
merupakan upaya perubahan yang bersifat struktural. Perubahan struktur di sini
lebih lebih mengarah pada persoalan sistem pengajaran dan alat-alat yang ada
dalam pendidikan. Dalam hal ini, bagaimana mengupayakan adanya kemandirian dari
masing-masing sekolah dalam melakukan aktivitas belajar mengajar.[29]
Jika melihat Indonesia sendiri sebenarnya
juga mempunyai tokoh pendidikan yaitu Ki Hadjar Dewantara yang memiliki konsep
yang sama dengan Paulo Freire. Beliau memperkenalkan kosep pendidikan yang
memerdekakan. Pada subtansinya pendidikan seharusnya membuat orang menjadi
otonom, tidak tergantung pada orang lain. Orang lain hadir bukan sebagai
ordinat atau subordinat, atau sebagai kompetitor, tapi sebagai individu yang
saling memerlukan satu dan lainnya, relasi yang mereka bangun adalah relasi
antarpersonal.[30]
Ki Hajar Dewantarapun seperti yang kita ketahui memiliki pribahasa moralitas
yang sering digaungkan namun seperti sebatas simbolik saja, yaitu “Ing
Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri handayani”. Dari itu
perlulah ditanamkan pada diri setiap bangsa sosok figur yang baik, sosok
disamping menjadi suri teladan, tetapi ia juga harus mampu menggugah dan
membangkitkan semangat, serta memberikan dorongan moral. Dengan begitu maka
akan bisa bermanfaat untuk banyak orang. Bukan malah merugikan yang lain.[31]
F.
Mengapresiasi Usaha Pemerintah
Pemerintah
merupakan faktor terpenting dalam hal kualitas suatu sistem pendidikan suatu
bangsa. oleh sebab itu keseriusan jajaran pemerintahan dalam menangani
permasalahan pendidikan yang sangat kompleks ini sangat diharapkan. Oleh sebab
itu perlulah diberi apresiasi terhadap berbagai upaya yang telah ditempuh
pemerintah untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan pendidikan termasuk
penguatan peran pendidikan kejuruan sebagai langkah strategis peningkatan
produktivitas dan daya saing bangsa, serta menguatkan peran kebudayaan dalam
pendidikan nasional sebagai upaya merevolusi karakter bangsa.[32]
Dari
data yang telah kami dapat dari Kemendikbud bahwa peningkatan akses pada
layanan pendidikan telah ditempuh melalui beragam upaya, di antaranya melalui
perbaikan dan penyediaan infrastruktur fisik ruang kelas dan gedung sekolah.
Tercatat sampai dengan tahun 2016, Kemendikbud telah merehablitasi sekitar
12.752 ruang belajar, membangun 617 Unit Sekolah Baru (USB), dan 13.791 Ruang
Kelas Baru (RKB). Sebagai perwujudan semangat nawacita ketiga untuk
membangun dari pinggiran dan upaya mewujudkan pendidikan untuk semua, di
tahun 2016 Kemendikbud membangun 114 Sekolah Garis Depan (SGD) di berbagai
daerah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal). Hal tersebut diperkuat dengan
menugaskan sekitar enam ribu Guru Garis Depan (GGD) untuk memberikan pelayanan
pendidikan yang lebih baik, meningkat sepuluh kali lipat dari tahun sebelumnya
sebanyak 797 guru di tahun 2015.[33] Akreditasi
satuan pendidikan juga mengalami tren peningkatan dari tahun 2014 ke tahun
2015. Terlihat pada jenjang Sekolah Dasar (SD), dilaporkan oleh Badan Akreditasi
Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M), jumlah sekolah yang mencapai akreditasi
minimal B di seluruh Indonesia meningkat dari angka 45% menjadi 58,8%.[34]
Sejalan
dengan upaya perbaikan infrastruktur fisik, melalui Program Indonesia Pintar
(PIP) pemerintah terus berupaya meningkatkan partisipasi sekolah pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah. Tercatat di Data Pokok Pendidikan (Dapodik), APK
untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mengalami
peningkatan dari 75,53% di tahun 2015 menjadi 76,45% di tahun 2016. Sesuai
dengan data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susesnas BPS)
tahun 2015, sebanyak 99,7% penduduk Indonesia usia 15 sampai 24 tahun telah
melek aksara, dan 98,5% penduduk usia 25 sampai 44 tahun telah terbebas dari
buta aksara.[35]
Dalam penguatan pendidikan kejuruan sebagai
upaya meningkatkan produktivitas dan daya saing bangsa menunjukkan perbaikan
dari tahun sebelumnya. Di tahun 2016, pemerintah membangun 150 Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), sebanyak 40 SMK di bidang Maritim, 32 SMK di bidang Pertanian,
dan 60 SMK di bidang Pariwisata. Kemendikbud juga membantu peningkatan kualitas
1.333 ruang praktik dan laboratorium SMK. Untuk menunjang kegiatan belajar
siswa, sebanyak 934 SMK mendapatkan bantuan peralatan praktik. Saat ini
Kemendikbud terus berupaya meningkatkan jumlah SMK rujukan dan penyediaan guru
produktif yang mampu menjawab tantangan penyiapan tenaga terampil yang siap
bersaing dan berkontribusi dalam pembangunan nasional.[36]
Sesuai
amanat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK
Dalam Rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing SDM Indonesia, Kemendikbud
akan melakukan sinergi antar kementerian dan lembaga agar mampu menjawab
tantangan bonus demografi dan daya saing
di pasar internasional. Pengembangan 150 SMK Bidang Kemaritiman, Pariwisata,
Pertanian, dan Industri Kreatif akan dilakukan dengan program alih fungsi guru
adaptif menjadi guru produktif. Kemendikbud juga terus berupaya melakukan
penguatan kerja sama industri dan penguatan kelembagaan SMK agar menjadi
Lembaga Sertifikasi Profesi Pihak Pertama (LSP-P1) agar dapat memberikan nilai
tambah pada lulusan SMK.[37]
Sebanyak
lebih dari 17 juta anak dari keluarga miskin dan rentan miskin telah
mendapatkan bantuan pendidikan agar dapat terus belajar melalui jalur
pendidikan formal maupun nonformal. Sebanyak 10.906.947 siswa
SD mendapatkan bantuan
PIP, sementara untuk
SMP sebanyak 4.790.773 siswa, SMA
sebanyak 1.655.080 siswa, dan SMK sebanyak 1.842.537 siswa. Di tahun 2017,
target penerima KIP sebanyak 16.487.872 siswa.[38]
Menurut
catatan Sistem Informasi Indonesia Pintar (SIPINTAR) Kemendikbud, penyaluran
Kartu Indonesia Pintar (KIP) mencapai 94,164 persen, sedangkan pemanfaatan dana
PIP mencapai 50,16 persen. Masih rumitnya mekanisme pencarian dan ketidak
sesuaian data menjadi kendala sehingga tahun depan distribusi KIP akan
menggunakan mekanisme baru dengan menggunakan Data Pokok Pendidikan (Dapodik).[39]
Kemendikbud
telah melakukan uji coba penggunaan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Plus atau KIP
elektronik di Yogyakarta. Ke depan akan segera dilakukan uji coba penggunaan
KIP Plus di 44 kabupaten/kota lain. KIP Plus dapat digunakan sebagai alat
transaksi, serta menjadi alat bantu untuk meningkatkan literasi keuangan dan
perbaikan penyaluran bantuan pendidikan agar memenuhi prinsip
akuntabilitas. Ke depan, penyaluran KIP akan diselaraskan dengan Kartu
Keluarga Sejahtera (KKS) dan Program Keluarga Harapan (PKH). Tak hanya KIP,
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) juga telah membantu lebih dari 43 juta siswa
di seluruh Indonesia. Kemendikbud juga telah memberikan bantuan kepada lebih
dari 30 ribu siswa berbakat dan berprestasi.[40]
Kemudian adanya program Penguatan Pendidikan
Karakter (PPK) merupakan program revolusi mental untuk memastikan agar anak
didik memperoleh muatan penguatan karakter dengan proporsi yang semestinya.
Untuk tingkat pendidikan dasar proporsinya adalah 70% dibanding pengetahuan
sebesar 30%. Maka pilihan yang diambil adalah memperpanjang kebersamaan guru
dan murid di sekolah maupun media belajar lainnya untuk melakukan segala
aktivitas positif yang dirancang untuk membangun nilai-nilai integritas,
relijius, gotong royong, nasionalis dan mandiri. Untuk mewujudkannya, maka
diperlukan penguatan peran
dan fungsi guru,
kepala sekolah dan
komite sekolah yang
profesional serta penyelarasan dengan
ekosistem sekolah.[41]
Sampai
akhir tahun 2016, PPK telah diimplementasikan di 542 sekolah di 34 provinsi.
Penguatan 5 nilai utama karakter, diantaranya Religius, Nasionalis, Mandiri,
Gotong Royong, dan Integritas pada 3 kegiatan inti (intrakurikuler,
kokurikuler, ekstrakurikuler) akan menjadi praktik penerapan di sekolah
percontohan PPK tersebut.
Ditargetkan sampai dengan
2020 seluruh sekolah
di Indonesia telah menerapkan pendidikan karakter.[42]
Di
tahun 2017 Kemendikbud akan melatih 1500 guru dan kepala Sekolah Dasar dan
Sekolah Menengah Pertama agar lebih memahami program PPK. Salah satu dampak
program PPK adalah pergeseran peran kepala sekolah yang lebih menjurus pada
bidang manajerial, dan guru sebagai inspirator bagi peserta didik. Kepala
sekolah menjadi teladan kepemimpinan dan mendukung ekosistem pendidikan di
sekolah. Program PPK mendorong partisipasi masyarakat untuk terlibat secara
aktif dalam penguatan pendidikan karakter di sekolah. Dengan prinsip gotong
royong, sekolah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya bekerja sama
untuk mewujudkan ekosistem pendidikan yang berkarakter.[43]
Sejalan
dengan nawacita dalam memperteguh kebhinekaan dan melakukan restorasi sosial
Indonesia, pemerintah terus menguatkan peran kebudayaan dalam pendidikan
nasional. Pada tahun 2015, Kemendikbud telah berhasil menambah jumlah
kata/frasa dalam Kamus Bahasa Indonesia menjadi 109.611 lema. Indonesia juga
telah mencatatkan tiga genre Tari Tradisional Bali sebagai World Intangible Cultural Heritage dan telah
ditetapkan oleh United Nations of
Education and Cultural Organization (UNSECO) pada tahun 2015. Hingga tahun
2016, dari 6238 sebanyak 294 telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda.[44]
Aktivis
seni budaya di sekolah juga terus diperkuat. Di sepanjang tahun 2016
Kemendikbud telah memberikan bantuan sarana kesenian tradisional kepada 695
sekolah, dan bantuan pembangunan laboratorium seni dan film kepada 21 SMA.
Selain itu, sebanyak 139 desa adat telah direvitalisasi, 334 komunitas budaya
telah mendapatkan bantuan fasilitasi, serta sebanyak 26.100 cagar budaya telah
berhasil diregistrasi. Pada awal bulan Oktober yang lalu, Kemendikbud berhasil
menyelenggarakan World Culture Forum (WCF) di Bali yang merupakan ajang
interaksi budaya antar bangsa.[45]
Dalama
hal perbaikan tata kelola tentunya pencapaian dan rencana program tersebut
didukung oleh tata kelola pemerintahan yang baik. Sejak tahun 2013, Kemendikbud
selalu memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa
Keuangan. Penerapan Zona Integritas dan pengakuan Wilayah Bebas Korupsi (WBK)
dari Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi dasar untuk menindaklanjuti arahan
Presiden mengenai penghapusan praktik pungutan liar.[46]
Kemendikbud
juga berupaya mengoptimalkan penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK) untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik yang efektif dan efisien.
Sistem tata kelola elektronik yang dikembangkan diantaranya Sistem Informasi
Manajemen Kepegawaian, Sistem Informasi dan Manajemen Keuangan, Sistem
Pengadaan Barang dan Jasa, serta e-Office dan e- Planning. Selain itu
Kemendikbud juga menerapkan Keterbukaan informasi publik melalui beragam
platform digital diantaranya Sekolah Kita, Jendela Pendidikan, Neraca
Pendidikan Daerah, Neraca Guru dan Tenaga Kependidikan, Statistik Pendidikan
dan Kebudayaan, e-PPID.[47] Unit
Layanan Terpadu (ULT) telah menjadi garda depan pelayanan pada publik yang
lebih baik dan terpercaya dan bebas dari pungutan liar. Penyediaan informasi
sebagai upaya keterbukaan informasi publik terus diperbaiki dari waktu ke waktu
melalui beragam platform digital agar mendorong partisipasi publik yang lebih
baik[48]
Dari
sekian banyak data tentang kebijakan kebijakan yang telah dijalankan pemerintah
tidaklah berarti apabila semua elemen bangsa tidak turut andil dalam mengurai
permasalahan pendidikan ini. Karena sebaik apapun program serta kebijakan yang
di terapakan tidak akan berjalan secara maksimal bila masih ada elemen elemen
yang mencacatinya. Realita terhadap pendidikan yang menghabiskan anggaran
negara terbesar sudahlah menjadi rahasia umum yang mana menjadi peruntuh iman
para oknum di dalamnya. Pemahaman pandangan masyarakat yang salah kaprah
terhadap pendidikan yang dianggap sebagai alat pencari kerja dan sekolah tak lebih hanyalah tempat
formal mendapat ijazah sebagai syarat masuk jenjang selanjutnya
bukan menjadi lahan pengetahuan.
Maka dari itu sangat
diharapkan baik itu pemerintah ataupun masyarakat dapat membuka hati dan pandangannya terhadap dunia pendidikan Indonesia
yang kian tak menentu ini.
G. Kesimpulan
Pendidikan
merupakan salah satu kebutuhan asasi yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Oleh
sebab itu sebenarnya pendidikan merupakan media dalam melakukan proses belajar mengajar, yang pada
intinya adalah sebuah transformasi nilai atas siswa ataupun masyarakat secara
umum. Fungsi yang paling vital pendidikan adalah menggugah kesadaran kritis
siswanya atau rakyat pada umumnya, sehingga memberikan kedewasaan berikir,
logis, dan mampu memerdekakan dirinya dari belenggu dirinya sendiri atau
istiadat maupun struktur negara. Pemaknaan yang seperti ini
memberikan ruang eksistensi yang lebih substansif atas pendidikan. Itulah
mengapa pendidikan berfungsi sebagai media yang efektif dalam
mentransformasikan ide-ide terbentuknya kesadaran massif di kalangan rakyat
dalam melakukan gerakan perubahan sosial.
Dalam
realita kehidupan bangsa hingga kini, problematika tentang pendidikan seperti tidak
ada ujungnya. Sangat kompleksnya problematika pendidkan di negeri ini tidak
akan terurai dengan mudah apabila semua elemen bangsa baik pemerintah maupun
masyarakat tidak turut andil di dalamnya. Karena sebaik apapun program serta
kebijakan yang di terapakan tidak akan berjalan secara maksimal bila masih ada
elemen elemen yang mencacatinya. Sebab itu keseriusan jajaran pemerintahan
dalam menangani permasalahan pendidikan yang sangat kompleks ini sangat
diharapkan serta meluruskan pemahaman pandangan masyarakat yang salah kaprah
terhadap pendidikan yang dianggap sebagai alat pencari kerja dan sekolah tak lebih hanyalah tempat
formal mendapat ijazah sebagai syarat masuk jenjang selanjutnya
bukan menjadi lahan pengetahuan.
Maka dari itu sangat
diharapkan baik itu pemerintah ataupun masyarakat dapat membuka hati dan pandangannya terhadap dunia pendidikan Indonesia
yang kian tak menentu ini.
[1]
Problematika Sistem Pendidikan Indonesia, http://formmit.org/social/224-problematika-sistem-pendidikan-indonesia-a-gagasan-based-syaria-education.html, diakses tanggal 10 Mei 2017.
[2]
http://kbbi.web.id/sistem, diakses pada
tanggal 21 Mei 2017.
[3]
Made Pidarta, Landasan Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hlm.
28-30
[4]
Ibid, hlm. 45
[5] Naif Adnan, Pendidikan
Sebagai Transformasi Sosial, http://naifadnan.blogspot.co.id/,
diakses pada tanggal 11 Mei 2017.
[6]
Sujono Samba, Lebih Baik Tidak Sekolah, (Yogyakarta: LKiS, 2007),
hal. 1
[7] Indra
Charismiadji : Guru Itu Hanya Mengejar Tunjangan Saja, Kualitas Nomor Dua, http://www.infokemendikbud.com/2016/10/indra-charismiadji-guru-itu-hanya.html
[8] Riva Dessthania Suastha, Unesco Soroti Kesenjangan Kualitas Pendidikan Di Indonesia, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160906155806-20-156462/unesco-soroti-kesenjangan-kualitas-pendidikan-di-indonesia/, diakses
pada tanggal 11 Mei 2017.
[9] Sucipto
Hadi Purnomo, Belajar Dusta di Sekolah
Kita,(Yogyakarta: Gigih Pustaka Mandiri, 2008), hlm. 22
[10]
www.kemendikbud.go.id,
diakses pada tanggal 16 Mei 2016.
[11] Rahmatia Lang Ere, Nasib Pendidikan Tinggi Indonesia, http://www.visioner.id/opini/14216/nasib-pendidikan-tinggi-indonesia.html, diakses pada tanggal 11 Mei 2017.
[12] Rahmatia Lang Ere, Nasib Pendidikan Tinggi Indonesia, http://www.visioner.id/opini/14216/nasib-pendidikan-tinggi-indonesia.html, diakses pada tanggal 11 Mei 2017.
[14]
Naif Adnan, Pendidikan Sebagai Transformasi Sosial, http://naifadnan.blogspot.co.id/,
diakses pada tanggal 11 Mei 2017.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17]
Ibid.
[18]
Ibid.
[19] Ibid.
[20] Sujono Samba, Lebih Baik Tidak Sekolah, hal. 24.
[21]
Edi Subkhan, pendidikan kritis (yogyakarta:Ar-Ruzz
media, 2016), hal 31.
[22] Id., hal. 131.
[23]
Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa,
(Yogyakarta: LKiS, 2005), hal. 152-153.
[24] Ibid.
[26] Id., hal. 185.
[27]
Ibid.
[28]
Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, hal. 144.
[30]
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-rusakan, (Yogyakarta:
LKis, 2007), hal. 111.
[31]Nur Sholikhin, Pendidikan adalah
Suri Tauladan,
http://santrigusdur.com/2015/05/pendidikan-adalah-suri-tauladan/, diakses pada
tanggal 11 Mei 2017.
[33]
Ibid.
[34]
Ibid.
[35]
Ibid
[36]
Ibid.
[37]
Ibid.
[38]
Ibid
[39]
Ibid.
[40]
Ibid.
[41]
Ibid.
[42]
Ibid.
[43]
Ibid.
[44]
Ibid.
[45]
Ibid.
[46]
Ibid.
[47]
Ibid.
[48]
Ibid.
DAFTAR PUSTAKA
Darmaningtyas,
2007. Pendidikan Rusak-rusakan, Yogyakarta: LKis.
Dessthania
Suastha, Riva. Unesco Soroti Kesenjangan
Kualitas Pendidikan Di Indonesia, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160906155806-20-156462/unesco-soroti-kesenjangan-kualitas-pendidikan-di-indonesia/, diakses
pada tanggal 11 Mei 2016.
Ere, Rahmatia Lan, Nasib Pendidikan
Tinggi Indonesia, http://www.visioner.id/opini/14216/nasib-pendidikan-tinggi-indonesia.html, diakses pada tanggal
11 Mei 2016.
http://formmit.org/social/224-problematika-sistem-pendidikan-indonesia-a-gagasan-based-syaria-education.html,
diakses tanggal 10 Mei 2017.
http://kbbi.web.id/sistem,
diakses pada tanggal 21 Mei 2017.
Indra
Charismiadji : Guru Itu Hanya Mengejar Tunjangan Saja, Kualitas Nomor Dua, http://www.infokemendikbud.com/2016/10/indra-charismiadji-guru-itu-hanya.html.
Naif Adnan, Pendidikan
Sebagai Transformasi Sosial, http://naifadnan.blogspot.co.id/,
diakses pada tanggal 11 Mei 2017.
Nur
Sholikhin, Pendidikan adalah Suri Tauladan,
http://santrigusdur.com/2015/05/pendidikan-adalah-suri-tauladan/, diakses pada
tanggal 11 Mei 2016.
Pidarta, Made. 2009. Landasan
Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta.
Purnomo, Sucipto Hadi. 2008, Belajar Dusta di Sekolah Kita,Yogyakarta: Gigih Pustaka Mandiri.
Samba, Sujono. 2007. Lebih Baik Tidak
Sekolah, Yogyakarta: LKiS.
Subkhan, Edi. 2016, Pendidikan Kritis, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Susetyo,
Benny. 2005, Politik Pendidikan Penguasa, Yogyakarta: LKiS.
www.kemendikbud.go.id,
diakses pada tanggal 16 Mei 2016.
Post a Comment for "POTRET PENDIDIKAN NASIONAL"