Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review: Hukum Publik Islam*

Karya: Prof. Machrus**




Bab Jinayah
Jinayah merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh syara’ karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan dan akal. Tindak pidana dapat dikatakan sebagai jarimah apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya, yang terkategori menjadi dua unsur, yaitu unsur umum dan unsur khusus. Dalam unsur umum mencakup semua aspek jarimah sedang dalam unsur khusus hanya mencakup jarimah tertentu saja. Dalam unsur umum tersebut terdapat 3 unsur yang harus terpenuhi, yaitu :
-          Formil (Arruknu assyar’i) : harus ada undang undang atau nas yang mengaturnya atau biasa disebut sebagai asas legalitas. Dalam asas ini seseorang tidak dapat dianggap melakukan delik apabila tidak ada undang undang atau nash yang mengaturnya, sebagaimana firman Allah surat Al Isro’ ayat 15.
-          Materiil (Arruknu al maady): adanya sifat melawan hokum (delik). Pelanggaran ini ada yang berupa pelanggaran aktif (ijabiyah) terhadap pelarangan dan ada juga yang pelanggaran pasif (muqoyyadah) terhadap kewajiban.
-          Moril (Arruknu Al adaby): pelaku seorang mukalaf yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana
Ulama membagi jarimah menjadi 3 macam, yaitu jarimah hudud, jarimah qishos diyat dan jarimah ta’zir. Qishash diyat adalah suatu kejahatan terhadap jiwa (menghilangkan nyawa) dan anggota badan (pelukaan) yang diancam dengan hukuman qishash atau hukum diyat (ganti rugi dari si pelaku atau ahlinya kepada si korban atau walinya. Sedangkan ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ yang hukumannya diserahkan kepada hakim atau penguasa.
Adanya pembagian tersebut karena terdapat beberapa urgensi di dalamnya, yaitu:
a.       Urgensi ditinjau dari Segi Kekuasaan Hakim
Dalam jarimah hudud hakim akan menjatuhkan hukuman secara definitif menurut ketentuan syara’. Hakim tidak berhak menambah atau mengurangi hukuman yang telah menjadi ketetapan syara’. Sedang pada jarimah qisas diyat hakim berwenang atas pembuktian yang meyakinkan. Hukuman ditentukan oleh syara’ dengan pihak korban atau wali mempunyai wewenang yang pokok, artinya hakim tidak boleh turut campur apa yang akan diterapkan oleh si korban atau wali. Adapun dalam jarimah ta’zir hakim mempunyai kekuasaan yang luas dalam menjatuhkan hukuman dari yang paling berat sampai kepada tingkatan hukuman yang teringan.
b.      Urgensi Ditinjau dari Segi Ampunan
Dalam jarimah hudud tidak ada unsur pemaafan dari pihak manapun. Pada jarimah qisas diyat unsur pemaafan ada pada pihak si korban atau wali, sedangkan pada jarimah ta’zir unsur pemaafan ada sepenuhnya pada pihak hakim atau penguasa.
c.       Urgensi Ditinjau dari Segi Pengaruh Lingkungan
Jarimah hudud dan qisas diyat sama sekali tidak dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan jarimah tazir di mana lingkungan sangat berpengaruh dalam menentukan hukuman.
d.      Urgensi Ditinjau dari Segi Alat Bukti
Untuk jarimah hudud diperlukan empat orang saksi, seperti jarimah zina dan cukup dua saksi bagi jarimah hudud lainnya termasuk jarimah qisas diyat. Adapun untuk kesaksian jarimah ta’zir cukup dibuktikan dengan seorang saksi.
Dalam tindak pidana terdapat tiga Fase, yaitu:
-          Fase pemikiran dan perencanaan.
Fase ini tidak dianggap maksiat yang dijatuhi hukuman karena tidak dapat menuntut lintasan hati dan niatan saja.
-          Fase persiapan
Fase ini tidak dianggap maksiat yang dapat dihukumi juga kecuali apabila perbuatan persiapan tersebut dipandang sebagai maksiat.
-          Fase pelakssana
Fase ini perbuatan si pembuat dianggap sebagai jarimah.
Intinya bahwa tindak pidana yg  dapat dihukum ialah pada  Fase pelakssana. Permulaan tindak pidana tidak dapat dihukum, baik pada fase pemikiran persiapan dan perencanaan.
Bab Turut Serta Berbuat Jarimah
Turut serta berbuat Jarimah (al Istiroh fi al Jarimah) merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pelaku utama dan pembantunya yang terjadi tanpa menghendaki ataupu bersama sama menghendaki hasil dari perbuatan tindak pidana tersebut. Seperti tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh dua orang, seorang yang satu yang menahan korbannya sedangkan seorang yang lainnya yang membunuhnya.
Gabungan tindak pidana (at Ta’addu fi al Jarimah) merupakan tindakan seseorang yang melakukan beberapa jarimah sebelum ditetapkan putusan finalnya dari masing masing jarimah. Misalnya kasus orang yang memukul petugas, ia dianggap melakukan jarimah ganda, yaitu memukul seseorang dan melawan petugas.
Pengulangan tindak pidana (al ‘Audu fi al Jarimah) merupakan seseorang yang melkukan tindak pidana dan elah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, kemudian ia melakukan tindak pidana lagi. Seperti kasus seseorang yang melakukan delik pencurian dan telah mendapat hukuman, namun dikemudian hari ia malah melakukan tindak pidana pencurian ditambah penganiayaan kembali.
Bab Pertanggungjawaban Pidana
Ada beberapa hal yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana dalam islam, yaitu: karena untuk menjalankan Ketentuan Syari’at, karena Perintah Jabatan, karena  dalam keadaan terpaksa, karena untuk pembelaan diri, karena bersifat Subhat dan karena adanya unsur pemaaf.
Bab Uqubah
Dalam hal pemberian sanksi pada hakikatnya tak lain sebagai pembalasan perbuatan jahat, pencegahan secara umum dan pencegahan secara khusus serta perlindungan terhadap hak-hak si korban serta untuk mendatangkan kemaslahatan umat dan mencegah kedaliman atau kemadaratan, sebagaimana dalam surat Al Isro’ ayat 15.
Dikalangan aliran Mu’tazilah, Khawarij dan sebagian fuqoha Syi’ah masih memperdebatkan tentang keautentikan eksistensi hukuman rajam. Adapun alasan mereka yang menolak hukum rajam adalah: (1).Hukum rajam dianggap paling berat di antara hukum yang ada dalam Islam, namun tidak ditetapkan dalam al-Qur`an. Seandainya Allah melegalkan hukum rajam mestinya ditetapkan secara definitif dalam nash. (2.)Hukuman bagi hamba sahaya separoh dari orang merdeka, kalau hukum rajam dianggap sebagai hukuman mati, apa ada hukuman separoh mati. Demikian juga ketentuan hukuman bagi keluarga Nabi dengan sanksi dua kali lipat. Apakah ada dua kali hukuman mati. Secara jelas ayat yang menolak adalah surat an-Nisa’ ayat 25 Demikian halnya dengan ketentuan surat al-Ahzab ayat 30 .Sementara hadis Nabi yang menyatakan berlakunya hukum rajam adalah lemah.
Teori batas maksimal halah al-had al-a’la atau istilah lain dari teori batas maksimal merupakan teori yang mengatakan  “hukum qisas dalam al-Qur`an merupakan hukum yang tertinggi, sehingga hakim dalam kasus tertentu dapat menentukan hukum yang lebih rendah atas persetujuan si korban atau walinya”. Ou bahkan pemaafan yang dalam hal ini menggatikan hukuman tertinggi potong tangan. Kuncinya, sanksi diterapkan secara kondisional. Apa jenis pencuriannya, siapa pelakunya, kenapa terjadi pencurian, hal ini menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan keputusan.
Tindakan terorisme dalam Islam dapat dikategorikan dalam Jarimah Al Hirobah, hal ini dikarenakan adanya persamaan dalam tindak pidana yang dilakukan, yaitu pengambilan hak ornag secara terang terangan disertai tindakan kekerasan. Mereka sama sama melakukan pengrusakan dan anarkis yang tujuannya untuk menciptakan rasa takut dan atau menghancurkan pihak lain serta dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas. Hukuman bagi pelaku Jarimah Hirobah sendiri ialah dibunuh dan disalib atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilang atau dibuang dari negerinya. Hal ini berdasarkan Firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 33 dan 34.
waallaahua'lam... .

* Meniliki Kembali Uas Hukum Publik Islam
** Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Post a Comment for "Review: Hukum Publik Islam*"