Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Selama masih ada “PBNU” Indonesia tidak akan bubar.


Jika kita melihat sejenak ke belakang, ada 3 (tiga) landasan utama yang melatar belakangi lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama (NU)
pada tanggal 31 Januari 1926. Pertama, landasan agama, bahwa NU lahir atas semangat menegakkan dan mempertahankan agama Islam di bumi Indonesia dan meneruskan perjuangan Wali Songo. Hal ini tidak terlepas dari tujuan bangsa Belanda dan Portugal yang tidak hanya menjajah bangsa Indonesia, namun mereka jugamembawa misi menyebarkan agama Kristen dan Katolik ke dalam masyarakat Indonesia.
Kedua, landasan nasionalisme, bahwa NU lahir karena niat, semangat, keinginan dan cita-cita untuk menyatukan para ulama dan tokoh agama untuk bangkit melawan penjajahan di muka bumi, terutama di Indonesia. Hal ini terlihat dari nama “Nadhlatul Ulama” yang artinya Kebangkitan Ulama, yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Dalam sejarah berdirinya negara Indonesia, walaupun bagsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, namun 53 (lima puluh tiga) hari kemudian NICA (Netherlands Indies Civil Administration) nyaris kedaulatan RI. Pada 25 Okober 1945, sebanyak 6000 (enam ribu) tentara Inggris (sekutu) tiba di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Pasukan ini dipimpin oleh Brigadir Jenderal Mallaby (Panglima Brigade ke 49, dari India). Dalam pasukan ini, penjajah Belanda yang sudah keluar Indonesia, kemudian membonceng tentara sekutu ini. Namun sebelum tentara NICA ini datang ke Surabaya, Soekarno sempat mengirim utusan menghadap KH. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Melalui utusannya, Soekarno bertanya kepada KH. Hasyim Asy’ari: “Apakah hukumnya membela tanah air?, bukan membela Allah, membela Islam atau membela Al Qur’an. Sekali lagi membela tanah air?”.
Selanjutnya KH. Hasyim Asy’ari yang sebelumnya sudah punya fatwa jihad kemerdekaan bertindak cepat. Beliau memerintahkan KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syamsuri dan para Kyai lain untuk mengumpulkan para Kyai se Jawa dan Madura. Kemudian pada tanggal 22 Oktober 1945, para Kyai dari Jawa dan Madura itu lantas mengadakan rapat di kantor PB Ansor Nadhlatoel Oelama (ANO), jalan Bubutan VI/2, Surabaya, yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. Dan pada tanggal 23 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari atas nama Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan nama Resolusi Jihad.

Ada 3 (tiga) poin penting dalam resolusi jihad itu, antara lain: (1) setiap muslim, tua dan muda, miskin sekalipun, wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia, (2) pejuang yang mati dalam medan perang kemerdekaan layak disebut syuhada, dan (3) warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. Jadi umat Islam, wajib hukumnya membela tanah air. Bahkan
haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah dalam radius jarak 94 km (radius jarak ini disesuaikan dengan diperbolehkannya melakukan qashar
shalat). Diluar jarak ini, dianggap fardhu kifayah (kewajiban bersama), bukan fardhu ‘ain (kewajiaban individu).
Kemudian resolusi jihad ini digelorakan bung Tomo lewat radio. Hal ini membuat warga Surabaya dan masyarakat Jawa Timur yang mempunyai rasa keagamaan yang kuat dan mayoritas warga NU merasa bangkit semangatnya. Dengan gagah berani, ribuan Kyai dan santri dari berbagai daerah datang ke Surabaya. Dan meletuslah peristiwa 10 November 1945, yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan. Para Kyai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non reguler Sabilillah yang dikomdani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hizbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara para Kyai sepuh berada di barisan Mujahidin yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. Akhirnya pertempuran penuh heroik yang dilakukan oleh ribuan Kyai, santri dan masyarakat Jawa Timur itu berlangsung, dan Brigadir Jenderal Mallaby tewas di tangan para pejuang tanah air Indonesia.
Ketiga, landasan mempertahankan faham Ahlusunnah wal Jama’ah, bahwa NU lahir
untuk membentengi umat Islam, khususnya di Indonesia agar tetap teguh pada ajaran Islam Ahlusunnah wal Jama’ah (para pengikut Nabi, sahabat dan ulama salaf pengikut Nabi dan sahabatnya), sehingga tidak terbawa dan tergiur dengan ajaran- ajaran baru (tidak dikenal pada zaman Nabi, sahabat dan ulama salaf pengikut Nabi dan sahabatnya). Hal ini tidak lepas dari gagasan, keinginan dan keputusan Raja Ibnu Saud yang hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Makkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid’ah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Atas sikapnya yang berbeda tersebut, kalangan pesantren dikeluarkan dari kongres Al Islam di Jogyakarta tahun 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Makkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Di dorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hijaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah. Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hijaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, akhirnya Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Dan hasilnya, sampai dengan sekarang, di Makkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelematkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga. Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis serta untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkoordinasi dengan berbagai Kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nadhlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926), yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar. Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlusunnah wal Jamaah. Kedua kitab tersebut, kemudian diimplementasikan dalam khittah NU, yang dijadikan dasar dan rujukan NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Sejarah telah mencatat, bahwa Islam adalah salah satu kekuatan terbesar yang berada di garda depan dalam perjuangan bangsa bersama-sama dengan kelompok nasionalis. Dan jika berbicara tentang kekuatan Islam dalam pergerakan nasional, maka tidak bisa dihindari bahwa kontribusi NU adalah yang terbesar, baik dalam perjuangan fisik maupun dalam upaya mempertahankan nilai-nilai ajaran Islam di tanah air sebagai “senjata moral”. Ini mudah dipahami, karena NU sebagai jami’iyah diniyah (organisasi keagamaan) adalah wadah bagi para ulama dan para pengikutnya yang didirikan dengan tujuan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam.
Semangat ini yang harus selalu ditanamkan kepada setiap diri warga nahdliyin bahwa setiap langkah dan kebijakan yang diambil harus didasarkan pada semangat membela kebajikan dan melawan kebatilan serta untuk kemaslahatan umat. Hal ini berlaku pula untuk setiap warga nahdliyin yang berkiprah dalam bidang politik, pemerintahan, budaya, sosial, hukum, pendidikan dan bidang lainnya. Salah satu bukti nyata tentang peran NU terhadap bangsa Indonesia dapat dilihat pada waktu menjelang deklarasi kemerdekaan. Saat itu politik aliran sangat terasa, sehingga menentukan presiden bukan pekerjaan mudah. Namun demikian, para ulama NU pada waktu itu yang dimotori oleh KH. Hasyim Asy’ari sepakat mendukung Soekarno yang nasionalis dan lebih dikenal sebagai warga Muhammadiyah untuk menjadi presiden RI pertama. Ini menunjukkan sikap kenegarawan para pemimpin NU untuk kepentingan nasional. Sejarah telah menunjukkan bahwa NU mau mengalah untuk kepentingan nasional.
Sebagai organisasi Islam dan kemasyarakatan terbesar di Indonesia, NU ikut menentukan hitam putihnya kehidupan beragama di Indonesia. Sejak awal berdirinya NU, ada 4 (empat) tradisi bermasyarakat yang sudah dijalankan oleh setiap warga, anggota dan pengurus NU untuk hidup berdampingan dengan kelompok Islam lain atau kelonpok non Islam. Keempat tradisi tersebut adalah sikap tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleransi), tawasut (moderat) dan I’tidal (adil).

Oleh karena itu, Nahdlatul Ulama secara prinsip memang memahami Islam terutama sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin), artinya Islam ketika dilaksanakan secara benar akan mendatangkan rahmat, baik untuk orang Islam maupun bagi seluruh alam. Islam sebagai agama penyempurna tidak hanya membatasi kebaikannya (murni untuk umat Islam saja), melainkan untuk semesta alam, seluruh manusia, makhluk dan kehidupan itu sendiri.

Pemahaman Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin mengandung sebuah pengertian bahwa Islam telah mengatur tata hubungan, menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan kemanusiaan. Karena dasar dari pemahaman Islam rahmatan lil ‘alamin adalah Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka nilai kerahmatan ini menjadi dasar bagi seluruh tata hubungan tersebut. Dalam kaitan ini, sebagai organisasi yang menjalankan prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin, NU memiliki nilai-nilai operasional yang mengejawantahkan prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin tersebut. Pertama, tawasuth. Yakni sikap mengambil jalan tengah ketika berada di dua titik ekstrim, dengan menampilkan keberislaman yang moderat dan kontekstual. Pilihan atas sikap tawasuth ini didasari oleh kemampuan NU untuk menemukan nilai-nilai substantif dari Islam, dengan pengamalan ajaran Islam yang kontekstual dengan kebutuhan umat. Kedua, i’tidal. Sikap adil ini menjadi substansi, konsistensi, dan akurasi yang senantiasa dijaga di dalam posisi tawasuth tersebut, sehingga jika tawasuth berkaitan dengan posisi, maka i’tidal adalah substansi yang dijaga di dalam posisi tawasuth tersebut. Dalam praktiknya, sikap tawasuth dan i’tidal ini kemudian melahirkan sikap- sikap nahdliyyah lainnya, yakni tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang) dan tasyawur (musyawarah).

Oleh karena itu, NU kemudian menjadi garda depan moderatisme Islam di Indonesia, karena ia telah menemukan pemahaman yang seimbang dan adil dari ajaran-ajaran Islam. Dalam menjalankan tawasuth dan i’tidal ini, NU menggunakan tiga pendekatan. Pertama, fiqh al-ahkam, yakni pendekatan syari’ah untuk masyarakat yang telah siap melaksanakan hukum positif Islam (umat ijabah). Kedua, fiqh al-da’wah, yakni pengembangan agama di kalangan masyarakat melalui pembinaan. Ketiga, fiqh al-siyasah, yang merupakan upaya NU dalam mewarnai politik kebangsaan dan kenegaraan. Dalam politik kenegaraan inilah, ulama- ulama NU telah menggariskan suatu kebijaksanaan fiqhiyyah sebagai mekanisme logis untuk menghadapi persoalan bangsa. Jadi, sah tidaknya suatu persoalan kenegaraan, sering dilihat dari sah tidaknya persoalan itu menurut carapandang fiqh. Salah satu contoh yang populer di kalangan kami adalah penggunaan kaidah fiqh, ma laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu: apa yang tidak bisa didapatkan semuanya, jangan ditinggal prinsip dasarnya. Kaidah ini kemudian menjadi landasan normatif dalam menetapkan sikap NU terhadap corak kenegaraan Indonesia yang memang bukan negara Islam. Hal ini dipraktikkan dalam beberapa fase sejarah. Pertama, pra-kemerdekaan. Dalam Muktamar NU di Banjarmasin (1935), NU dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apa hukum pemerintahan yang secara konstitusional berada dalam kekuasaan HindiaBelanda? Apakah ia berarti negara kafir (dar al-harb), ataukah bisa diupayakan suatu negara Islam (dar al-Islam)?

Dengan berpijak pada tradisi fiqh, maka wilayah Hindia Belanda ini kemudian ditetapkan sebagai dar al-salam atau dar al- shulh (negeri damai). Argumentasinya jelas: meskipun pemerintahannya tidak Islami, tetapi umat Islam di dalamnya memiliki hak untuk melaksanakan syari’at Islam dengan nyaman dan aman. Hal ini menegaskan sutu prinsip, bahwa ketika prinsip dasar Islam, yakni pelaksanaan syari’at bisa dilaksanakan di sebuah negara yang struktur konstitusionalnya tidak Islami; hukum bagi negara tersebut bukanlah dar al-harb, melainkan dar al-salam, negeri damai.

Kedua, fase pembentukan negara-bangsa RI. Dalam perumusan konstitusi dan bentuk kenegaraan Indonesia (1945), masyarakat Indonesia dihadapkan pada persoalan krusial dan sensitif: apa corak kenegaraan Indonesia? Apakah ia harus menjadi negara agama, ataukah negara sekular? Umat Islam, sebagai umat mayoritas, tentu memiliki harapan agar kenegaraan RI menjadi negara Islam. Dalam kaitan ini, NU memiliki pemikiran lain. Karena sejak awal, kebangsaan Indonesia bersifat majemuk, maka corak kenegaraan yang berdasar pada satu konsepsi keagamaan, akan bertabrakan dengan kondisi majemuk tersebut. Hal ini sebenarnya telah diwadahi oleh kebijaksanaan falsafah negara, yakni Pancasila. Di dalam falsafah yang digali dari kebijaksanaan kebudayaan Nusantara ini, terdapat prinsip Bhinneka Tunggal Ika tanhana Dharma Mangrwa: kemajemukan itu hakikatnya satu, karena tidak ada kebenaran yang mendua. Meskipun bangsa Indonesia memiliki suku, agama, dan budaya yang begitu majemuk, namun ia tetap berada dalam satu kebenaran, karena tidak ada kebenaran yang mendua.
Dengan ajaran bijak dari local wisdom ini, maka ulama NU akhirnya menentukan sikap: negara RI bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler. Indonesia adalah negara yang didasari oleh nilai-nilai keagamaan. Hal ini dengan baik dijaga oleh keberadaan sila pertama dari Pancasila itu sendiri, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan menempatkan nilai ketuhanan sebagai prinsip (sila) pertama dalam Pancasila, maka negara RI adalah negara yang mendasarkan diri pada nilai ketuhanan. Hal ini memiliki konsekuensi strategis, yang jika dilihat dari prinsip ke-NU-an, menggambarkan sikap tawasuth dan i’tidal. Yaknidi satu sisi, negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama.
Sementara di sisi lain, agama memiliki peran signifikan: ia menjadi dasar etis bagi pembentukan suatu masyarakat madani yang dibutuhkan demi terbangunnya kenegaraan yang beradab. Agama akhirnya menjadi “agama publik” (public religion) yang digerakkan oleh para pemuka dan organisasi keagamaan, untuk membentuk etika sosial dan etika kewarganegaraan yang berlandaskan nilai-nilai etis keagamaan.
Pada titik ini, prinsip ma laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu menemukan ruangnya lagi. Sebab, ketika nilai-nilai substantif Islam, seperti keadilan, kejujuran, saling mengasihi,  kemashlatandan sebagainya bisa diterapkan untuk membentuk etika publik, perjuangan  pendirian struktur kenegaraan Islam tidak lagi menjadi persoalan utama. Hal ini terkait  dengan prinsip keislaman dalam NU, yang tidak terjebak dalam penerapan aspek  formalis atau institusional dari syari’at, melainkan upaya demi terwujudnya tujuan  utama syari’at (maqashid al-syari’ah). Tujuan utama syari’at itu terdapat dalam kemashlatan, yang mewujud dalam pembelaan terhadap lima hak dasar  manusia, yakni hak hidup, hak beragama, hak berpikir, hak bekerja, dan hak berkeluarga.  Fase ketiga, adalah fase azas tunggal Pancasila. Indonesia pernah mengalami satu masa, di mana negara (era Orde Baru) secara masif, menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi politik, yang mengeliminir ideologi-ideologi lainnya. Di segenap lini masyarakat, baik partai politik maupun organisasi kemasyarakatan, Pancasila harus menjadi satu-satunya azas yang mengganti azas lainnya, termasuk azas Islam.
NU pada Muktamar ke-27 di Situbondo (1984) kemudian mengambil sikap. Pancasila adalah azas kenegaraan, bukan azas agama. Selama tidak hendak menggantikan akidah Islam, maka Pancasila bisa diterima. Penetapan ini bisa kita pahami dengan menyimak ungkapan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dengan simbolis, beliau menjelaskan: “Pancasila adalah rumah kita. Sementara Islam adalah rumah tangganya”.Artinya, Pancasila adalah bangunan rumah bersama, yang bisa  ditempati oleh siapa saja. Sementara itu bagi warga NU, rumah tangga untuk menata  rumah itu, tetaplah akidah Islam. Sikap dan ketetapan seperti ini bukan suatu logika  taktis atau bahkan oportunisme politik. Melainkan sebuah sikap tawasuth yang lahir  dari pemahaman atas substansi ajaran Islam, serta kesadaran atas kebutuhan untuk  membangun kenegaraan yang beradab. Dengan menerima azas Pancasila ini, NU  ikut membangun pola kenegaraan konstitusional, sebab dasar konstitusional  tersebut, yakni Pancasilaadalah nilai-nilai luhur yang selaras dengan syari’at Islam.

Berdasarkan pada pengalaman historis di atas, maka NU secara konsisten mengiringi  perjalanan bangsa dan kenegaraan RI. Sebab menurut NU, struktur kenegaraan  RI dengan Pancasila sebagai falsafah, dan konstitusi yang memuat perlindungan dan  pemenuhan atas hajat hidup masyarakat, adalah struktur kenegaraan yang secara  substantifsesuai dengan nilai-nilai dasar Islam. Di dalam kesesuaian dasarinilah, NU  menempatkan peran kenegaraannya. Oleh karena itu, di tengah upaya-upaya ideologis yang digerakkan oleh sayap ekstrim, seperti komunisme dan gerakan fundamentalis Islam, NU tetap berada di titik tawasuth dan i’tidal, sehingga di setiap fase sejarah bangsa dan kenegaraan RI, sikap NU senantiasa sama, yakni mengawal nilai-nilai keadilan yang menjadi prinsip utama dari syari’at Islam.

Akhirnya kita berharap, 4 (empat) pilar bangsa, yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 tetap utuh dan jaya. Untuk itu, sebagai organisasi yang lahir di bumi Indonesia, wajib hukumnya bagi organisasi Nadhlatul Ulama (NU) untuk terus menjaga eksistensi keempat pilar bangsa tersebut. Hal ini penting untuk dipahami oleh warga, anggota dan pengurus NU di seluruh tanah air Indonesia, mengingat Indonesia saat ini banyak dimasuki oleh berbagai organisasi (baru) yang belum memahami secara utuh tentang sejarah berdirinya negara Indonesia. Aamiin ....

sepenuhnya diambil dari postingan :

Post a Comment for "Selama masih ada “PBNU” Indonesia tidak akan bubar."