Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

IRONI SEKOLAH LIMA HARI

Image result for IRONI SEKOLAH LIMA HARI
BARU-BARU ini (7/8), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) resmi menerbitkan instruksi kepada seluruh lembaga dan badan otonom (Banom) di bawahnya untuk melakukan aksi dan menyatakan sikap menolak Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017. Ini sudah kali kedua, setelah sebelumnya (15/6), PBNU pernah mengeluarkan pernyataan tegas mengenai penolakan kebijakan lima hari sekolah.
Namun tampaknya pemerintah (dalam hal ini Kemdikbud) masih bergeming. Mungkin kepalang tanggung, kebijakan sudah telanjur ditetapkan, di mana proses penggodokannya pun terkesan buru-buru dengan mengabaikan aspirasi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Reaksi keras NU tampak dari aksi para guru Madrasah Diniyah (Madin) dan Taman Pendidikan Alqur’an (TPQ) yang secara masif menggelar demo di berbagai kota, antara lain Pasuruan (14/6), Semarang (21/7), Banyumas dan Lumajang (7/8). Lalu, mengapa NU harus bersikap sekeras itu?
Suara Langit
Dalam catatan sejarah, baru kali ini NU sampai menginstruksikan menggelar aksi demo menolak kebijakan pemerintah. Mungkin sudah terlalu gregetan, hingga para ustadz dan kiai NU harus turun gunung satu suara menentang pemberlakuan kebijakan lima hari sekolah.
Bila NU bersuara lantang, berarti ada persoalan yang sangat meresahkan dan berakibat jangka panjang bagi masa depan bangsa. Jika kiai-kiai NU sampai turun gunung demo, artinya ada ìsuara langitî yang harus didengar.
Terhitung wajar bagi NU bereaksi keras soal lima hari sekolah mengingat sekitar 16 ribu Madin dikhawatirkan gulung tikar dikarenakan sepinya peminat. Mengapa? Karena kebanyakan wali murid akan menimbang ulang mendaftar ke Madin seiring beban sekolah yang kian meningkat.
Namun perlu diingat bahwa penolakan NU terhadap kebijakan lima hari sekolah jangan diartikan sebagai serangan balik NU terhadap Muhammadiyah. Jangan keliru persepsi bahwa lima hari sekolah merupakan konflik terbuka antara NU dan Muhammadiyah. Persoalan ini melulu kebijakan Kemdikbud sebagai kepanjangan tangan pemerintah, yang secara kebetulan menterinya orang Muhammadiyah.
Para pendiri bangsa (founding fathers) hampir semuanya pernah bersentuhan dengan dunia pesantren. Tak terhitung banyaknya jebolan pesantren yang berjuang meneteskan darah demi meraih kemerdekaan. Sebut saja antara lain KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, KH Wahid Hasyim dan KH Ahmad Dahlan.
Setidaknya, melalui rekam jejaknya, Madin dan TPQ telah membuktikan dirinya sebagai benteng moral bangsa. Di tengah derasnya arus globalisasi, kedua lembaga khas (indigenous) Nusantara tersebut ampuh menetralisasi benihbenih radikalisme dan terorisme.
Alih-alih memperkuat Madin, kebijakan lima hari sekolah diyakini akan mengerdilkan eksistensi Madin. Bisa dipastikan, pemberlakuan lima hari sekolah akan mengganggu proses alih generasi Islam kultural yang berwawasan inklusif. Jangan sampai terjadi kesenjangan jarak (gap generation) pendidikan moral antargenerasi. Menjadi paradoks bila di tengah upaya pemberantasan radikalisme, tunas-tunas bangsa malah tidak sempat mencicipi suguhan khas Islam Nusantara.
Menjadi sebuah ironi, di tengah hingar bingar dunia, para guru Madin malah ingin direpotkan dengan persoalan krusial bangsa ini yaitu menumbuhkan karakter. Mereka selalu membekali anak didiknya dengan akhlak yang terpuji dengan tanpa mengharap imbalan sepeser pun.
Pada hakikatnya, andai Madin sampai gulung tikar, para gurunya tidak akan merugi apa-apa. Sebenarnya, yang merugi justru pemerintah sendiri, sebab Madin menyediakan pendidikan akhlak secara cuma-cuma dengan sistem swakelola. Bahkan tak jarang, guru Madin rela nombok demi tetap berlangsungnya kegiatan belajar mengajar.
Yang perlu dicamkan, Madin bukan hanya milik NU, melainkan aset bangsa. Menggerogoti keberadaan Madin berarti mengoyak sendi-sendi moral anak bangsa. Sebaliknya, merawat Madin otomatis melestarikan warisan peradaban Islam Nusantara.
Namun, lagi-lagi, semuanya berpulang pada kebijakan pemerintah. Kini bola ada di tangan Presiden Joko Widodo. Di sinilah perlu kearifan Presiden, apakah akan membubuhkan catatan kelam dengan meneruskan pemberlakukan lima hari sekolah ataukah lebih peka terhadap aspirasi akar rumput (grass root) dan menorehkan tinta emas dalam sejarah pendidikan bangsa.
Terlalu prematur bila capaian kinerja menteri diukur dari asal ganta-ganti kebijakan. Jangan sampai rencana diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) hanya merupakan strategi tarik ulur pemerintah.
Permendikbud 23 Tahun 2017 layaknya ujian politik bagi sang Presiden. Rasanya terlalu sembrono bila pemerintah nekad tetap memberlakukan kebijakan lima hari sekolah. Selayaknya perlu dikalkulasi secara rigid, seberapa besar risiko politik yang akan ditanggung menjelang tahun politik 2019.(42)
Mohammad Farid Fad, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Mutaallimin Kendal, dosen UIN Walisongo Semarang
Sumber : Suara Merdeka

Post a Comment for "IRONI SEKOLAH LIMA HARI"