Analisis: Kewenangan Gubernur DKI dalam Menutup Alexis
Dalam beberapa hari belakangan Hotel Alexis mengalami sekarat. Bangunan
berlantai tujuh bercat dominan hitam di Jalan R.E. Martadinata, Ancol,
Pademangan, Jakarta Utara itu terlihat lesu. Dari jalanan besar yang melintang
di muka bangunan, dapat terlihat plang yang menjadi identitas bangunan itu
ditutupi kain hitam. Sebagaimana telah dikutip dari detik.com, pada Jumat, 27
Oktober 2017, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI menerbitkan surat yang berisi
keputusan untuk tidak memperpanjang izin usaha atau Tanda Daftar Usaha
Pariwisata (TDUP) Alexis.
Setidaknya, terdapat tiga pertimbangan yang melatarbelakangi keputusan
Pemprov.
Pertama, sesuai dengan yang tercantum dalam surat tembusan Pemprov DKI
bernomor 6866/-1.858.8 yang menjelaskan pengakuan Pemprov yang mendapat banyak
laporan dari masyarakat terkait operasionalisasi usaha Alexis yang dianggap
terlarang.
Kedua, setiap penyelenggara usaha pariwisata (dalam hal ini Alexis)
berkewajiban turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar
kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya.
Ketiga, pemerintah berkewajiban mengawasi dan mengendalikan kegiatan pariwisata
dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai hal negatif yang dapat
mendampaki masyarakat luas.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan, keputusan untuk
menghentikan penerbitan izin usaha berkala ini diambil berdasar pertimbangan
pada hasil kajian Pemprov dan laporan masyarakat. Bahkan dikatakan Anies
memiliki bukti adanya praktik prostitusi terselubung di Alexis.
Pandangan berbagai pihak dan tanggapan
Pemprov
Dari sisi pengusaha, Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Aspija)
mengkritisi keputusan pemprov yang menolak perpanjangan izin Alexis. Ketua
Aspija, Erich Halauwet bahkan menyebut pemprov telah bertindak arogan. Menurut
Erick, pemprov tidak dapat serta merta menghentikan izin usaha Alexis tanpa
memberi peringatan terlebih dahulu jika memang terdapat pelanggaran dalam
perizinan ataupun operasional Alexis.
Bagi Erick, keputusan pemprov sangat
politis, terlebih jika mengingat salah satu alasan penghentian pemberian izin
adalah didasari pada laporan masyarakat. Menurut Erick, pemprov seharusnya
melakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum memutuskan penghentian pemberian
izin.
Terkait tudingan itu, Anies telah menyatakan dengan tegas bahwa langkah
yang diambil Pemprov DKI didasari pada kajian dan bukti-bukti kuat terkait
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Alexis. Mendukung pernyataan Anies, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi DKI
Jakarta, Edy Junaedi mengatakan, permohonan TDUP Alexis diajukan
melalui aplikasi berbasis online di website pelayanan.jakarta.go.id, sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Gubernur Nomor 47 Tahun 2017 tentang Petunjuk
Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Kemudian, DPMPTSP DKI Jakarta melakukan
penelitian teknis serta pengujian fisik terhadap permohonan tersebut.
Atas dasar penelitian dan pengujian itu, DPMPTSP DKI Jakarta akhirnya mengeluarkan
surat yang menyatakan bahwa permohonan izin TDUP tersebut belum dapat diproses.
Menurut Edy, penghentian pemberian izin terhadap Alexis didasari pada laporan
masyarakat dan informasi yang berseliweran di sejumlah media massa kredibel
tentang praktik prostitusi di Alexis.
Selain itu, informasi dari media massa
merupakan materi yang valid dan sah untuk dijadikan pertimbangan. Selain itu,
berdasar pasal 49 ayat (1) Pergub 47/2017, disebutkan bahwa salah satu bahan
pengawasan, pengendalian dan evaluasi izin dan non izin meliputi: dokumen izin
dan non izin; pengaduan masyarakat; hasil temuan di lapangan; hasil temuan
lembaga pemeriksa yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
informasi yang bersumber dari media massa.
Kemudian,
mengenai soal penghentian penerbitan izin usaha
berkala ini Edy menambahkan, pihaknya memiliki hak untuk
tidak memperpanjang izin usaha Alexis. Kebijakan tidak memperpanjang izin usaha
dikeluarkan tanpa peringatan. Jika usaha izin usaha Alexis belum habis,
pihaknya dapat memberi peringatan. Edy memandang penutupan Alexis dapat menjadi
pertimbangan Gubernur dan Wagub DKI Anies-Sandi untuk membuat kebijakan
pariwisata di DKI yang lebih beradab. Penutupan Alexis juga dapat menjadi acuan
untuk mengevaluasi seluruh praktik prostitusi di Ibu Kota.
Pembelaan Pengelola Alexis dan Jawaban Pemprov
Terkait keputusan Pemprov tak memperpanjang izin usaha mereka, pihak
pengelola Alexis menyampaikan sejumlah pembelaan. Sebagaimana
yang telah dilansir dari detik.com, mereka memberikan pernyataan lengkap
terkait sikap Pemprov DKI Jakarta menolak daftar ulang tanda daftar usaha
pariwisata (TDUP) yang diajukan Hotel Alexis dan Griya Pijat Alexis. Pernyataan
lengkap ini tertuang dalam surat pernyataan yang
diterima detikcom dari Legal & Corporate Affair Alexis Group,
Lina Novita, Selasa 31Oktober 2017. Dalam
9 poin yang dijabarkan, pihak Hotel Alexis menegaskan hingga kini di hotel dan
griya pijat mereka tidak pernah ditemukan pelanggaran, baik peredaran narkoba
maupun kasus asusila. Legal Corporate Alexis
Group, Lina Novita mengklaim tak pernah ada pelanggaran yang dilakukan oleh
pengelola Alexis, termasuk pelanggaran soal narkoba dan tindak asusila. Menurut
Lina, sebagai usaha yang bergerak dalam bidang pariwisata, pihaknya selalu
mematuhi segala ketentuan yang berlaku terkait perizinan ataupun hal-hal
menyangkut operasional. Pihaknya pun dapat memahami kebijakan yang diambil
pemprov dibawah kepemimpinan Anies-Sandi. Namun, menurut Lina, segala
kecurigaan terkait kegiatan usaha Alexis muncul akibat stigma buruk yang telah
tertanam di tengah masyarakat terhadap keberadaan Alexis. Untuk itu, Lina
menyatakan, pihaknya siap berbenah dan melakukan penataan menyeluruh agar dapat
keluar dari stigma negatif yang selama ini telah tertuju kepada usaha yang
mereka jalankan. Alexis, dikatakan Lina berharap pemprov dapat membuka diri
untuk melakukan dialog.
Lebih lanjut, Lina mengatakan, selama beroperasi, Alexis telah memberikan
kontribusi cukup signifikan bagi keuangan daerah. Menurut Lina, sebagai badan
usaha, Alexis selalu taat pajak. Bahkan, besaran pajak yang dibayarkan Alexis
setiap tahun bernilai cukup besar, yakni Rp 30 miliar. Berdasar data pajak
Alexis, Badan Pajak dan Retribusi Daerah DKI Jakarta memaparkan, terdapat tiga
jenis rincian pajak yang dikenakan terhadap Alexis, yakni pajak hotel, karaoke
dan pajak spa. Data tahun 2016 menunjukkan, untuk pajak hotel, Alexis
dibebankan dengan nilai pajak sebesar Rp 5.508.400.457. Kemudian, untuk pajak
spa, nilai pajak Alexis adalah sebesar Rp 10.435.168.625. Adapun beban pajak
terbesar Alexis datang dari pajak karaoke yang mencapai Rp 11.238.914.904.
Artinya, nilai keseluruhan pajak Alexis sepanjang tahun 2016 adalah Rp
27.182.483.986. Terkait hal itu, Anies tak goyang. Bagi Anies, nilai pajak yang
disetorkan sejatinya tergolong kecil dan tak begitu signifikan. Anies
menegaskan, pihaknya tak khawatir dengan hangusnya pajak dari Alexis. Menurut
Anies, Jakarta memiliki banyak potensi pajak yang belum teroptimalkan seperti
PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), retribusi serta potensi lainnya.
Adapun hal lain yang menjadi perhatian Alexis adalah terkait tenaga kerja.
Akibat tak diperpanjangnya izin, Alexis terpaksa merumahkan seribu tenaga
kerjanya. Terkait itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Salahuddin Uno
mengaku telah menyiapkan solusi. Pemprov, dikatakan Sandi akan tetap
memberdayakan seluruh eks pekerja Alexis lewat program OK OCE. Caranya, seluruh
eks pekerja Alexis nantinya akan disalurkan ke kantong-kantong usaha binaan OK
OCE lewat Kepala Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta. Menurut Sandi, para eks
pekerja Alexis yang dirumahkan dapat tetap bekerja pada badan-badan usaha lain
di bidang perhotelan dan wisata.
Analisis problem
Dalam pandangan penulis kebijakan Pemprov DKI terhadap penutup
Alexis tidak menyalahi aturan. Kebijakan tersebut
dilakukan dengan terbitnya surat yang berisi keputusan untuk tidak
memperpanjang izin usaha atau Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) Alexis.
Dalam keputusan tersebut dilatarbelakangi dengan adanya tiga faktor
pertimbangan sebagaimana yang telah disebutkan di muka. Namun penulis sangat
menyayangkan terhadap sikap Pemprov DKI yang hingga saat ini belum mengabulkan
audiensi yang telah diminta oleh pihak pengelola
Hotel Alexis. Selain itu Pemprov DKI pun belum
dapat menunjukkan
bukti yang kuat sebagai dasar mengeluarkan kebijakan tersebut, sehingga pihak
pengelola Alexis mempunyai legal standing untuk mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebagaimana paparan yang disampaikan oleh
pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia Chudry Sitompul, yang dikutip
dari Tribunnews.com,
Dalam kasus belum diperpanjangnya izin usaha Alexis, PT Grand Ancol Hotel selaku pengelola Hotel Alexis di Jakarta Barat dinilai memiliki legal standing mengajukan gugatan hukum terhadap kebijakan Pemprov Jakarta tersebut. Hal itu mengacu pada ketentuan hukum administrasi negara yakni adanya azas 'audi etalteram partem' atau persamaan perlakuan kepada semua masyarakat. Mereka punya hak untuk sampai sekarang tanpa ada teguran maupun audiensi apapun Pemprov Jakarta tidak memperpanjang izin usaha Hotel Alexis, bahkan Pemprov DKI tidak juga menunjukkan bukti yang memperkuat penolakan perpanjangan izin usaha itu.
Sikap
yang demikian mengingatkan penulis dengan kebijakan serupa yang pernah
dilakukan pemerintah dalam melakukan pembubaran ormas melalui Perppu No. 2
Tahun 2017. Kebijakan semacam ini
sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip -
prinsip negara hukum karena tidak lagi memberikan kebebasan terhadap hak
asasi warga negaranya dalam berserikat dan bertentangan dengan pancasila
melalui mekanisme kekuasaan. Dalam kebijakan ini pemerintah seharusnya
melakukan pendekatan persuasif terlebih dahulu sebagaimana yang telah tercantum
dalam UU tentang Ormas tahun 2013, selain itu pula dalam penjatuhan sanksi
pencabutan pun haruslah melalui pengadilan negeri, karena dalam prinsip negara
hukum segala kebijakan yang berhubungan dengan hukum haruslah melalui
pengadilan. Memang pada dasarnya pembubaran ormas (seperti HTI) telah mendapat
ratio legis (alasan hukum) yang memadai bagi pemerintah untuk memberikan sanksi
pencabutan status badan hukum (pembubaran), dan dengan hak prerogratifnya
presiden dapat membubarkan ormas tanpa melalui proses pengadilan. Walaupun demikian,
kebijakan tersebut menghasilkan produk hukum yang bersifat konservatif karena
menimbulkan kontroversi di berbagai elemen. Begitu pula kebijakan Pemprov DKI
yang dalam hal ini terlalu terburu – buru dalam memutuskan untuk menutup Alexis dengan dalih adanya dugaan prostitusi yang telah beredar di
media sosial.
Kemudian,
berhubungan dengan pembuktian yang akan ditunjukkan oleh Pemprov DKI, adanya
kabar yang menyatakan tentang alat bukti yang telah dimiliki selain laporan
laporan dari media massa yaitu adanya semacam alat perekam sebagaimana yang
telah tersirat dari pernyataan Anies. Selain itu pula melalui Wakil Ketua DPR
Taufik Kurniawan, meminta agar Hotel dan Griya Pijat Alexis untuk membuka
seluruh data pelanggan yang pernah berkunjung serta membuka seluruh rekaman
CCTV sesuai data pelanggan sebagai bukti tidak adanya tindakan asusila dalam hotel
dan griya pijat tersebut.
Berbicara
mengenai kedudukan CCTV dan alat perekam lainnya sebagai alat bukti dalam hukum
acara pidana di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Undang-Undang No. 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016. Sebagaimana yang telah
dipaparkan secara gamblang oleh Vidya Prahassacitta dalam business-law.binus.ac.id, bahwa CCTV
dan alat perekam lainnya masuk dalam pengertian informasi elektronik dan
dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 1 dan 4 UU ITE
dan merupakan alat bukti yang sah dalam hukum acara yang berlaku, sehingga
dalam hukum acara pidana dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam proses
penyidikan, penuntutan dan persidangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat
(1) dan (2) serta Pasal 44 UU ITE. Terhadap pasal tersebut Mahkamah Kontitusi
telah mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa:
Frase informasi elektronik dan/atau data elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UU ITE bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 (UUD 1945) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frase informasi elektronik dan/atau data elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE.
Putusan
Mahkamah Konstitusi inilah kemudian yang dipandang sebagai dasar untuk
membatasi penggunaan CCTV dan alat perekam lainnya sebagai alat bukti dalam
hukum acara pidana. Sebelum adanya
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, telah terdapat pertanyaan hukum mengenai
kedudukan dari informasi elektronik dan dokumen elektronik dalam hukum acara
pidana di Indonesia. Jika mau menganalisis ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU ITE,
di sana telah dikatakan bahwa keduanya merupakan perluasan dari alat bukti yang
sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Tidak ada penjelasan yang sah
mengenai apa yang dimaksud dengan perluasan tersebut sehingga timbul pertanyaan
apakah perluasan tersebut dimaknai sebagai penambahan alat bukti atau merupakan
bagian dari alat bukti yang telah ada. Dalam Pasal 184 Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat lima
alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa dan jika perluasan tersebut dimaknai penambahan maka alat
bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia secara umum menjadi lebih dari
lima. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah informasi elektronik dan data
elektronik tersebut dapat dijadikan dasar sebagai alat bukti petunjuk bagi
Majelis Hakim. Kemudian apabila perluasan tersebut dimaknai sebagai bagian dari
alat bukti yang telah ada maka alat bukti dalam hukum pidana secara umum tetap
lima, namun baik informasi elektronik dan dokumen elektronik tersebut dapat
dimasukkan dalam alat bukti petunjuk atau alat bukti surat.
Demikian pula
dengan pertimbangan hukum majelis hakim konstitusi dalam Putusan No.
20/PUU-XIV/2016 yang menempatkan kedudukan barang bukti dan alat bukti sebagai
bagian dari bukti yang mana cara perolehannya juga harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik sebagai bagian dari barang bukti yang digunakan
untuk melakukan tindak pidana, benda yang diperoleh dari tindak pidana atau
benda yang menunjukkan terjadinya tindak pidana. Selain itu majelis hakim
konstitusi juga menentukan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik baru dapat dipandang sebagai alat bukti yang sah harus diperoleh
dengan cara yang sah pula, jika tidak maka dapat dikesampingkan karena tidak
memiliki nilai pembuktian. Hal yang menunjukkan bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut penggabungan mengenai kedudukan atas alat bukti informasi
elektronik dan dokumen elektronik dengan cara perolehan yang salah alat bukti
tersebut.
Terkait dengan
penggabungan ini dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016,
terdapat perbedaan pendapat atau diessenting opinion dari
Hakim Konstitusi Suhartoyo yang setuju dengan pendapat ahli dari presiden Dr.
Edmon Makarim, S.Kom, S.H., LL.M. Dalam hal ini perlu dipisahkan antara alat
bukti dan cara perolehannya, sehingga semua informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah adapun cara perolehannya
merupakan cara yang lain. Hakim Suhartoyo berpendapat bahwa UU ITE telah
mengatur mengenai cara perolehan informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik sebagai alat bukti yang sah sehingga seharusnya permohonan uji
materi tersebut ditolak. Penulis sependapat dengan pandangan tersebut.
Lebih lanjut
adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah mengubah standar pembuktian
di Indonesia. Sebelumnya tidak diatur bagaimana keabsahan perolehan suatu alat
bukti maka pasca-putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terbatas untuk informasi
elektronik dan dokumen elektronik maka keabsahan peroleh suatu alat bukti
menjadikan suatu alat bukti memiliki nilai pembuktian atau tidak. Oleh karena
itu penggunaan CCTV untuk penjebakan perbuatan suap dalam kasus tindak pidana
korupsi sebagaimana dalam kasus tindak pidana korupsi atas nama terpidana
Mulyana W Kusuma tidak dapat diterima sebagai alat bukti yang sah.
Ditinjau dari
sifat rekaman sebagai informasi elektronik dan data elektronik. Rekaman
pembicaraan yang dijadikan bahan permohonan uji materi atas Pasal 5 ayat (1),
(2) dan Pasal 43 UU ITE serta Pasal 26A UU Tipikor diajukan oleh Setya Novanto
merupakan pembicaraan yang bersifat privat. Rekaman pembicaraan antara Setya
Novanto, Riza Chalid dengan Maroef Sjamsoeddin, Direktur Utama PT Freeport
Indonesia yang dalam pembicaraan tersebut Setya Novanto meminta dua puluh
persen saham PT Freeport Indonesia dan jatah empat puluh sembilan persen saham
proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Urumuka, Papua pada PT Freeport
Indonesia dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla.
Rekaman pembicaraan tersebut sengaja dilakukan oleh Maroef Sjamsoeddin tanpa
memberitahukan, baik kepada Setya Novanto maupun Riza Chalid. Mahkamah
Kehormatan Dewan kemudian melakukan sidang pelanggaran kode etik dan kasus
tersebut juga disidik oleh Kejaksaan Agung atas dugaan tindak pidana
permufakatan jahat dan tindak pidana korupsi. Keberatan timbul karena alat
bukti yang dipergunakan dalam proses penyidikan tersebut adalah rekaman
pembicaraan yang diperoleh secara tidak sah karena bukan dilakukan dan
dimintakan oleh aparat yang berwenang. Oleh karenanya ketika pembicaraan
tersebut direkam tanpa persetujuan Setya Novanto dan Riza Chalid maka keduanya
dapat menunutut bahwa hak privasinya telah dilanggar. Berbeda dengan CCTV milik
Kafe Oliver yang merupakan rekaman atas pemantauan atau monitoring atas segala
aktivitas yang terjadi di area publik sehingga seseorang yang kegiatannya
terekam di area publik oleh CCTV tidak dapat menuntut bahwa privasinya telah
dilanggar.
Kemudian
ditinjau dari cara perolehannya maka harus dikaitkan dengan frase dalam rangka
penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi
penegak hukum lainnya dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Frase atas permintaan
tersebut juga menimbulkan pertanyaan permintaan yang seperti apa yang dimaksud
apakah setiap proses perekaman pembicaraan atau gambar harus dengan izin aparat
penegak hukum atau proses menjadikan rekaman tersebut menjadi alat bukti harus
dengan adanya permintaan dari aparat penegak hukum. Berdasarkan hal tersebut
penulis berpandangan bahwa untuk rekaman pembicaraan yang bersifat privat
tersebut baru dapat dipergunakan sebagai bukti dalam proses penegakan hukum
apabila dilakukan menurut ketentuan undang-undang yang berlaku dalam hal ini
proses perekaman tersebut harus dilakukan dengan permintaan aparat pengeak
hukum dengan prosedur yang diatur dalam undang-undang. Akibatnya jika rekaman
pembicaraan tersebut tidak dilakukan sesuai dengan undang-undang maka rekaman
pembicaraan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah.
Sebaliknya untuk CCTV yang bersifat publik tidak perlu proses perekamannya
dilakukan dengan permintaan aparat penegak hukum. Namun, apabila hasil
rekaman CCTV dan alat perekam lainnya tersebut hendak dijadikan alat bukti
dalam proses penegakan hukum pidana maka hasil rekaman tersebut baru dapat
dijadikan alat bukti jika ada permintaan dari aparat penegak hukum.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam pembahasan di muka,
dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa kebijakan Pemprov DKI terhadap penutup
Alexis tidak menyalahi aturan. Kebijakan tersebut
dilakukan dengan terbitnya surat yang berisi keputusan untuk tidak
memperpanjang izin usaha atau Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) Alexis.
Dalam hal ini seharusnya Pemprov DKI segera mengabulkan audiensi yang telah diminta
oleh pihak pengelola Hotel Alexis.
Selain itu Pemprov DKI pun
sesegera mungkin menunjukkan bukti yang memperkuat
terhadap penolakan izin usaha tersebut. Sehingga baik dari pihak alexis dapat
mengetahui apa yang harus dilakukan untuk memperpanjang izin usaha mereka dan
dari pihak pemprov sendiri pun dalam hal kebijakannya tidak lagi menuai
konroversi.
Sumber:
Akhir kata tulisan ini masih 100 persen belum meresentasikan analisisnya alias masih njeplak.
Post a Comment for "Analisis: Kewenangan Gubernur DKI dalam Menutup Alexis"