Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Analisis: Kewenangan Gubernur DKI dalam Menutup Alexis

Image result for hotel alexis


Kronologis
Dalam beberapa hari belakangan Hotel Alexis mengalami sekarat. Bangunan berlantai tujuh bercat dominan hitam di Jalan R.E. Martadinata, Ancol, Pademangan, Jakarta Utara itu terlihat lesu. Dari jalanan besar yang melintang di muka bangunan, dapat terlihat plang yang menjadi identitas bangunan itu ditutupi kain hitam. Sebagaimana telah dikutip dari detik.com, pada Jumat, 27 Oktober 2017, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI menerbitkan surat yang berisi keputusan untuk tidak memperpanjang izin usaha atau Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) Alexis.
Setidaknya, terdapat tiga pertimbangan yang melatarbelakangi keputusan Pemprov.
Pertama, sesuai dengan yang tercantum dalam surat tembusan Pemprov DKI bernomor 6866/-1.858.8 yang menjelaskan pengakuan Pemprov yang mendapat banyak laporan dari masyarakat terkait operasionalisasi usaha Alexis yang dianggap terlarang.
Kedua, setiap penyelenggara usaha pariwisata (dalam hal ini Alexis) berkewajiban turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya.
Ketiga, pemerintah berkewajiban mengawasi dan mengendalikan kegiatan pariwisata dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai hal negatif yang dapat mendampaki masyarakat luas.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan, keputusan untuk menghentikan penerbitan izin usaha berkala ini diambil berdasar pertimbangan pada hasil kajian Pemprov dan laporan masyarakat. Bahkan dikatakan Anies memiliki bukti adanya praktik prostitusi terselubung di Alexis. 
Pandangan berbagai pihak dan tanggapan Pemprov
Dari sisi pengusaha, Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Aspija) mengkritisi keputusan pemprov yang menolak perpanjangan izin Alexis. Ketua Aspija, Erich Halauwet bahkan menyebut pemprov telah bertindak arogan. Menurut Erick, pemprov tidak dapat serta merta menghentikan izin usaha Alexis tanpa memberi peringatan terlebih dahulu jika memang terdapat pelanggaran dalam perizinan ataupun operasional Alexis.
Bagi Erick, keputusan pemprov sangat politis, terlebih jika mengingat salah satu alasan penghentian pemberian izin adalah didasari pada laporan masyarakat. Menurut Erick, pemprov seharusnya melakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum memutuskan penghentian pemberian izin.
Terkait tudingan itu, Anies telah menyatakan dengan tegas bahwa langkah yang diambil Pemprov DKI didasari pada kajian dan bukti-bukti kuat terkait pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Alexis. Mendukung pernyataan Anies, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi DKI Jakarta, Edy Junaedi mengatakan, permohonan TDUP Alexis diajukan melalui aplikasi berbasis online di website pelayanan.jakarta.go.id, sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Gubernur Nomor 47 Tahun 2017 tentang Petunjuk Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Kemudian, DPMPTSP DKI Jakarta melakukan penelitian teknis serta pengujian fisik terhadap permohonan tersebut. 

Atas dasar penelitian dan pengujian itu, DPMPTSP DKI Jakarta akhirnya mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa permohonan izin TDUP tersebut belum dapat diproses. Menurut Edy, penghentian pemberian izin terhadap Alexis didasari pada laporan masyarakat dan informasi yang berseliweran di sejumlah media massa kredibel tentang praktik prostitusi di Alexis. 

Selain itu, informasi dari media massa merupakan materi yang valid dan sah untuk dijadikan pertimbangan. Selain itu, berdasar pasal 49 ayat (1) Pergub 47/2017, disebutkan bahwa salah satu bahan pengawasan, pengendalian dan evaluasi izin dan non izin meliputi: dokumen izin dan non izin; pengaduan masyarakat; hasil temuan di lapangan; hasil temuan lembaga pemeriksa yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan dan informasi yang bersumber dari media massa.
Kemudian, mengenai soal penghentian penerbitan izin usaha berkala ini Edy menambahkan, pihaknya memiliki hak untuk tidak memperpanjang izin usaha Alexis. Kebijakan tidak memperpanjang izin usaha dikeluarkan tanpa peringatan. Jika usaha izin usaha Alexis belum habis, pihaknya dapat memberi peringatan. Edy memandang penutupan Alexis dapat menjadi pertimbangan Gubernur dan Wagub DKI Anies-Sandi untuk membuat kebijakan pariwisata di DKI yang lebih beradab. Penutupan Alexis juga dapat menjadi acuan untuk mengevaluasi seluruh praktik prostitusi di Ibu Kota.
Pembelaan Pengelola Alexis dan Jawaban Pemprov
Terkait keputusan Pemprov tak memperpanjang izin usaha mereka, pihak pengelola Alexis menyampaikan sejumlah pembelaan. Sebagaimana yang telah dilansir dari detik.com, mereka memberikan pernyataan lengkap terkait sikap Pemprov DKI Jakarta menolak daftar ulang tanda daftar usaha pariwisata (TDUP) yang diajukan Hotel Alexis dan Griya Pijat Alexis. Pernyataan lengkap ini tertuang dalam surat pernyataan yang diterima detikcom dari Legal & Corporate Affair Alexis Group, Lina Novita, Selasa 31Oktober 2017. Dalam 9 poin yang dijabarkan, pihak Hotel Alexis menegaskan hingga kini di hotel dan griya pijat mereka tidak pernah ditemukan pelanggaran, baik peredaran narkoba maupun kasus asusila. Legal Corporate Alexis Group, Lina Novita mengklaim tak pernah ada pelanggaran yang dilakukan oleh pengelola Alexis, termasuk pelanggaran soal narkoba dan tindak asusila. Menurut Lina, sebagai usaha yang bergerak dalam bidang pariwisata, pihaknya selalu mematuhi segala ketentuan yang berlaku terkait perizinan ataupun hal-hal menyangkut operasional. Pihaknya pun dapat memahami kebijakan yang diambil pemprov dibawah kepemimpinan Anies-Sandi. Namun, menurut Lina, segala kecurigaan terkait kegiatan usaha Alexis muncul akibat stigma buruk yang telah tertanam di tengah masyarakat terhadap keberadaan Alexis. Untuk itu, Lina menyatakan, pihaknya siap berbenah dan melakukan penataan menyeluruh agar dapat keluar dari stigma negatif yang selama ini telah tertuju kepada usaha yang mereka jalankan. Alexis, dikatakan Lina berharap pemprov dapat membuka diri untuk melakukan dialog.
Lebih lanjut, Lina mengatakan, selama beroperasi, Alexis telah memberikan kontribusi cukup signifikan bagi keuangan daerah. Menurut Lina, sebagai badan usaha, Alexis selalu taat pajak. Bahkan, besaran pajak yang dibayarkan Alexis setiap tahun bernilai cukup besar, yakni Rp 30 miliar. Berdasar data pajak Alexis, Badan Pajak dan Retribusi Daerah DKI Jakarta memaparkan, terdapat tiga jenis rincian pajak yang dikenakan terhadap Alexis, yakni pajak hotel, karaoke dan pajak spa. Data tahun 2016 menunjukkan, untuk pajak hotel, Alexis dibebankan dengan nilai pajak sebesar Rp 5.508.400.457. Kemudian, untuk pajak spa, nilai pajak Alexis adalah sebesar Rp 10.435.168.625. Adapun beban pajak terbesar Alexis datang dari pajak karaoke yang mencapai Rp 11.238.914.904. Artinya, nilai keseluruhan pajak Alexis sepanjang tahun 2016 adalah Rp 27.182.483.986. Terkait hal itu, Anies tak goyang. Bagi Anies, nilai pajak yang disetorkan sejatinya tergolong kecil dan tak begitu signifikan. Anies menegaskan, pihaknya tak khawatir dengan hangusnya pajak dari Alexis. Menurut Anies, Jakarta memiliki banyak potensi pajak yang belum teroptimalkan seperti PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), retribusi serta potensi lainnya.
Adapun hal lain yang menjadi perhatian Alexis adalah terkait tenaga kerja. Akibat tak diperpanjangnya izin, Alexis terpaksa merumahkan seribu tenaga kerjanya. Terkait itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Salahuddin Uno mengaku telah menyiapkan solusi. Pemprov, dikatakan Sandi akan tetap memberdayakan seluruh eks pekerja Alexis lewat program OK OCE. Caranya, seluruh eks pekerja Alexis nantinya akan disalurkan ke kantong-kantong usaha binaan OK OCE lewat Kepala Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta. Menurut Sandi, para eks pekerja Alexis yang dirumahkan dapat tetap bekerja pada badan-badan usaha lain di bidang perhotelan dan wisata.
Analisis problem
Dalam pandangan penulis kebijakan Pemprov DKI terhadap penutup Alexis tidak menyalahi aturan. Kebijakan tersebut dilakukan dengan terbitnya surat yang berisi keputusan untuk tidak memperpanjang izin usaha atau Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) Alexis. Dalam keputusan tersebut dilatarbelakangi dengan adanya tiga faktor pertimbangan sebagaimana yang telah disebutkan di muka. Namun penulis sangat menyayangkan terhadap sikap Pemprov DKI yang hingga saat ini belum mengabulkan audiensi yang telah diminta oleh pihak pengelola Hotel Alexis. Selain itu Pemprov DKI pun belum dapat menunjukkan bukti yang kuat sebagai dasar mengeluarkan kebijakan tersebut, sehingga pihak pengelola Alexis mempunyai legal standing untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebagaimana paparan yang disampaikan oleh pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia Chudry Sitompul, yang dikutip dari Tribunnews.com,
Dalam kasus belum diperpanjangnya izin usaha Alexis, PT Grand Ancol Hotel selaku pengelola Hotel Alexis di Jakarta Barat dinilai memiliki legal standing mengajukan gugatan hukum terhadap kebijakan Pemprov Jakarta tersebut. Hal itu mengacu pada ketentuan hukum administrasi negara yakni adanya azas 'audi etalteram partem' atau persamaan perlakuan kepada semua masyarakat. Mereka punya hak untuk sampai sekarang tanpa ada teguran maupun audiensi apapun Pemprov Jakarta tidak memperpanjang izin usaha Hotel Alexis, bahkan Pemprov DKI tidak juga menunjukkan bukti yang memperkuat penolakan perpanjangan izin usaha itu.
Sikap yang demikian mengingatkan penulis dengan kebijakan serupa yang pernah dilakukan pemerintah dalam melakukan pembubaran ormas melalui Perppu No. 2 Tahun 2017. Kebijakan  semacam ini sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip -  prinsip negara hukum karena tidak lagi memberikan kebebasan terhadap hak asasi warga negaranya dalam berserikat dan bertentangan dengan pancasila melalui mekanisme kekuasaan. Dalam kebijakan ini pemerintah seharusnya melakukan pendekatan persuasif terlebih dahulu sebagaimana yang telah tercantum dalam UU tentang Ormas tahun 2013, selain itu pula dalam penjatuhan sanksi pencabutan pun haruslah melalui pengadilan negeri, karena dalam prinsip negara hukum segala kebijakan yang berhubungan dengan hukum haruslah melalui pengadilan. Memang pada dasarnya pembubaran ormas (seperti HTI) telah mendapat ratio legis (alasan hukum) yang memadai bagi pemerintah untuk memberikan sanksi pencabutan status badan hukum (pembubaran), dan dengan hak prerogratifnya presiden dapat membubarkan ormas tanpa melalui proses pengadilan. Walaupun demikian, kebijakan tersebut menghasilkan produk hukum yang bersifat konservatif karena menimbulkan kontroversi di berbagai elemen. Begitu pula kebijakan Pemprov DKI yang dalam hal ini terlalu terburu – buru dalam memutuskan untuk menutup Alexis dengan dalih adanya dugaan prostitusi yang telah beredar di media sosial.
Kemudian, berhubungan dengan pembuktian yang akan ditunjukkan oleh Pemprov DKI, adanya kabar yang menyatakan tentang alat bukti yang telah dimiliki selain laporan laporan dari media massa yaitu adanya semacam alat perekam sebagaimana yang telah tersirat dari pernyataan Anies. Selain itu pula melalui Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan, meminta agar Hotel dan Griya Pijat Alexis untuk membuka seluruh data pelanggan yang pernah berkunjung serta membuka seluruh rekaman CCTV sesuai data pelanggan sebagai bukti tidak adanya tindakan asusila dalam hotel dan griya pijat tersebut.
Berbicara mengenai kedudukan CCTV dan alat perekam lainnya sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016. Sebagaimana yang telah dipaparkan secara gamblang oleh Vidya Prahassacitta dalam business-law.binus.ac.id, bahwa CCTV dan alat perekam lainnya masuk dalam pengertian informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 1 dan 4 UU ITE dan merupakan alat bukti yang sah dalam hukum acara yang berlaku, sehingga dalam hukum acara pidana dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UU ITE. Terhadap pasal tersebut Mahkamah Kontitusi telah mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa:
Frase informasi elektronik dan/atau data elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UU ITE bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 (UUD 1945) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frase informasi elektronik dan/atau data elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE.
Putusan Mahkamah Konstitusi inilah kemudian yang dipandang sebagai dasar untuk membatasi penggunaan CCTV dan alat perekam lainnya sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana. Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, telah terdapat pertanyaan hukum mengenai kedudukan dari informasi elektronik dan dokumen elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia. Jika mau menganalisis ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU ITE, di sana telah dikatakan bahwa keduanya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Tidak ada penjelasan yang sah mengenai apa yang dimaksud dengan perluasan tersebut sehingga timbul pertanyaan apakah perluasan tersebut dimaknai sebagai penambahan alat bukti atau merupakan bagian dari alat bukti yang telah ada. Dalam Pasal 184 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat lima alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa dan jika perluasan tersebut dimaknai penambahan maka alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia secara umum menjadi lebih dari lima. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah informasi elektronik dan data elektronik tersebut dapat dijadikan dasar sebagai alat bukti petunjuk bagi Majelis Hakim. Kemudian apabila perluasan tersebut dimaknai sebagai bagian dari alat bukti yang telah ada maka alat bukti dalam hukum pidana secara umum tetap lima, namun baik informasi elektronik dan dokumen elektronik tersebut dapat dimasukkan dalam alat bukti petunjuk atau alat bukti surat.
Demikian pula dengan pertimbangan hukum majelis hakim konstitusi dalam Putusan No. 20/PUU-XIV/2016 yang menempatkan kedudukan barang bukti dan alat bukti sebagai bagian dari bukti yang mana cara perolehannya juga harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai bagian dari barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, benda yang diperoleh dari tindak pidana atau benda yang menunjukkan terjadinya tindak pidana. Selain itu majelis hakim konstitusi juga menentukan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik baru dapat dipandang sebagai alat bukti yang sah harus diperoleh dengan cara yang sah pula, jika tidak maka dapat dikesampingkan karena tidak memiliki nilai pembuktian. Hal yang menunjukkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut penggabungan mengenai kedudukan atas alat bukti informasi elektronik dan dokumen elektronik dengan cara perolehan yang salah alat bukti tersebut.
Terkait dengan penggabungan ini dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016, terdapat perbedaan pendapat atau diessenting opinion dari Hakim Konstitusi Suhartoyo yang setuju dengan pendapat ahli dari presiden Dr. Edmon Makarim, S.Kom, S.H., LL.M. Dalam hal ini perlu dipisahkan antara alat bukti dan cara perolehannya, sehingga semua informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah adapun cara perolehannya merupakan cara yang lain. Hakim Suhartoyo berpendapat bahwa UU ITE telah mengatur mengenai cara perolehan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah sehingga seharusnya permohonan uji materi tersebut ditolak. Penulis sependapat dengan pandangan tersebut.
Lebih lanjut adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah mengubah standar pembuktian di Indonesia. Sebelumnya tidak diatur bagaimana keabsahan perolehan suatu alat bukti maka pasca-putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terbatas untuk informasi elektronik dan dokumen elektronik maka keabsahan peroleh suatu alat bukti menjadikan suatu alat bukti memiliki nilai pembuktian atau tidak. Oleh karena itu penggunaan CCTV untuk penjebakan perbuatan suap dalam kasus tindak pidana korupsi sebagaimana dalam kasus tindak pidana korupsi atas nama terpidana Mulyana W Kusuma tidak dapat diterima sebagai alat bukti yang sah.
Ditinjau dari sifat rekaman sebagai informasi elektronik dan data elektronik. Rekaman pembicaraan yang dijadikan bahan permohonan uji materi atas Pasal 5 ayat (1), (2) dan Pasal 43 UU ITE serta Pasal 26A UU Tipikor diajukan oleh Setya Novanto merupakan pembicaraan yang bersifat privat. Rekaman pembicaraan antara Setya Novanto, Riza Chalid dengan Maroef Sjamsoeddin, Direktur Utama PT Freeport Indonesia yang dalam pembicaraan tersebut Setya Novanto meminta dua puluh persen saham PT Freeport Indonesia dan jatah empat puluh sembilan persen saham proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Urumuka, Papua pada PT Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Rekaman pembicaraan tersebut sengaja dilakukan oleh Maroef Sjamsoeddin tanpa memberitahukan, baik kepada Setya Novanto maupun Riza Chalid. Mahkamah Kehormatan Dewan kemudian melakukan sidang pelanggaran kode etik dan kasus tersebut juga disidik oleh Kejaksaan Agung atas dugaan tindak pidana permufakatan jahat dan tindak pidana korupsi. Keberatan timbul karena alat bukti yang dipergunakan dalam proses penyidikan tersebut adalah rekaman pembicaraan yang diperoleh secara tidak sah karena bukan dilakukan dan dimintakan oleh aparat yang berwenang. Oleh karenanya ketika pembicaraan tersebut direkam tanpa persetujuan Setya Novanto dan Riza Chalid maka keduanya dapat menunutut bahwa hak privasinya telah dilanggar. Berbeda dengan CCTV milik Kafe Oliver yang merupakan rekaman atas pemantauan atau monitoring atas segala aktivitas yang terjadi di area publik sehingga seseorang yang kegiatannya terekam di area publik oleh CCTV tidak dapat menuntut bahwa privasinya telah dilanggar.
Kemudian ditinjau dari cara perolehannya maka harus dikaitkan dengan frase dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Frase atas permintaan tersebut juga menimbulkan pertanyaan permintaan yang seperti apa yang dimaksud apakah setiap proses perekaman pembicaraan atau gambar harus dengan izin aparat penegak hukum atau proses menjadikan rekaman tersebut menjadi alat bukti harus dengan adanya permintaan dari aparat penegak hukum. Berdasarkan hal tersebut penulis berpandangan bahwa untuk rekaman pembicaraan yang bersifat privat tersebut baru dapat dipergunakan sebagai bukti dalam proses penegakan hukum apabila dilakukan menurut ketentuan undang-undang yang berlaku dalam hal ini proses perekaman tersebut harus dilakukan dengan permintaan aparat pengeak hukum dengan prosedur yang diatur dalam undang-undang. Akibatnya jika rekaman pembicaraan tersebut tidak dilakukan sesuai dengan undang-undang maka rekaman pembicaraan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah. Sebaliknya untuk CCTV yang bersifat publik tidak perlu proses perekamannya dilakukan dengan permintaan aparat penegak hukum. Namun, apabila hasil rekaman CCTV dan alat perekam lainnya tersebut hendak dijadikan alat bukti dalam proses penegakan hukum pidana maka hasil rekaman tersebut baru dapat dijadikan alat bukti jika ada permintaan dari aparat penegak hukum.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam pembahasan di muka, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa kebijakan Pemprov DKI terhadap penutup Alexis tidak menyalahi aturan. Kebijakan tersebut dilakukan dengan terbitnya surat yang berisi keputusan untuk tidak memperpanjang izin usaha atau Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) Alexis. Dalam hal ini seharusnya Pemprov DKI segera mengabulkan audiensi yang telah diminta oleh pihak pengelola Hotel Alexis. 

Selain itu Pemprov DKI pun sesegera mungkin menunjukkan bukti yang memperkuat terhadap penolakan izin usaha tersebut. Sehingga baik dari pihak alexis dapat mengetahui apa yang harus dilakukan untuk memperpanjang izin usaha mereka dan dari pihak pemprov sendiri pun dalam hal kebijakannya tidak lagi menuai konroversi.  

Sumber:
Akhir kata tulisan ini masih 100 persen belum meresentasikan analisisnya alias masih njeplak.

Post a Comment for "Analisis: Kewenangan Gubernur DKI dalam Menutup Alexis"