Analisis: Kontroversi Kedudukan Wakil Kepala Daerah*
Alasan perlunya Wakil Kepala Daerah sebab beratnya beban Kepala Daerah yang tidak hanya berhadapan dengan DPRD yang sangat kuat, tetapi juga karena meningkatnya keberanian masyarakat untuk melakukan kritik dan menuntut hak-haknya kepada Pemerintah Daerah dan kondisi ekonomi sosial masyarakat yang masih rendah. Kepala Daerah harus bisa meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat daerahnya, disamping harus tetap menjaga keserasian hubungan dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah lainnya, sekaligus menumbuh kembangkan kehidupan yang demokratis. Di sisi lain efisiensi dan efektivitas pemerintahan di daerah kurang maksimal sebab kinerja Wakil kepala daerah yang dipilih paket atau dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan dianggap tidak optimal membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah sehingga terjadi tidak.
Keberadaan jabatan wakil kepala daerah tidak bersifat imperative menurut UUDNRI Tahun 1945,
karena Pasal 18 Ayat (4) tidak menyebutkan posisi Wakil kepala daerah. Selain
itu Ketidakharmonisan hubungan antara
kepala daerah dan Wakilnya, pasti berdampak pada pemerintahan yang dipimpinnya,
sehingga masyarakatlah yang kemudian akan dirugikan. Meskipun menimbulkan kontroversi, pencalonan
kepala daerah dan Wakil kepala daerah dalam satu paket pilkada berdasarkan UU
No 32 Tahun 2004 tidak pernah ada yang melakukan uji materiil ke Mahkamah
Konstitusi, sehingga dianggap tidak ada yang secara konstitusional dirugikan. Selain
itu pasal 26 UU No. 32 Tahun 2004 telah menunjukkan, tugas seorang wakil kepala
daerah terfokus pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya koordinasi, pembinaan dan
pengawasan, monitoring serta tugas-tugas lain yang sebenarnya dapat
dilaksanakan oleh dinas daerah ataupun lembaga teknis daerah. Sebagai pelopor
lahirnya daerah otonom yang banyak memberikan gambaran yang jelas mengenai
kewenangan wakil kepala daerah, UU ini juga telah jelas mengatur mengenai
larangan yang tidak boleh dilakukan oleh seorang wakil kepala daerah.
Dalam hal kaderisasi, jabatan Wakil kepala
daerah pun membuka
peluang bagi calon kepala daerah di masa mendatang. Selama ini kaderisasi
pimpinan daerah relatif terbatas, karena kepala daerah dan Wakil kepala daerah
terpilih tanpa latar belakang pengalaman di bidang pemerintahan yang relatif
memadai, padahal posisi kepala daerah sangat strategis dalam menentukan
kemajuan daerah, yang akan memberi kontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara. Tetapi Ketentuan UU No. 12 Tahun 2008 yang mengatur pertanggungjawaban
wakil kepala daerah kepada kepala daerah, menjadikan kedudukan keuangan dan
protokoler wakil kepala daerah tidak fair.
Implikasinya, keinginan Wakil kepala daerah untuk menjadi calon kepala
daerah pada pilkada berikutnya hanya beberapa saat setelah duduk dalam jabatan.
Wakil kepala daerah secara latent menjadi
pesaing yang tidak sehat bagi kepala daerah. Sebaliknya, ketika Wakil kepala
daerah berhalangan tetap, banyak jabatan Wakil kepala daerah tersebut yang
tidak diupayakan untuk diisi oleh kepala daerah incumbent. sebenarnya seluruh tugas dan fungsi dari Wakil kepala daerah dapat
dilakukan oleh Sekretaris Daerah, karena sekretaris daerah yang mengelola roda
birokrasi pemerintahan, bukan Wakil Gubernur, Wakil Bupati atau Wakil Wali
Kota, seperti yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2) PP 41 Tahun 2007. Sedangkan
disisi lain untuk menjalankan fungsi otonomi daerah, bupati/walikota juga
dibantu oleh Kecamatan dan Kelurahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 dan
pasal 18 Peraturan Pemerintah ini, dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota
melalui sekretaris daerah.
Oleh sebab itu perlu mendudukkan kembali urgensi jabatan Wakil Kepala Daerah termasuk bagaimana kedudukannya yang ideal dalam sistem desentralisasi. Pencalonan kepala daerah dan wakilnya secara berpasangan memang memberikan beban bersama untuk memenangkan pilkada. Padahal saat kemenangan diperoleh dan pasangan calon tersebut dilantik, hubungan di antara keduanya tidak lagi bersifat kemitraan tetapi sudah menjadi hierarkis. Oleh karena itu, sebaiknya Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota tidak termasuk jabatan yang dipilih dan Pengisian jabatan Wakil kepala daerah bersifat tentatif, sesuai kebutuhan masing-masing daerah, dan diisi melalui mekanisme pengangkatan dari PNS yang memenuhi syarat, sehingga jabatan Wakil kepala daerah adalah jabatan karier, bukan jabatan politis.
Oleh sebab itu perlu mendudukkan kembali urgensi jabatan Wakil Kepala Daerah termasuk bagaimana kedudukannya yang ideal dalam sistem desentralisasi. Pencalonan kepala daerah dan wakilnya secara berpasangan memang memberikan beban bersama untuk memenangkan pilkada. Padahal saat kemenangan diperoleh dan pasangan calon tersebut dilantik, hubungan di antara keduanya tidak lagi bersifat kemitraan tetapi sudah menjadi hierarkis. Oleh karena itu, sebaiknya Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota tidak termasuk jabatan yang dipilih dan Pengisian jabatan Wakil kepala daerah bersifat tentatif, sesuai kebutuhan masing-masing daerah, dan diisi melalui mekanisme pengangkatan dari PNS yang memenuhi syarat, sehingga jabatan Wakil kepala daerah adalah jabatan karier, bukan jabatan politis.
* Tugas Analisis Hukum Tata Negara oleh AQJ
Post a Comment for "Analisis: Kontroversi Kedudukan Wakil Kepala Daerah*"