Kontroversi Isu Reinkarnasinya GBHN
Wacana pemberlakuan
kembali GBHN dilatarbelakangi oleh adanya anggapan bahwa GBHN lebih jelas dalam
menentukan arah pembangunan bangsa dibandingkan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Wacana tersebut
menjadikan kontroversi diberbagai kalangan.
Ada pihak yang berpendapat bahwa
UUD
1945 sebenarnya
membuka
ruang terhadap pengaturan kewenangan MPR, termasuk kewenangan dalam menetapkan
GBHN. Sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang menjelaskan bahwa
pengaturan lebih lanjut mengenai MPR dapat diatur dengan undang – undang, bukan hanya
pengaturan mengenai kedudukan MPR semata, tetapi juga mengenai kewenangannya. Dengan demikian, pemberlakuan kembali GBHN adalah hal yang tidak bertentangan
dengan UUD 1945.
Namun
ada pula pihak yang menyatakan bahwa pemberlakuan kembali GBHN merupakan hal
yang inkonstitutional mengingat tidak dilindunginya kepentingan konstitusional
GBHN oleh UUD 1945 karena dalam Pasal 3 UUD 1945 yang secara limitatif telah
menentukan kewenangan apa saja yang dimiliki oleh MPR dalam susunan
ketatanegaraan Indonesia.[1]
Di satu sisi pemberlakuan
kembali GBHN merupakan langkah yang penting. Sebagaimana pendapat Dr. Aidul
Fitriciada Azhari yang mengatakan bahwa adanya GBHN sebagai instrumen
perencanaan negara diperlukan untuk merancang program pembangunan jangka
panjang tanpa tergantung pada orientasi politik, ideologi dan masa jabatan
presiden, serta untuk menjamin efektivitas perencanaan negara yang tidak berhasil
dilaksanakan melalui sistem parlementer yang berwatak liberal yang berorientasi
pada pasar bebas.[2]
Disisi lain telah dikatakan sejak
disahkannya UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN), otomatis nama GBHN menghilang, meskipun esensi dan substansinya tetap
ada dalam RPJPN dan RPJMN. Sebagaimana pendapat Mahfud MD tentang tidak
perlu lagi memberlakukan GBHN, bila nama itu dianggap memiliki nilai historis yang perlu dipertahankan,
dapat dengan mengubah nama UU SPPN menjadi UU tentang GBHN. Namun, jika muncul keinginan kuat kembali pada GBHN
dengan baju TAP MPR, menurutnya diperlukan lagi amandemen konstitusi.[3]
Namun melihat realitanya
konsep pembangunan nasional Indonesia saat ini tidak menyeimbangkan kepentingan
antara pemerintah dan daerah karena UU SPPN, hanya menitikberatkan pada
partisipasi masyarakat melalui DPR saja, tidak dilaksanakan melalui
sinergisitas antar penyelenggara negara secara berkesinambungan. Sehingga banyak kebijakan penting
dalam bidang pembangunan yang diambil secara reaktif tanpa memikirkan matang – matang program tersebut.[4]
Oleh karena itu, pemberlakuan kembali GBHN sangat diperlukan karena memungkinkan
pemerintah lebih proaktif terhadap tuntutan warga negara dan secara aktif
melakukan intervensi terhadap kehidupan ekonomi rakyat dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia
yang tertuang pada alinea keempat UUD 1945.[5]
Tetapi fakta lain
mengatakan bahwa pengelolaan pembangunan nasional yang telah menjadi
wewenang Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat mengakibatkan tidak
diperlukan lagi adanya bimbingan MPR melalui GBHN yang menjadi adanya tolak
ukur pembangunan nasional. Hilangnya GBHN tidak membuat Indonesia
kehilangan pegangan dalam perencanaan pembangunan nasional.
GBHN telah
digantikan dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana sudah
diatur dalam UU SPPN yang cukup ideal, karena
sistem tersebut mengadopsi pendekatan politik, teknokratik, partisipatif dan
perpaduan pendekatan top down dan bottom up, yang menjanjikan
keterpaduan proses pembangunan nasional, pembangunan daerah maupun pembangunan
antar daerah, dengan melibatkan multi-stakeholder.
Oleh karena itu, UU
SPPN akan memberikan arah bagi penyelenggara negara untuk melaksanakan
pembangunan nasional dalam mewujudkan tujuan negara. Dengan demikian, tidak ada
urgensi untuk memberlakukan kembali GBHN.[6]
Berkaca dari semua
itu, yang paling baik ialah bersikap konstitusional, yakni sikap untuk
melaksanakan sebaik – baiknya perundang – undangan yang sedang belaku disamping
perlunya dilakukan pengkajian secara visibility terhadap usulan haluan negara tersebut hingga dapat dijadikan resultante
baru.[7]
Daftar Pustaka
Azhari, Aidul Fitriciada, 2011. UUD 1945
Sebagai Revolutiegroundwet, Yogyakarta: Jalasutra.
Bahaudin, E-journal: Menghidupkan Kembali GBHN: Komparasi GBHN dan
RPJPN sebagai Kebijakan
Politik Hukum Nasional dalam Bidang Pembangunan, http://jurnal.ubharajaya.ac.id/index.php/kamnas/article/view/10,diakses
pada 13 November 2017.
Bappenas,
Pro-Kontra Menghidupkan GBHN Pasca Reformasi, https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/pro-kontra-menghidupkan-gbhn-pasca-reformasi/,
diakses pada 13 November 2017.
Mahmud MD Moh., 2012. Konstitusi dan Hukum
dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Pers.
Rahman, Fatchur, Berlakunya Kembali GBHN,
https://constituendum.wordpress.com/2016/01/21/pemberlakuan-kembali-gbhn/,
diakses pada 13 November 2017.
[1] Lihat Fatchur Rahman dalam Berlakunya Kembali GBHN,
https://constituendum.wordpress.com/2016/01/21/pemberlakuan-kembali-gbhn/,
diakses pada 13 November 2017
[2] Lihat Aidul Fitriciada Azhari dalam penutup UUD 1945 Sebagai Revolutiegroundwet, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hlm. 179.
[4] Bahaudin, E-journal: Menghidupkan Kembali GBHN: Komparasi GBHN dan RPJPN sebagai Kebijakan
Politik Hukum Nasional dalam Bidang Pembangunan, hlm.100, http://jurnal.ubharajaya.ac.id/index.php/kamnas/article/view/10, diakses
pada 13 November 2017.
[5]
Aidul Fitriciada Azhari, UUD 1945 Sebagai Revolutiegroundwet, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hlm. 162.
[6] Lihat Fatchur Rahman dalam Berlakunya Kembali GBHN,
https://constituendum.wordpress.com/2016/01/21/pemberlakuan-kembali-gbhn/,
diakses pada 13 November 2017.
[7]
Liihat Moh. Mahmud MD dalam Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), hlm. 197.
Post a Comment for "Kontroversi Isu Reinkarnasinya GBHN"