Tentang Grasi
Menurut pasal 1 angka 1 UU No.
22 Tahun 2002 tentang Grasi;
Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Sedangkan untuk rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, dilakukan pemulihan dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya, dan dikembalikan kepada kedudukannya (lihat Keputusan Presiden RI No. 142 Tahun 2000, pemberian rehabilitasi pada Sdr. Nurdin AR).
Pengaturan grasi selanjutnya diatur dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU 22/2002”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU 5/2010”).
Aturan Grasi
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami akan jelaskan dulu aturan umum mengenai grasi. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang
diberikan oleh Presiden.
Jika melihat pengertian grasi, maka dapat diketahui bahwa bentuk pemberian grasi dari Presiden dapat berupa:
a. peringanan atau perubahan jenis pidana;
b. pengurangan jumlah pidana; atau
c. penghapusan pelaksanaan pidana.
Permohonan grasi ini hanya dapat diajukan 1 (satu) kali
oleh Terpidana terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap yang berupa:
a. pidana mati,
b. pidana seumur hidup, atau
c. pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah:
1. putusan
pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi
dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana;
2. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana; atau
3. putusan kasasi.
Pengajuan Grasi
Sebelumnya, jangka waktu pengajuan permohonan grasi
adalah paling lama 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan
hukum tetap. Namun, ketentuan ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”) dalam putusannya Nomor 107/PUU-XIII/2015. Ketentuan ini dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebagaimana diberitakan dalam artikel MK Kembali Buat Putusan Penting, menurut MK, pembatasan jangka waktu pengajuan permohonan grasi dalam Pasal 7 ayat (2) UU 5/2010 berpotensial
menghilangkan hak konstitusional terpidana, khususnya terpidana mati
mengajukan permohonan grasi. Pembatasan ini juga menghilangkan hak
Pemohon jika hendak mengajukan peninjauan kembali (PK) yang salah satu
syaratnya ada novum, sedangkan ditemukannya novum itu sendiri tidak
dapat dipastikan jangka waktunya.
Jadi, kini MK “membebaskan” terpidana mengajukan permohonan grasi kapan saja.
Putusan ini penting karena mengubah aturan sebelumnya, pengajuan grasi
dilakukan paling lambat setahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
Kemudian mengenai siapa yang berhak mengajukan grasi,
undang-undang telah mengatur bahwa permohonan grasi diajukan oleh
terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya dengan persetujuan
terpidana, kepada Presiden, dan khusus permohonan grasi untuk pidana
mati dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana.
Salinan permohonan grasi (yang diajukan kepada Presiden)
disampaikan juga kepada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama
untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Presiden memberikan keputusan berupa pemberian atau penolakan grasi melalui Keputusan Presiden terhadap permohonan grasi, setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Pencabutan Pemberian Grasi
Apakah pemberian grasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden ("Keppres")
dapat dicabut kembali? Di dalam ketentuan UU 22/2002 maupun
perubahannya, UU 5/2010, tidak diatur mengenai pencabutan grasi yang
telah diberikan. Namun, di dalam teori hukum administrasi negara berlaku
asas Contrarius Actus, yaitu pencabutan suatu keputusan harus dilakukan dengan keputusan setingkat. (Anda bisa membaca dalam artikel Asas Contrarius Actus Disebut dalam Sidang Tipikor)
Berarti dalam hal ini, suatu Keppres hanya dapat dicabut
oleh Presiden dengan menerbitkan Keppres pencabutan. Sebagai contoh
adalah Keppres No. 92 Tahun 2001 tentang
Pencabutan Keppres No. 15 Tahun 2001 tentang Penugasan Wakil Presiden
untuk Menandatangani Keputusan Presiden Mengenai Penganugerahan Gelar
dan Tanda-Tanda Kehormatan.
Jadi, pemberian grasi merupakan kewenangan Presiden yang
diberikan oleh UUD 1945. Pemberian grasi dilakukan dengan menerbitkan
Keppres pemberian grasi. Mengenai pencabutan suatu Keppres pemberian
grasi, harus dilakukan dengan menerbitkan Keppres pencabutannya oleh
Presiden.
Sumber: http://www.hukumonline.com
Post a Comment for "Tentang Grasi"