Implikasi Putusan MK No. 15/PUU-XIII/2015 Terhadap Pelaksanaan Fungsi Legislasi DPD (Bag 3)
UU MD3
yang dibentuk pasca putusan MK No.92/PUU-X/2012 sebagai implementasi dari
putusan tersebut tetap saja memuat ketentuan pasal-pasal yang mereduksi, bahkan
mengikis kewenangan konstitusional sebagaimana telah ditegaskan oleh MK. Tidak
menghormati, mematuhi dan melaksanakan putusan MK yang bersifat ergaomnes berarti menunjukkan
ketidakpatuhan terhadap konstitusi itu sendiri.[1]
Dalam
kaitannya dengan kewenangan DPD sebagai salah satu lembaga parlemen di
Indonesia yang telah ditentukan susunan dan kedudukannya dalam undang-undang
yaitu Undang-Undang No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR dan DPD, dan DPRD (UU
MD3) dinilai mencerminkan
ketimpangan/berat sebelah atas kewenangan yang dimiliki oleh DPD terhadap DPR.[2]
Undang-Undang
No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD, dan DPRD pasca putusan Mahkamah Kostitusi (MK) dinilai
memiliki problem substantif/materiil akibat materi muatannya bertentangan
dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yang
mengakibatkan kerugian konstitusional terhadap DPD, meliputi dikuranginya
kewenangan DPD untukdapat mengajukan RUU, dikuranginya kewenangan DPD untuk
membahas RUU dan dikuranginya kewenangan DPD dalam kedudukannya sebagai lembaga
perwakilan daerah. Hal ini menunjukan ketidak patuhan terhadap putusan lembaga
Negara yang telah ditunjuk konstitusi untuk
mengawal kemurnian pelaksanaan konstitusi.[3]
Atas
dasar kewenangan DPD yang dinilai “dikucilkan” tersebut maka turunlah beberapa
perwakilan DPD yang mengajukan judicial review tersebut kepada Mahkamah
Konstitusi terkait beberapa pasal dalam UU No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR
dan DPD, dan DPRD tersebut. Diantaranya yaitu Irman Gusman, La Ode Ida, dan
Gusti Kanjeng Ratu Hemas selaku Ketuadan
Wakil Ketua DPD dengan registrasi perkara No. 92/PUU-X/2012 yang kemudian
disusul dengan Perkara No. 79/PUU-XII/2014 dengan pemohon yang sama. Adapun
pasal yang diuji dalam perkara No. 79/PUU-XII/2014 yaitu Pasal 71 huruf c,
Pasal 165, Pasal 170 Ayat (5), Pasal 171 Ayat (1) dan Pasal 249 huruf b UU MD3.[4]
DPD
dapat dikatakan telah melakukan
penguatan kewenangan melalui interpretasi yudisial oleh MK. Hal ini terindikasi
melalui beberapa hal, pertama adanya pasal-pasal pada UU MD3 dan UU P3 yang
diajukan DPD untuk diuji konstitusionalitasnya dengan pasal pada UUD 1945 yang
memang berhubungan langsung dengan kewenangan DPD, kedua, dari permohonan DPD
dapat dikategorikan penguatan kewenangan
pada fungsi-fungsinya sebagai
lembaga perwakilan yang antara lain merupakan, fungsi legislasi dan
penganggaran utamanya fungsi legislasi yang dimohonkan untuk diberikan
kesetaraan dalam memberikan persetujuan RUU menjadi UU sebagaimana yang
dimiliki oleh Presiden dan DPR dalam
pasal 20 ayat 2 UUD 1945.[5]
Penguatan
kewenangan DPD melalui interpretasi yudisial dilakukan oleh DPD pada periode
kedua dan periode transisi menuju periode ketiga, terindikasi melalui dua
putusan MK yang pertama 92/PUU-X/2012 dan yang kedua 79/PUU-X/2014, adapun
aspek fungsional yang diperkuat DPD melalui jalur iniialah pada fungsi
legislasi utamanya DPD menuntut adanya kesetaraan dengan DPR dan Pemerintah
dalam rangkaian pembentukan UU yang menjadi domain DPD dari mulai RUU sampai
menjadi UU, fungsi penganggaran.[6]
1.2. Penegasan Kewenangan Legislasi
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menegaskan posisi
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam proses pembahasan RUU bersama DPR dan
Presiden. MK mengabulkan sebagian pasal pengujian UU No. 17 Tahun 2014 tentang
Perubahan UU No 27 Tahun 2009 tentang Dewan Permusyawaratan Rakyat Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah (UU MD3).[7]
Dalam putusan bernomor 79/PUU-XII/2014 yang diajukan
DPD ini, MK memberi tafsir inkonstitusional bersyarat Pasal 71 huruf c, Pasal
166 ayat (2), Pasal 250 ayat (1), Pasal 277 ayat (1) UU MD3 ini. Intinya, MK
mempertegas keterlibatan wewenang DPD ketika mengajukan dan membahas RUU dengan
sebuah naskah akademik terkait otonomi daerah, pembentukan/pemekaran,
pengelolaan sumber daya alam dan kemandirian anggaran DPD.
Pasal 71 huruf c UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945
sepanjang tidak dimaknai,
“membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh
Presiden, DPR, atau DPD yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil
persetujuan bersama antara DPR dan Presiden”.
Sedangkan, Pasal 250
ayat (1) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945sepanjang tidak dimaknai, “
“Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 249, DPD memiliki kemandirian dalam menyusun
anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan disampaikan kepada
Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
Sebelumnya, DPD memohon pengujian formil dan materil
terhadap 21 pasal yang dinilai memperkuat DPR, tetapi memperlemah posisi DPD.
Dari sisi formil, menurut konstitusi, kelembagaan DPR, DPD, dan MPR seharusnya
diatur dalam UU tersendiri. Namun, MD3 revisi ini masih menggabungkan ketiganya
dalam satu UU. Selain itu, banyak materi dalam UU MD3 masuk dan diatur dalam UU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.[8]
Dari sisi materil, dihapusnya sanksi anggota DPR yang
enam kali berturut-turut tidak menghadiri sidang paripurna, tetapi sanksi itu
masih tetap berlaku bagi DPD, penghapusan pasal penyidikan anggota MPR,
DPD, DPRD, penghapusan BAKN, penghapusan larangan penerimaan gratifikasi (bagi
DPR), termasuk pemeriksaan anggota DPR dalam proses penyidikan harus mendapat
persetujuan MKD.Namun, aturan-aturan itu tak dikabulkan MK. Mahkamah menolak
dalil pengujian formil pemohon karena pengujian formil UU No. 17 Tahun 2014
telah dipertimbangkan dalam Putusan No.73/PUU-XII/2014. Putusan itumenolak
permohonan pemohon, sehingga pertimbangan itu mutatis mutandis berlaku
untuk permohonan ini.[9]
Mahkamah mengutip putusan No.92/PUU-X/2012 yang
telah memaknai Pasal 146 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009yang muatannya sama
dengan Pasal 166 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2014. Sebelumnya
sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 telah terjadi
perubahan terhadap fungsi legislasi DPD. Hal ini dapat diuraikan sebagai
berikut:[10]
1. Bidang
legislasi tidak lagi sebagai subordinat Dewan PerwakilanRakyat (DPR), melainkan
setara dengan DPR dan Presiden.Selanjutnya, DPD berhak dan atau berwenang untuk
mengusulkandan membahas RUU tertentu sejak awal hingga akhir tahapan.
2. Kewenangan
DPD tetap berhenti pada persetujuan atau pengesahanRUUmenjadi undang-undang
(UU). Hal ini dikarenakan secaraeksplisit UUD telah membatasiketentuan mengenai
hal tersebut.Sehinggaketentuan limitatif tersebut pada dasarnya adalahkehendak
konstitusi.
3. Mahkamah
Konstitusi juga memutuskan bahwa DPD ikut menyusun program legislasinasional
(prolegnas).
4. Kewenangan
DPD untuk memberikan pertimbangan dalam hal RUU terkait APBN, pajak, pendidikan
dan agama oleh DPD tetap tidak bisa dimaknai sebagai kewenangan untuk ikut
membahasRUU tersebutpula.
Pasca
putusan MK No 92/PUU-X/2012 penyusunan prolegnas mengharusakan keterlibatan DPD
dalam setiap tahapan, mulai dari pengajuan, pembahasan dan penetapan prolegnas.
Dengan demikianterdapat 3 lembaga (tripartit) yang membutuhkan desain baru
dalam penyususnan Prolegnas. DPD melalui alat kelengkapannya yaitu Panitia
Perancng Undang-undang, mulai menyusun Prolegnas 2015- 2019. Selanjutnya nanti
akan ada tiga usulan Prolegnas, yaitu usulan yang datang dari DPR, DPD dan
Pemerintah, artinya model tripatit perlu didesai secara jelas karena menurut
pengalaman yang ada selama ini menunjukan bahwa usulan RUU dalam Prolegnas dari
DPR dan Pemerintah hampir tidak tuntas menjadi UU bahkan ada RUU yang belum dan
tidak pernah dibahas hingga masa keanggotaan DPR berakhir.[11]
Namun, pembentuk UU tak
memasukkan putusan MK ini dalam UU No. 17 Tahun 2014. Seharusnya RUU beserta
penjelasan/keterangan dan/atau naskah akademik dari DPD disampaikan secara
tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan Presiden. Sebagaimana
pernyataan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dalam hal ini,
“Kewenangan materi RUU dalam Pasal 22D ayat (1), (2)
UUD 1945 tersebut tidak dimasukkan menjadi kewenangan DPR dalam Pasal 71 huruf
c UUNo.17Tahun 2014. Karena itu, menurut Mahkamah Pasal 71 huruf c UUNo.17Tahun
2014 harus dimaknai...”
Ketua DPD Irman Gusman mengatakan putusan MK ini
merupakan penegasan putusan MK No.92/PUU-X/2012. Intinya, tugas DPD mengusulkan
dan membahas RUU tertentu diajukan kepada DPR dan juga Presiden. Dia
berharap segala hal yang diputuskan MK akan ditindaklanjuti oleh Presiden dan
DPR. Tentunya, sejumlah materi putusan MK ini akan menjadi bahan masukan revisi
UU MD3 berikutnya.[12]
Kewenangan
DPD dalam fungsinya setelah diberlakukannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIII/2015, menyebutkan perubahan
kewenangan yang selama ini dianggap masih merugikan Dewan Perwakilan Daerah
dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012. Sehingga kewenangan DPD
direvisi kembali dengan munculnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
15/PUU-XIII/2015 yang disambut positif oleh para anggota Dewan Perwakilan
Daerah. Sebagaimana disebutkan berbagai perubahan kewenangan dari hasil putusan
Mahkamah Konstitusi diantaranya,
soal
Pasal 250 ayat (1) UUNo.17 Tahun 2014 sangat berkaitan wewenang DPD dalam Pasal
22D UUD 1945. DPD sebagai lembaga perwakilan daerah memiliki kedudukan setara
dengan DPR dan Presiden ketika mengajukan dan membahas RUU yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.[13]
Karena itu, hal yang wajar apabila UU memberi
kesempatan sama kepada DPR dan DPD secara mandiri untuk menyusun dan mengajukan
anggaran masing- masing lembaga sesuai dengan rencana kerjanya masing-
masing. Meski memiliki kemandirian menyusun anggaran, namun tetap ditentukan
kemampuan keuangan negara sesuai pembahasan oleh Presidan bersama DPR. Sebab,
yang memiliki hak anggaran adalah DPR yang dibahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Sebelumnya, asal yang dikabulkan oleh MK adalah Pasal 71 huruf c, menyatakan
DPR berwenang membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau
DPR. Dengan dikabulkannya permohonan oleh MK, maka DPRberwenang membahas rancangan
undang- undang yang diajukan oleh Presiden, DPR atau DPD.[14]
Pasal lain yang juga dikabulkan oleh MK adalah
pasal250 ayat 1 terkait anggaran DPD. Sebelumnya disebutkan bahwa dalam
melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, DPD
menyusun anggaran yang dituangkan dalam program dan kegiatan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasca dikabulkan, dalam melaksanakan
wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, DPD memiliki
kemandirian menyusun anggaran yang dituangkan dalam program dan kegiatan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[15]
Implikasi Surat Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 15/PUU-XIII/2015 Terhadap Pelaksanaan
Fungsi Legislasi DPD. Bahwa dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap
UUD 1945, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima kedudukan hukum (legal
standing)- nya selaku Pemohon di hadapan Mahkamah, maka berdasarkan Pasal 51
ayat (1) UU MK, menentukan bahwa “Pemohon adalah pihak yang hak dan atau
kewenangan konstitusionalnya, telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang
ini.[16]
[1]Anna
Triningsih, “Politik Hukum Kewenangan Konstitusional
Dewan Perwakilan
Daerah dalam proses Legislasi pasca Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012”, Jurnal Rechtsvinding, Volume 4, No.3, Desember 2015, hlm. 374.
[5] Adi Suhendra dan Ray
Ferza, “Penguatan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Dalam Bingkai Bikameralisme”, Jurnal Dimensi, Vol 8, No 2, Oktober, 2015, hlml. 12.
lt5601bbd20ced6/mk-tegaskan-kewenangan-legislasi-dpd,
diakses pada 5 Desember 2017.
[10] Titus Wembie Pradita, dkk., “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-III/2015 Perihal Pungujian UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD3 Terhadap UUD 1945 Terhadap Pelaksanaan Fungsi Legislasi DPD”, Diponegoro Law Journal, Volume 6, Nomor 1, Tahun 2017, hlm. 10-11, http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/article/view/15760/0, diakses pada 5 Desember 2017.
[13]
Titus Wembie Pradita, dkk., Diponegoro Law Journal, Volume 6, Nomor 1, Tahun 2017, hlm.
11, diakses pada 5 Desember 2017.
Post a Comment for "Implikasi Putusan MK No. 15/PUU-XIII/2015 Terhadap Pelaksanaan Fungsi Legislasi DPD (Bag 3)"