Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kehidupan Para Sahabat (Pag 3)

Para sahabat merupakan sosok yang istimewa, tidak hanya mereka berjumpa langsung dengan Rasulullah, mereka juga merupakan sosok istimewa yang tidak bisa dibandingkan dengan genersi-genersi sesudahnya.[1] Dalam kehidupan mereka tidak lain semata-mata mengikuti jejak Rasulullah, baik dalam setiap ucapan maupun kehidupannya. Oleh sebab itu tidak heran jika Rasulullahsendiri telah mengemukakan betapa tingginya kedudukan para sahabat ini, sebagaimana sabdanya: 
“Para sahabatku itu bagaikan bintang. Siapa pun diantara mereka yang kamu ikuti, niscaya kamu mendapatkan petunjuk”.[2]
Mengenai kehidupan para sahabat secara global, Abu ‘Atabah melukiskannya dengan sebuah pernyataan:  
“Maukah kau kuberi tahu tentang kehidupan para sahabat para sahabat Rasullah saw.? Pertama, bertemu dengan Allah adalah lebih mereka sukai daripada kehidupan. Kedua, mereka tidak gentar terhadap musuh, baik musuh itu sedikit ataupun banyak. Ketiga, mereka tidak jatuh miskin dalam hal yang duniawi, mereka begitu percaya terhadap rezeki Allah”.[3]

a.         Abu Bakar Ash Shiddieq
Abu Bakar Ash Shiddieq, beliau merupakan seorang asketis, sehingga diriwayatkan bahwa selama enam hari dalam seminggu dia selalu dalam keadan lapar. Baju yang dimilikinya tidak lebih dari satu, dan katanya 
“Jika seorang hamba begitu terpesonakan oleh sesuatu hiasan dunia, Allah membencinya sampai dia meninggalkan hiasan itu”.[4]
 Begitu juga sifat kedermawanan Abu Bakar yang tidak ada batasnya. Misalnya pada Perang Tabuk. Rasulullah meminta kepada semua kaum muslimin untuk mengorbankan hartanya pada sabilillah. Datanglah Abu Bakar membawa semua hartanya dan diletakkannya di antara kedua lengan Rasulullah. Rasulullah bertanya,  
“Apa lagi yang engkau tinggalkan bagi anak-anakmu? Hai Abu Bakar?” Abu Bakar menjawabnya seraya tertawa, “Saya tinggalkan bagi mereka Allah dan Rasulnya.”[5]
Menurut riwayat bahwa sahabat Abu Bakar as Shidiq hidup hanya dengan selembar kain saja. Terhadap lidahnya sendiripun beliau berkata,  
“Apabila seorang hamba Allah telah dimasuki rasa berbangga diri karena sesuatu dari hiasan dunia ini, maka Allah akan murka hingga perhiasan itu diceraikannya”. 
Pandangan hidup beliau adalah bahwa sifat dermawan merupakan buah dari taqwa, kekayaan merupakan buah dari keyakinan dan martabat diperoleh sebagai buah dari ketawadlu’an.[6] Mengenai taqwa, yakin dan rendah hati, dikatakannya:  
”Kami mendapatkan kedermawanan dalam taqwa, kecukupan dalam yakin, dan kehormatan dalam rendah hati”
Dan mengenai pengenalan terhadap Allah (ma’rifat), dikatakannya:  
“Barangsiapa merasakan sesuatu yang selain Allah, dan menyendiri dari semua manusia”. 
Al Junaidi (seorang tokoh sufi) dalam penuturannya tentang Abu Bakar al Shidiq berkata: 
“Ungkapan  terbaik dalam  hal tauhid ialah ucapan Abu Bakar as Shidiq: Maha suci Zat yang tidak menciptakan jalan bagi makhluk mengenai-Nya, melainkan ketidakmampuan mengenal-Nya”.[7]
Beliau juga pernah menangis ketika membaca ayat Al Quran. Kaum Musyrikkin disekitar rumah Abu Bakar meminta kepada Rasulullah untuk melarang Abu Bakar membaca Al Quran dengan keras karena suara dan tangisannya ketika membaca ayat Al Quran dapat menggoda hati manusia terutama hati wanita yang mendengarkannya. Karena memang saat itu belum banyak orang Mekkah yang masuk Islam. Namun ketika mereka hanya mendengarkan suara Abu Bakar saja, merekamenjadi tertarik dengan ajaran Islam. Mereka bersimpatik terhadap Islam. Dan kandungan Al Quran tersebut bersemi di hati mereka. Hal inilah yang ditakutkan oleh kaum musyrikin tersebut.[8]
Sementara mengenai kisah-kisah ibadah Abu Bakar as Shidiq, doa-doanya, kesederhanaannya, ridlanya, ketakutannya terhadap Allah, keshalehannya, kerendahan hatinya, kedermawanannya, serta hal-hal lainnya, yang kemudian menjadi landasan para sufi dalam hal pendapat tentang pengertian pengertian itu, hal ini telah dikemukakan al Muhib al Thabarri dalam karyanya, al Riyadh al Nadhrah fi Manaqib al ‘Asyrah.[9]
b.         Umar bin Khattab
Umar bin Khattab, beliau pernah berpidato dihadapan umat dengan memakai kain yang terdapat dua belas tambalan dan baju yang dikenakannya terdapat empat tambalan dan tidak memiliki kain lainnya. Umar bin Khattab juga merupakan khalifah yang adil dan bijaksana. Beliau rela memberikan beribu-ribu dirham untuk kepentingan umat dan sahabatnya. Sedangkan untuk anaknya, beliau dengan keras melarang keluarganya mengambil sedirham pun dari baitul mal. Pernah ada kejadian beliau melihat salah seorang anaknya memakan daging. Dipukulah anaknya dengan tongkatnya yang pendek seraya berkata, “Makanan itu tidak saya haramkan, tetapi saya larang untuk diri saya dan anak-anak saya karena tempat tumbuh fitnah di dalam syahwat makanan.”Kesederhanaan lain yang dilakukan oleh Umar bin Khattab ialah saat beliau terlambat datang ke masjid dan terlambat pula dalam melaksanakan sholat jamaah. Padahal setiap sholat fardhu beliaulah yang menjadi imam. Bertanyalah seorang temannya, “Kenapa terlambat datang?” Beliau menjawab, “Kain saya sedang dicuci dan tidak ada lainnya.”[10]
Seketika datang kiriman zakat dari negeri Yaman, diadakan sebuah pertemuan besar, karena Khalifah Umar hendak memberikan nasehatnya. Beliau mengatakan agar seluruh umat tunduk dan taat kepada perintahnya. Tiba-tiba berdirilah seorang yang hadir dan memutus pidatonya, “Kami tidak dapat taat kepada perintah engkau Ya Amirul Mukminin!”. Khalifah Umar bertanya, “Apa sebab?” Seorang tadi menjawab, “Bagaimana kami akan bisa taat! Ini harta benda zakat telah dikirimkan orang dari negeri Yaman dan telah dibagi-bagi. Padahal tuan hanya mendapat satu bagian saja, sebagai bagian orang banyak yang lain. Pakaian tuan hanya satu persalinan saja. Tidak ada pakaian musim panas dan tidak ada pakaian musim dingin! Sebelum tuan mengambil satu persalinan lagi, kami tidak akan taat.” Sanggahan dari seorang tadi tidak dapat Khalifah Umra jawab. Lalu beliau menghadapkan mukanya kepada putranya Abdullah, dan berkata, “Hai Abdullah, cobalah engkau tolong berikan jawaban sanggahan itu!” Abdullah berdiri dan berkata, “Perihal pakaian beliau yang sepesalinan lagi itu, biarlah saya yang menanggung.” Sungguh sederhana sekali beliau[11].
Terdapat kisah lagi dari sumber buku yang berbeda, yaitu ketika tentara Islam memperoleh banyak kemenangan disertai banyaknya harta rampasan perang. Setiap orang mendapatkan bagiannya sesuai dengan status dan fungsinya, baik ummul mukminin maupun panglima perang, ataupun rakyat biasa, semua ada pembagiannya. Hanya beliau sendiri yang belum ditentukan bagiannya. Hal tersebut menjadi pembicaraan banyak orang karena beliau sendiri hidupnya sangat sederhana. Mengetahui dirinya menjadi pembicaraan orang-orang, beliau kemudian berbicara di depan mereka semua. Beliau berbicara mengenai persoalan hidup di dunia ini. Kemudia beliau menanyakannya, “Apakah yang halal bagi dirinya dari harta rakyat?” Semua orang menanti-nanti kelanjutannya. Umar berkata, “Saya minta dua pakaian. Satu untuk musim dingin, dan satu lagi untuk musim panas. Dan biaya untuk mengerjakan haji seberapa yang dapat dibawa oleh belakang saya sendiri. Biaya makanan saya setelah itu sama dengan biaya makanan salah seorang Quraisy, tidak yang tertingginya dan tidak pula yang paling rendahnya.”[12].
Ibn Katsir dalam kitabnya, Bidayah wan Nihayah, menggambarkan sosok Umar bin Khattab sebagai orang yang sangat tawadlu’ kepada Allah. Kehidupan dan maknanya sangat sederhana. Beliau terkenal sangat tegas dalam urusan agama Allah, selalu menambal bajunya dengan kulit, membawa ember di atas kedua pundaknya, dengan wibawanya yang sangat besar, selalu mengendarai keledai tanpa pelana, jarang tertawa dan tidak pernah bergurau dengan sispapun. Cincinnya bertuliskan sebuah kata-kata “Cukuplah kematian menjadi peringatan bagimu hai Umar”.[13]Dalam komentarnya  tentang  peneledanan para sufi  terhadap Umar bin Khattab, al Yhusi menulis: 
“Dalam  berbagai  hal para sufi banyak  meneladani Umar. Diantaranya ialah upayanya dengan memakai pakaian bertambalan,sikapnya yang garang, tindakannya dalam meninggalkan (shubhat), kekeramatan yang dimilikinya, ketegarannya terhadap yang salah ketika kebenaran telah tampak, ketinggahuannya dalam menegakkan kebenaran,tindakannya dalam menyamaratakan hak-hak orang yang dekat ataupun jauh, dan keteguhannya dalam berpegang pada ketaatan yang paling berat”.[14]
Dalam hal berprinsip pernah beliau dicela dan dikatakan kepadanya, “Alangkah baik jika engkau memakan makanan yang bergizi tentu akan membantumu lebih kuat membela kebenaran”. Maka Umar berkata, “Sesungguhnya aku telah meninggalkan kedua sahabatku (yakni Rasulullah dan Abu Bakar) dalam keadaan tegar (tidak terpengaruh dengan dunia). Maka jika aku tidak mengikuti ketegaran mereka, aku takut tidak akan mengejar kedudukan mereka”. [15]Menarik mengutip ucapan Thalhah bin Abdullah: “Umar bukanlah orang yang pertama-tama masuk Islam, dan bukan pula orang yang paling dahulu  berhijrah. Tapi dialah orang yang paling kurang perhatian nya terhadap masalah duniawi dan paling besar perhatiannya terhadap masalah akhirat diantara kami”.[16]
Umar bin Khattab mempunyai jiwa yang bersih dan kesucian kerohanian yang begitu tinggi. Rasulullah saw pernah berkata tentang dirinya, “Tuhan Allah telah meletakkan kebenaran diujung lidah Umar dan hatinya.”[17]Kezuhudan, keikhlasan, dan keadilan Umar tersebutlah yang dianggap oleh kaum sufi sebagai imam yang besar sekali yang melebihi imam lainnya.
c.         Usman bin Affan
Usman bin Affan, merupakan sahabat Rasulullah yang gemar membaca Al Qur’an. Al Quran tak pernah terlepas dari sentuhan tangannya. Pada masa beliaulah yang menyalin dan membukukan kumpulan Quran yang dikumpulkan pada masa Abu Bakar menjadi Mushaful-Iman. Pernah beliau berkata: “Ini adalah surat yang dikirimkan Tuhanku. Tidaklah layak bagi seorang hamba bilamana datang sepucuk surat dari yang dipertuannya akan melalaikan surat itu”. Artinya selain dibaca, Al Quran juga harus diamalkan, dipraktekkan, dilaksanakan isi-isinya. Bukan hanya semata bacaan saja. Diceritakan dalam Qamar Kailany yang merupakan bukti bahwa Usman bin Affan tidak pernah melepaskan Quran dari tangannya, bahkan disaat beliau menghembuskan nafas terakhirnya saat beliau dibunuh di dalam rumahnya sendiri.
“Dalam kehidupan Usman bin Affan penuh dengan pengabdian setiap waktu, bahkan Kitabullah senantiasa berada di tangannya dan demikan juga sewaktu beliau meninggal dunia ditemukan Kitabullah diantara kedua tangannya.” (Qamar Kailany: 19)[18].
Dalam penggembengan terhadap dirinya sendiri diriwayatkan bahwa dia membawa sendiri beberapa ikat kayu dari kebunnya, padahal dia mempuyai beberapa budak. Ketika ditanyakan padanya mengapa tidak dia suruh saja budak budaknya membawanya, jawabanya: “Aku bisa membawanya sendiri”. Hal ini menunjukkan betapa dia tidak pernah lupa untuk menempa dirirnya sendiri. bahkan dia tidak tenang dengan harta yang berhasil dikumpulkannya, berbeda dengan yang lain-lain. Mengenai kehidupannya yang asketis, diriwayatkan bahwa mendermawankan hartanya lebih dia sukai daripada menumpukkannya. Dia yang membeli sumur seorang Yahudi yang melarang kaum Muslimin menimba air di sumur itu, sehingga Rasulullah saw. pun bersabda: “Betapa besar pengorbanan Utsman. Apa pula yang akan dilakukannya setelah ini?” Utsman menjelaskan, bagi harta mempunyai fungsi sosial, sebagaimana katanya: “Andai saja aku tidak khawatir bahwa dalam Islam terdapat lobang yang dapat kututup dengan harta ini, pasti aku tidak akan mengumpulkannya”.[19]
d.        Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib, kesederhanaannya patut untuk dijadikan suri teladan.Sayyidina Ali bin Abi Thalib pun tidak kurang ketinggian hidup kerohaniannya. Seorang sahabat, keponakan serta menantu Rasulullah yang menjadi khalifah keempat ini dalam tugas-tugasnya yang besar dan mulia, menyebabkan beliau tidak peduli dengan pakaian yang dikenakannya. Pernah beliau menggunakan pakaian robek yang kemudian dijahitnya sendiri. Pernah orang menanyakan, “Mengapa sampai begini ya Amirul mukminin?” Beliau menjawab, “Untuk menghusyukkan hati dan menjadi teladan bagi orang yang beriman.”[20]. Kesederhanaan beliau lainnya ialah pernah beliau hanya memakan tiga biji buah kurma dalam sehari selama sebulan.
Sementara itu dalam pandangan para sufi, secara khusus Ali bin Abi Thalib mempunyai kedudukan tinggi. Karena menurut Ibnu Unaiyah, Ali bin Abi Thalib merupakan sahabat Nabi yang paling zahid. Imam Syafií pun memandangnya sebagai asketis besar. Pernah suatu ketika beliau berkata kepada Umar bin Khattab: “Seandainya engkau akan menemui seoarang sahabat, tamballah bajumu, perbaiki sandalmu, ciutkan harapanmu, dan makanlah tidak sampai kenyang”. Kemudian mengenai pembianaan dirinya sendiri, Ali bin Abi Thalib telah berkata
“Äku ini bagaikan seorang pengembala sekumpulan kambing. Setiap hari bagian yang sebelahnya kukumpulkan bagian yang sebelah lainnya bertebaran”.[21]

e.         Abu Ubaidah bin Jarrah
Abu Ubaidah bin Jarrah, merupakan seorang sahabat Rasulullah yang perkasa yang dapat menaklukan Syria. Beliau berhasil membuat Kaisar Heraklius terpontang-panting dan lari dalam keadaan ketakutan menuju Konstantinopel merelakan kemegahan istananya di Syria demi nyawanya. Ia takut akan keperkasaan Abu Ubaidah bin Jarrah. Khalifah Umar bin Khattab pernah berkunjung ke rumah Abu Ubaidah. Disana Khalifah Umar tidak melihat barang-barang apapun yang dimiliki Abu Ubaidah kecuali hanya satu pasu dan sepotong jana. Khalifah Umar bertanya, “Mana barang-barangmu?” Ubaidah menjawab, “Apa yang tuan lihat itulah barang-barang saya.” Umar berkata lagi, “Yang saya lihat hanya ada satu pasu dan sepotong jana.” Ubaidah membalas, “Cukuplah buat saya itu. Yang pertama untuk tempat makanan dan tempat wudhu saya. Sepotong kain bulu itu untuk tempat duduk dan tempat tidur saya.” Mendengarnya, Umar bin Khattab menangis karena kasihan kepada Abu Ubaidah sang penakluk Syria. Ubaidah berkata, “Apakah tuan menangisi saya Ya Amirul Mukminin¸ karena saya telah menjual dunia saya dan membeli akhirat.”[22]
f.          Said bin Amr
Said bin Amr, adalah seorang amir di daerah Kaufah di masa Khalifah Umar bin Khattab. Disaat Khalifah Umar mengadakan inspeksi terhadap pegawai-pegawai di daerah Kaufah, maka beliau meminta daftar nama-nama fakir miskin di daerah tersebut. Di dalam daftar tersebut terdapat nama Said bin Amr yang merupan amir (penguasa) di daerah Kaufah. Lantas Khalifah bertanya pada pegawai yang mengurusi daftar fakir miskin tadi, “Kemana perginya nafkah yang diterimanya?” Pegawai itu menjawab, “Telah diberikan kepada orang-orang yang fakir dan miskin tanpa meninggalkan sedikit juga bagi dirinya.” Lalu Khalifah Umar mengirimkan seribu dinar kepada Said bin Amr. Ketika Said bin Amr menerima uang tersebut, ia langsung berteriak dan meminta perlindungan kepada Allah. Istrinya bertanya kepadanya, “Apa sebab demikian? Apakah Amirul Mukminin telah wafat?” Said menjawab, “Keadaan lebih besar lagi dari itu” Istri Said bertanya lagi, “Apa?” Sadi membalas, “Dunia telah datang kepada saya.” Istri Said membujuknya, “Jangalah engkau takut.” Said membalas lagi, “Mana yang ada lebih berat dari ini?” Lalu Said pergi ke jalanan dan kebetulan ia melihat pasukan Islam sedang melakukan operasi, lantas dibagi-bagikannya uang seribu dinar tadi kepada tentara Islam tersebut. Setelah itu ia kembali ke rumah seraya memuji-muji Allah karena telah diselamatkan dari fitnah dunia[23].
g.      Ahl Suffah
Benih benih kehidupan rohaniah juga dimiliki dan terpancang kuat seperti para ahlus suffah, yaitu kaum miskin dari muhajirin dan ansharin yang tidak mempunyai keluarga ataupun harta. Mereka pun mendirikan sebuah ruangan di masjid Nabi. Dan di sana mereka memusatkan perhatian dirinya kepada Allah dengan beribadah, melatih jiwa, dan menjauhakan diri dari berbagai pesona duniawi. Mereka inilah yang diamaksud dalam firman Allah ketika bertitah kepada Nabi:  
“Dan bersabarlah kamu bersama orang orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang dengan mengharapkeridlaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini, dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kmai, serta menyembah hawa nafsunya, dan adalah keadaannya itu melewati batas”. (QS al Kahfi: 28)[24]
Dalam karyanya, Hilyah al Aulia’, Abu Nu’áim al Isfahani mendeskripsikan ahlus suffah sebagai kelompok yang terjaga dengan kebenaran dari kecenderungan duniawi, terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiaban, dan panutan kaum miskin yang menjauhi duniawi. Mereka tidak memiliki keluarga ataupun harta. Bhkan perdagangan taupun peristawa yang berlangsung di sekitarnya tidak melalaikan mereka dari mengingat Allah. Mereka tidak disedihkan oleh kemiskinan hal hal duniwi, dan mereka tidak digembirakan kecuali oleh sesuatu yang mereka tuju. Oleh karena itulah Rasulullah mencitai mereka, bahkan beliau suka sekali bergaul dengan mereka serta menganjurkan orang agar menghormati mereka. [25]
Demikianlah beberapa ucapan serta perilaku dalam kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya. Kehidupan merekaitu tidak didasarkan pada nilai-nilai material dan nilai-nilai yang bersifat duniawi, akan tetapi bertumpu pada nilai-nilai ibadah untuk mencari keridlaan Allah swt. Dari perilaku kehidupan Rasullah dan para sahabatnya tersebut telah menggambarkan asal dari pokok ajaran tasawuf. Dengan demikian dapat diartikan bahwa ajaran tasawuf itu adalah mencari jalan untuk mencapai kesempurnaan kehidupan rohani.[26]


[1]TaufikDamasdan M. Abidun, Sahabat Muhammad…, hlm. 11.
[2]Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, hlm. 47.
[3] Id., hlm. 48.
[4]Ibid.
[5]Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf..., hlm. 52.
[6]Alwan Khoiri, M.A, dkk.,Akhlak/Tasawuf, hlm. 46.
[7] Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, hlm. 48.
[8]Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf..., hlm. 52.
[9] Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, hlm. 48.
[10]Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf...,hlm. 53-54.
[11] Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya..., hlm. 31-32.
[12]Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf..., hlm. 53-54.
[13] Abu Ihsan al Atsari, Bidayah wan Nihayah Masa Khulafaur Rasyidin…, hlm. 176.
[14] Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman…, hlm. 49.
[15] Abu Ihsan al Atsari, Bidayah wan Nihayah Masa Khulafaur Rasyidin…, hlm. 177.
[16] Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman…, hlm. 49.
[17] Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya..., hlm. 31.
[18]Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, hlm. 55.
[19] Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman..., hlm. 50.
[20]Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf..., hlm. 56.
[21]  Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, hlm. 52.
[22]Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf…, hlm. 57.
[23]Id.,hlm. 57-58.
[24] Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman..., hlm. 53.
[25]Ibid.
[26]Diringkas Alwan Khoiri, dkk.,Akhlak/Tasawuf, hlm. 36.

Post a Comment for "Kehidupan Para Sahabat (Pag 3)"