Pelaksanaan Fungsi Legislasi DPD sebelum Putusan MK No. 15/PUU-XII/2015 (Bag 2)
1.1.Dewan
Perwakilan Daerah
DPD
merupakan lembaga baru yang dihasilkan oleh perubahan tahap ketiga UUD 1945,
sebagai badan perwakilan tingkat pusat yang baru. DPD dibentuk untuk
meningkatkan peran serta daerah dalam pengelolaan negara, khususnya pembentukan
Undang – Undang dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.[1]
Adanya DPD merupakan upaya untuk menampung aspirasi daerah. Apabila DPR
merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan paham politik rakyat
berdasarkan jumlah penduduk secara genetik, maka DPD merupakan lembaga
perwakilan penyalur keanekaragaman aspirasi daerah. Ada berbagai gagasan
dibalik kelahiran DPD, diantaranya:[2]
- Gagasan
mengubah sistem perwakilan menjadi sistem dua kamar (bikameral). DPD dan DPR
digambarkan serupa dengan sistem perwakilan seperti di Amerika Serikat yang
tersiri dari Senate sebagai perwakilan
negara bagian (DPD), dan House of Representatives sebagai
perwakilan seluruh rakyat (DPR). Di Amerika Serikat, kedua unsur perwakilan
tersebut dinamakan Kongres (Congres). Psal 1 ayat (1) UUD Amerika Serikat
(1787) menyebutkan:
“All legistative powers herein grandted shall be vested in a congres of the united states, which shall concist of a senate and house of representatives”.
- Gagasan untuk meningkatkan keikutsertaan daerah terhadap jalannya politik dan pengelolaan negara. DPD merupakan badan sehari – hari yang turut serta menentukan dan mengawasi jalannya politik dan pengelolaan negara. Dengan demikian DPD dapat pula dipandang sebagai koreksi atau penyempurnaan sistem utusan daerah di MPR menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan. Keikutsertaan daerah dalam utusan daerah di MPR sangat terbatas yaitu pada sidang – sidang MPR (selama orba, hanya dua kali dalam lima tahun).
Selain itu keberadaan DPD dimaksudkan untuk:[3]
- Memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah,
- Meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijaksanaan nasional berkaitan dengan negara dan daerah,
- Mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.Selanjutnya kehadiran DPD menurut Ginanjar Kartasasmita sebagai refleksi kritis terhadap eksistensi utusan daerah dan utusan golongan yang mengisi formasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Dengan
demikian, keberadaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (1) dan
otonomi daerah sebagai dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (5) berjalan sesuai dengan
keberagaman daerah dalam rangka kemajuan bangsa dan negara.[4]
1.2.
Fungsi-Fungsi
Terkait dengan
fungsi perwakilan daerah, maka selalu terkait dengan wakil rakyat, dan wakil
daerah harus memaksimalkan peran dang fungsi untuk menyumbangkan peran yang
lebih besar terhadap pembanguanan daerah. Dalam meningkatkan peran dan fungsi
DPD RI maka dapat dilakukan dengan langkah fungsi pengawasan, fungsi anggaran
dan fungsi legislasi.[5]
Dalam
hubungannya sendiri dengan DPD, DPR memiliki hubungan dengan DPD yaitu hubungan
kerja dalam rangka membahas RUU dimana DPD memiliki hak untuk memberikan
pertimbangan atas RUU tersebut, dan menyampaikan hasil pelaksanaan pengawasan
UU tersebut kepada DPR. Sementara itu DPD, dalam keterkaitannya dengan DPR
yaitu mengajukan RUU tertentu kepada DPR, ikut membahas RUU tertentu bersama
DPR, memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tertentu, dan menyampaikan
hasil pengawasan UU tertentu kepada DPR. Dalam kaitannya itu, DPD sebagai
perwakilan yang mewakili daerah harus mengedepankan kepentingan daerah yang
diwakilinya tersebut.[6]
Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 22D UUD 1945 tentang kewenangan DPD.
Jika
dilihat fungsi pengawasan antara DPR dan DPD jika dilihat dalam UUD 1945,
yaitu: pertama, terdapat dalam pasal
23 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa;
“rancangan
undang-undang pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk
dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat”.
Jadi, dalam pembahasan RUU APBN yang diajukan
oleh Presiden, akan dibahas oleh Presiden dan DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD, jadi DPD hanya bertugas memberi pertimbangan saja dalam
pembahasan RUU APBN tersebut, sehingga hanya DPR yang mempunyai hak untuk
memutuskan penerimaan RUU APBN tersebut;
Kedua, yaitu terdapat dalam pasal 23E ayat (2) yang
menyatakan bahwa;
“hasil
pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD dan DPRD, sesuai dengan
kewenangannya’’.
Jadi, BPK dalam melakukan tugasnya, melaporkan
hasil pemeriksaannya kepada DPR, DPD dan DPRD;
Ketiga,
terdapat dalam Pasal 23F ayat (1), yang menyatakan bahwa;
“DPR
berwenang memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan dari DPD, dan
selanjutnya diresmikan oleh Presiden’’;
Keempat,
terdapat dalam pasal 22D ayat (3), yang menyatakan bahwa;
“DPD dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai urusan yang berkaitan dengan kepentingan daerah, dan kemudian melaporkan hasil pengawasannya kepada DPR untuk dipertimbangkan dan ditindak lanjuti”.
Dengan
fungsi dan wewenanng yang seperti itu maka sebenarnya DPD dapat dikatakan tidak
mempunyai fungsi ketataanegaraan yang berarti. Peran – perannya yang sering
dilakukan untuk menyampaikan aspirasi rakyat daerah terhadap pusat sebenranya
dapat dilakukan oleh Ormaas dan LSM atau oleh media massa. DPD hanya menjadi
penting kalau terjadi sesuatu yang akan jarang terjadi dan sifatnya insidental
berdasarkan UUD 1945 yakni terjadinya perubahan atas UUD dan terjadinya impeachment terhadap Presiden/Wapres
yang prosesnya sampai ke MPR.[7]Karena
secara khusus DPD terlibat dalam proses pembahasan RUU substansi tertentu,
perlu juga ditentukan kedudukannya terhadap DPR. Jika melihat pasal-pasal dalam
UUD 1945 yang mengatur DPD, lembaga ini tidak memiliki tugas dan wewenang
seperti apa yang ada di Negara yang menganut sistem dua kamar murni. Itulah sebabnya,
setelah perubahan, UUD 1945 tidak menganut sistem dua kamar murni namun sistem
dua kamar semu.[8]
Dengan
demikian, kita dapat menarik kesimpulan bahwa DPD mempunyai fungsi terbatas
sehingga harus dibedakan antara fungsi DPD dan lembaga lainnya. Khususnya dalam
bidang legislasi dan bidang pengawasan. Meskipun dalam bidang pengawasan,
keberadaan DPD itu bersifat utama (main
constitutional organ) yang sederajat dengan DPR, tetapi dalam bidang
legislasi, fungsi DPD itu hanyalah sebagai co-legislator
di samping DPR. Sifat tugasnya di bidang legislasi hanyalah penunjang (auxiliary agency) tugas konstitusional
DPR. Dalam pembentukan suatu Undang-Undang atau legislasi, DPD tidak mempunyai
kekuasaan untuk memutuskan atau berperan dalam proses pengambilan keputusan
sama sekali.[9]
1.3.Efisiensi
Legislasi
Masalah
yang seringkali tampil sebagai penolakan terhadap sistem bikameral, adalah
efisiensi dalam proses legislasi. Karena harus melalui dua kamar, maka banyak
anggapan bahwa sitem bikameral akan menghambat kelancaran pembuatan undang-undang.
Untuk meningkatkan efektifitas dan pemberdayaan DPD RI dalam sostem
ketatanegaraan demokrasi maka ada dua beberapa prinsip yang kiranya perlu
menjadi pegangan yaitu:
- Dalam bidang legislasi kedudukan DPD RI tidak perlu spenuhnya setara dengan DPD RI
- Kewenangan legislasi DPD RI diletakkan yang telah diatur dalam UUD dan tetap share dengan DPR RI. Kewenangan tersebut dirumuskan berbagai cara seperti hak veto, mengembalikan ke DPR RI atau hanya menunda pembahasan RUU.
DPD RI harus setia kepada mandatnya untuk
mewujudkan NKRI dengan otonomi daerah yang kuat. Kesetiaan pada mandat ini
penting, karena jika DPD RI terseret dalam kepentingan politik untuk berperan
dominan pada panggung kepentingan nasional yang bersifat sentralisitik maka eksistensinya
akan sirna. Untuk mewujudkan otonomi berdasarkan amanah konstituen makan, lembaga regional ini
harus kuat secara legilitas jalan yang dapat ditempuh adalah dengan perubahan
konstitusi baik secara substansi maupun dengan formalitas.[10]
Anggota DPD RI perlu mengikatkan diri
menyuarakan aspirasi daerah dan kepentingan daerah pada penderitaan
kelompok-kelompok masyarakat yang paling tertinggal di daerah-daerah dan
membangun dan menjalin networking yang kuat dengan berbagai elemen kritis dalam
masyarakat di berbagai daerah. Dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil,
dengan media massa dan secara aktif memproduksi wacan untuk mewarnai dan
mengarahkan diskursus politik dan publik sehingga lebih peduli dan memihak
kepada mereka yang lemah di daerah-daerah, pendek kata anggota DPD RI sebagai
tokoh-tokoh terpilih daerah harus memperkuat komitmen kepedulian dalam menyerap
dan meminjam energi atau mengajak bersama-sama segenap elemen untuk mengatasi
berbagai persoalan kedaerahan.[11]
Fungsi
legislasi harus dilihat secara utuh, yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai
menyetujui sebuah rancangan undang-undang. Ketimpangan fungsi legislasi menjadi
semakin nyata dengan adanya Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
kekuasaan yang membentuk undang-undang berada ditangan DPR. Tidak hanya itu,
Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 secara aksplisit menentukan bahwa fungsi legislasi
hanya dimiliki DPR. Dengan cara berfikir a
contrario sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat yang dapat
mengajukan dan ikut membahas rancangan undang-undang bidang tertentu
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945, DPD tidak mempunyai fungsi legislasi.
DPD yang dihasilkan dalam perubahan UUD 1945
tidak memberikan wewenang kepada DPD untuk mengubah dan menolak rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama oleh presiden dan DPR. Tidak hanya
itu, DPD pun tidak mempunyai wewenang untuk menundsa pengesahan rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Satu-satunya
DPD untuk terlibat lebih intensif dalam pembahasan rancangan undang-undang,
yaitu denga fasa “ikut membahas” yang terdapat dalam Pasal 22D Ayat (2) UUD
1945. Dibandingkan dengan wewenang DPR dan Presiden frasa “ikut membahas”
menunjukan bahwa DPD merupakan pelengkap dalm fungsi legislasi. Dengan frasa
Ãkut membahas” tersebut, peran DPD dalam fungsi legislasi untuk rancangan
undang-undang tertentu lebih tepat disebut sebagai ko-pembahas karena pembahas
utama tetap dilakukan DPR dan Presiden.[12]
Dengan kewenangan yang begitu terbatas, DPD
tidak dapat dikatakan mempunyai fungsi legislasi. Bagaimanapun, fungsi
legislasi harus dilihat secara utuh, yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai
menyetujui sebuah rancangan undang – undang. Kepentingan fungsi legislasi menjadi semakin nyata dengan adanya Pasal 20
Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan membentuk undang – undang
berada di tangan DPR. Tidak hanya itu, Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 secara
eksplisit menentukan bahwa fungsi legislasi hanya dimiliki oleh DPR. Dengan
menggunakan cara berfikir a contrario,
sebagai bagian dari lembaga perwakilan raakyat yang hanya dapat mengajukan dan
ikut membahas rancangan undang – undang bidang tertentu sebagai mana
dimaksudkan dalam Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 , DPD tidak mempunyai fungsi
legislasi.[13]
Dibandingkan
dengan DPR, kewenangan DPD amat sangat minimalis, baik dari sisi institusional
maupun personal. Di sisi institusional DPR adalah pemegang mandad legislasi
bersama – sama denagn presiden, mempunyai fungsi pengawasan, dan mempunyai
fungsi budgeting. Di sisi lain, DPD hanya merupakan “lembaga pemberi
pertimbangan agung” dalam tiga fungsi institusional DPR. Lebih jauh, berbeda
dengan DPR yang diproteksi keberadaannya dari kemungkinan dibubarkan oleh presiden,
maka DPD tidak mempunyai proteksi konstitusional demikian.
Tidak
hanya rentan secara institusioanal, DPD juga lemah secara personal. Apabila
anggota – anggota DPR dilindungi dengan hak imunitas di dalam konstitusi, maka
anggota DPD tidak mempunyai garansi konstitusi demikian. Hak imunitas bagi
anggota DPD baru hadir dalamUU Susunan dan Kedudukan DPR, DPD, daan DPRD. Lebih
jauh, hak – hak lain yang dimiliki anggota DPR semuanya dijamin dalam UUD,
sedangkan hak – hak anggota DPD hanya diatur dalam UU.[14]
Sebetuknya
berkaca praktik sejumlah negara, ketimpangan fungsi legislasi antar kamar dalam
lembaga perwakilan bukan sesuatu yang baru. Namun, ketimpangan itu selalu
diupayakan dengan memberikan kompensasi kepada kamar lain yang lebih lemah.
Dalam model perwakilan rakyat bikameral, jika berhak mengajukan rancangan
undang – undang, majelis tinggi diberikan hak konstitusional untuk mengubah,
mempertimbangkan, atau menolak rancangan undang – undang yang berasal dari
majelis rendah. Sekiranya hak itu tidak ada, majelis tinggi diberi hak
konstitusional untuk menunda pengesahan undang – undang yang disetujui oleh
majelis rendah.
Menurut
Kevin Evans, jika konstitusi tidak memberi hak untuk mengubah dan menolak
rancangan undang – undang, menunda pengesahan sering menjadi satu –
satunyakekuatan majelis tinggi dalam pelaksanaan fungsi legislasi. Sebagai
bagian dari mekanisme Checks and Balences
dalam fungsi legislasi, penundaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan bagi majelis tinggi untuk mengoreksi rancangan undang – undang yang
telah disetujui majelis rendah.
Berdasarkan
penjelasan itu, DPD yang dihasilkan dalam perubahan UUD 1945 tidak memberikan wewenang kepada DPD
untuk mengubah dan menolak rancangan undang – undang yang telah disetujui
bersama oleh presiden dan DPR. Tidak hanya itu, DPD pun tidak mempunyai
wewenang untuk menunda pengesahan rancangan undang – undang yang telah
disetujui bersama oleh DPR dan presiden.[15]
Sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, salah satu kritik terbesar dalam fungsi legislasi DPD
adalah keterlibatan DPD dibatasi samapai pembahasan tingkat I, padahal
dimungkinkan apabila DPD ikut sampai pada proses yang berlangsung di tigkat II.
Secara konstitusi, DPD tidak mungkin ikut memberikan persetujuan terhadap
sebuah rancangan undang – undang karena persetujuan hanya menjadi wewenang DPR
dan presiden.[16]
Keterbatasan
DPD tidak hanya terjadi dalam konstitusi saja, tetapi juga dalam praktik.
Misalnya sebagai bentuk pelaksanaan kewenangan, sejak 2005 sampai bulan maret
2008, DPD telah menetapkan 149 keputusan dan menyampaikan keputusan itu kepada
DPR dalam bentuk usul rancangan undang – undang pandangan dan pendapat DPD,
pertimbangan DPD, hasil pengawasan, san pertimbangan yang berkaitan dengan
anggaran. Dalam kenyataannya, DPR mengabaikan keputusan DPD tersebut termasuk
pertimbangan yang berkaitan dengan rancangan undang – undang anggaran
penda[atan dan belanja negara (APBN).[17]
[2]Ibid, hlm. 59.
[5]
M. Yusuf, Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia: Arsitektur Histori Peran dan
Fungsi DPD RI Terhadap
Daerah di Era
Otonomi Daerah, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2013), hlm. 80.
[7]Mahfud
M.D, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
(Jakarta: Charisma Putra Utama Offset, 2010), hlm. 72.
[8]
Sri Soemantri M, Hukum Tata Negara: Pemikirandan Pandangan, (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2014), hlm. 225.
[9]Jimly
Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi
Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 121.
[17]Ibid, hlm 263.
Post a Comment for "Pelaksanaan Fungsi Legislasi DPD sebelum Putusan MK No. 15/PUU-XII/2015 (Bag 2)"