Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perkawinan dan Sistemnya (Bag 1)




Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan. Perkawinan juga merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga. Tergantung budaya setempat bentuk perkawinan mempunyai tata cara yang  berbeda – beda.
Secara Etimologis Pernikahan adalah bentukan kata benda dari kata dasar nikah; kata itu berasal dari bahasa Arab yaitu kata nikkah yang berarti perjanjian perkawinan; berikutnya kata itu berasal dari kata lain dalam bahasa Arab yaitu kata nikah yang berarti persetubuhan. Perkawinan dalam UU  Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 menyatakan perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Di Jawa Tengah seperti juga di tempat lain, pada prinsipnya perkawinan terjadi karena keputusan dua insan yang saling jatuh cinta. Itu merupakan hal yang prinsip. Meski ada juga perkawinan yang terjadi karena dijodohkan orang tua yang terjadi di masa lalu. Sementara orang  - orang tua zaman dulu memberi pepatah : “ witing tresno jalaran soko kulino” artinya : cinta tumbuh karena terbiasa.
Di Jawa Tengah di mana kehidupan kekeluargaan masih kuat, sebuah perkawinan tentu akan mempertemukan dua buah keluarga besar. Oleh karena itu, sesuai kebiasaan yang berlaku, kedua insan yang berkasihan akan memberitahu keluarga masing – masing bahwa mereka telah menemukan pasangan yang cocok dan ideal untuk dijadikan suami / istrinya. 

  • Sistem Perkawinan

Menurut hukum adat, dalam perkawinan terdapat 3 macam sistem perkawinan, yaitu:[1]
a.       Sistem Endogami
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini kini jarang terjadi di Indonesia. Menurut Van Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang secara praktis mengenal sistem endogamy ini, yaitu daerah Toraja. 
Tetapi sekarang, di daerah ini pun sistem ini kan lenyap dengan sendirinya kalau hubungan daerah itu dengan daerah lainnya akan menjadi lebih mudah, erat dan meluas. Sebab sistem tersebut di daerah ini hanya terdapat secara praktis saja; lagi pula endogamy sebetulnya tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah itu, yaitu parental.
b.      Sistem Exogami
Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku lain. Menikah dengan suku sendiri merupakan larangan. Namun demikian, seiring berjalannya waktu, dan berputarnya zaman lambat laun mengalami proses perlunakan sedemikian rupa, sehingga larangan perkawinan itu diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. Sistem ini dapat dijumpai di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram.
c.       Sistem Eleutherogami
Sistem eleutherogami berbeda dengan kedua sistem di atas, yang memiliki larangan-larangan dan keharusan-keharusan. Eleutherogami tidak mengenal larangan-larangan maupun keharusan-keharusan tersebut. Larangan-larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang berhubungan dengan ikatan kekeluargaan yang menyangkut nasab (keturunan), seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu, juga dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu. Atau larangan kawin dengan musyahrah (per-iparan), seperti kawin dengan ibu tiri, mertua, menantu, anak tiri. Sistem ini dapat dijumpai hampir di seluruh masyarakat Indonesia, termasuk Jawa. 


[1] Soerjono Soekanto,  Intisari Hukum Keluarga, (Bandung : Sitra Aditya Bakti, 1992), hlm. 131.

Post a Comment for "Perkawinan dan Sistemnya (Bag 1)"