Tentang Perceraian dan Harta Perkawinan (Bag 4)
1. Perceraian
Tujuan utama dari perkawinan adalah membina kehidupan bersama yang kekal
samapai akhir hayat. Akan tetapi dalam perjalanannya sebuah rumah tangga tidak
kan bisa lepas dari permasalahan. Dan seringkali apa yang menjadi tujuan
perkawinan kandas di perjalanan. Sebenarnya putusnya perkawinan adalah hal yang
wajar saja karena dasar perkawinan adalah ikatan. Dengan kata lain bahwa
perkawinan adalah sebuah kontrak. Pada dasarnya alasan
utama putusnya perkawinan adalah karena kematian dan perceraian walaupun
hubungan perkawinan belum tentu putus. Hal ini dikarenakan dalam hukum adat
setempat tidak menganal putusnya hubungan perkawinan. Contohnya seorang suami
meninggal, dalam hal ini putusnya perkawinan karena kematian. Akan tetapi
hubungan kekerabatan diantara mereka tidak putus dikarenakan sebab akibat perkawinan,
lebih-lebih jika terdapat keturunan.[1]
Di dalam masyarakat jawa yang bersifat bilateral, apabila suami
wafat, maka istri yang putus kembali kekerabat asalnya. Meskipun perceraian ini
lazim terjadi, namun sebenarnya di daerah Jawa, perceraian adalah hal
yang sangat tidak disukai. Mengutip pendapat Prof. Djojodiguno bahwa cita-cita
orang jawa adalah berjodoh sekali seumur hidup. [2]
Setelah terjadi perceraian maka masing-masing bekas suami istri bebas untuk
kawin lagi. Bekas istri sebelum menikah lagi harus melewati masa tunggu (iddah)
sesuai ketentuan agamanya.[3] Dalam UU
Perkawinan putus
karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari. Jika putus karena perceraian, maka waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan
adalah 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari,
sedangkan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
Apabila perkawinan putus, sedangkan janda dalam keadaan hamil, maka waktu
tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
2. Harta Perkawinan
Menurut Prof. Djodjodigoeno dan Tirtawinata, SH dalam bukunya
”Adatprivaatrecht van Middel-Java”, masyarakat Jawa Tengah membagi harta
perkawinan menjadi dua macam yaitu:
harta asal atau harta yang dibawa ke dalam perkawinan dan harta milik
bersama atau harta perkawinan.[4]
Dalam harta bawaan dibedakan antara harta bawaan suami dan harta
bawaan istri, yang masing-masing masih dapat dibedakan antara harta
peninggalan, harta warisan, harta hibah/wasiat dan harta pemberian / hadiah. harta
seperti ini disebut “gono gawan”. Barang-barang atau harta ini tetap menjadi
milik suami atau istri yang menerimanya dari warisan atau penghibahan, juga
termasuk kalau mereka bercerai. Apabila salah satu dari mereka meninggal dunia
serta mereka tidak mempunyai anak, maka barang-barang itu kembali kepada
keluarga dari suami atau istri yang masih hidup.[5] Sedangkan jika dalam perjalanan perkawinan seseorang terjadi perceraian,
maka harta bawaan tersebut kembali kepada masing-masing pihak suami dan istri.
Seperti yang dinyatakan oleh orang Jawa, “tetep dadi duwekke dewe-dewe, bali
menyang asale”. Kecuali dalam perkawinan antara istri rendah (miskin) dengan
suami tinggi (kaya) atau yang disebut dengan “manggih koyo”, maka semua harta
menjadi milik suami dan dikuasai oleh suami.[6]
Harta bersama atau yang
biasa disebut “barang gini atau gono gini” merupakan harta yang diperoleh
selama dalam ikatan perkawinan, yang diperoleh dalam usaha bersama-sama. Di
Jawa, harta “gono gini” itu adalah “sraya ne wong loro lan duwekke wong loro”. Adanya harta bersama dalam perkawinan merupakan
gejala umum dan telah menjadi azas umum dalam hukum adat seiring dengan
pertumbuhan somah yang semakin kuat di dalam masyarakat yang menggeser
kedudukan dan pengaruh keluarga besar atau kerabat dalam masalah harta
perkawinan. Beberapa daerah di Jawa Tengah memiliki kebiasaan pembagian harta
bersama yaitu suami mendapatkan dua-pertiga dan isteri mendapat sepertiga. Azas
pembagian tersebut di Jawa Tengah disebut azas ”sakgendong sakpikul.” Akan
tetapi, dalam perkembangannya, azas ”sagendong
sapikul” dalam pembagian harta bersama makin lama makin lenyap. Kemudian dalam
hal salah satu pihak meninggal dunia, maka lazimnya semua harta bersama tetap
berada di bawah kekuasaan pihak yang masih hidup dan dia berhak untuk
menggunakan harta bersama tersebut untuk keperluan hidupnya. Tetapi, dalam hal
sudah tersedia secara pantas sejumlah harta yang diambilkan dari harta bersama
tersebut untuk keperluan hidupnya, maka kelebihannya dapat dibagi oleh para
ahli waris. Kalau terdapat anak, maka anak itulah yang menerima bagiannya
sebagai barang asal. Sedangkan kalau tidak ada anak, maka sesudah kematian
suami atau isteri yang hidup lebih lama, harta bersama tersebut harus dibagi
antara kerabat suami dan kerabat isteri menurut ukuran pembagian yang sama
dengan ukuran pembagian yang digunakan suami isteri seandainya mereka masih
hidup serta membagi harta bersama tersebut.[7]
[1] Muthmainnah, Hukum Perkawinan, http://muthmainnah010711.blogspot.co.id/2012/10/hukum-perkawinan.html,
diakeses pada 31 Oktober 2017.
[4] Lihat Gudang Makalah Hukum,
dalam Penyelesaian Harta Bawaan Dan Pembagian Harta Bersama dalam Perkawinan di Indonesia, http://akhsoname.blogspot.co.id/2015/09/penyelesaian-harta-bawaan-dan-pembagian.html,
diakeses pada 31 Oktober 2017.
Post a Comment for "Tentang Perceraian dan Harta Perkawinan (Bag 4)"