Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Aplikasi Aliran Sociological Jurisprudence

Implementasi Aliran Sociological Jurisprudence dalam Menanggapi Kasus HP-3[1]


Aliran sociological jurisprudence merupakan salah satu aliran pemikiran filsafat hokum. Aliran ini menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Menurut aliran ini :“Hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup  di antara masyarakat”. Kata “sesuai” diartikan sebagai hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.

Antara sociological jurisprudence dengan sosiologi hukum merupakan hal yg berbeda, karena sosiologi hukum sendiri merupakan cabang dari sosiologi. Sedangkan sociological jurisprudence merupakan cabang ilmu hukum. Sebab itu sociological jurisprudence disebut juga sebagai Ilmu Hukum Sosiologis. Dalam kata pengantar yang ditulis oleh Roscoe Pound pada buku Gurvich yang berjudul “Sosiologi Hukum”. Sociological jurisprudence merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang melihat adanya hubungan timbal balik antara Hukum dan Masyarakat. Sedangkan Sosiologi Hukummerupakan cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum tersebut, disamping itu juga menyelidiki pengaruh hukum terhadap masyarakat. Atau dalam bahasa yang sederhana, sociological jurisprudence metode pendekatannya dari Hukum ke Masyarakat, sementara Sosiologi Hukum sebaliknya, yaitu dari Masyarakat ke Hukum.[2]

Hukum yang digunakan sebagai sarana pembaharuan itu dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya. Di Indonesia sendiri yang paling menonjol adalah perundang-undangan. Agar dalam pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk pembaharuan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran aliran sociological jurisprudence, yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat . jadi, mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Sebab jika ternyata tidak,akibatnya ketentuan tersebut akan tidak dapat dilaksanakan (bekerja) dan akan mendapat tantangan-tantangan.

Dalam studi kasus, sebagaimana telah kita ketahui wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil merupakan SDA yang mempunyai kekayaan luar biasa bagi negara dan rakyat Indonesia. Namun adanya undang-undang khusus yang mengaturnya, bernama UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Kemudian disingkat UU 27/2007), menunjukkan adanya upaya untuk mengatur bagaimana negara menurunkan semangat konstitusi tersebut ke dalam undang-undang. Negara memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengelola Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (SDP-PPK) melalui mekanisme Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). 

Adanya kelompok masyarakat yang mengajukan judicial review terhadap beberapa pasal dalam UU tersebut sebagai bukti telah terjadi penyelewentan dalam pembuatan UU tersebut. Hal ini dapat dilihat dari para pemohon yang mendalilkan bahwa undang-undang tersebut syarat dengan kontradiksi terdahap norma pengelolaan SDA yang diatur dalam konstitusi sehingga dipastikan akan menelantarkan kesejahteraan rakyat. Selain itu, hasil judicial review pun significant. MK mengabulkan permohonan judicial review tersebut, yang termuat dalam Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010.

Dalam pembentukan UU ini tidaklah menerapkan substansi dari aliran sociological jurisprudence, hal ini dapat kita lihat dari adanya penolakan masyarakat terhadap UU ini hingga berujung pada pengajuan Judicial Riview, dan akhirnya pun MK memutuskan bahwa beberapa pasal dari UU ini Inskonstitusional.

MK telah memutuskan bahwa pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil yang bertentangan dengan UUD 1945 adalah; Pasal 1 angka 18 tentang definisi HP-3. Pasal 16 tentang mekanisme pemanfaatan SDP-PPK, Pasal 17 tentang pertimbangan pemberian HP-3, Pasal 18 tentang subjek hukum penerima HP-3, Pasal 19 tentang jangka waktu pemberian HP-3, yakni 20 tahun. Pasal 20 tentang kesempatan pemegang HP-3 untuk melakukan pengalihan hak atas penguasaan HP-3, Pasal 21 tentang persyaratan administrasi dan teknis yang harus dipenuhi untuk mendapatkan HP-3, Pasal 22 tentang larangan memberikan HP-3 bagi kawasan konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan dan pantai umum, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5) tentang pembuatan masterplan dan design pemanfaatan SDP-PPK, dan Pasal 50 tentang kewenangan menteri, gubernur, bupati/walikota dalam pemberian HP-3.

Dari sekian pasal tersebut terdapat tiga hal yang mencerminkan norma pengelolaan SDP-PPK dalam HP-3 yang bertentangan dengan norma pengelolaan SDA dalam konstitusi. Ketiga hal tersebut adalah sebagai berikut:[3]
1.      HP-3 dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 18 UU 27/2007 mengabaikan hak asasi masyarakat adat atas SDP-PPK. Meskipun SDP-PPK merupakan wilayah ulayat, masyarakat adat harus tetap mengajukan izin bila ingin memanfaatkannya. Hak asasi yang seharusnya cukup membutuhkan pengakuan (recognition), justru membutuhkan pemberian (granting). Kalau pengakuan tidak bisa dicabut, tetapi kalau pemberian bisa dicabut. Inilah yang menyebabkan munculnya mekanisme kompensasi di atas, yang mana negara berhak mencabut kepemilikan masyarakat adat karena adanya ganti rugi. Ketentuan ini tentu saja bertentangan dengan Pasal 18B UUD 1945 tentang pengakuan adat dan 28G UUD 1945 tentang perlakuan khusus bagi kelompok rentan.
2.      HP-3 sebagaimana dalam Pasal 1 angka 18, Pasal 18 dan Pasal 20 ayat (1) UU 27/2007 mengubah kedudukan SDP-PKK yang awalnya sebagai common property right menjadi property right, atau dari pemanfaatan untuk bersama menjadi hak kebendaan yang bisa dimiliki secara individual eksklusif bahkan bisa dibuat sebagai jaminan berhutang. Konsep ini bertentangan dengan amanah konstitusi. Konstitusi mengatur bahwa SDA yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak adalah sebagai barang HMN yang digunakan untuk kepentingan kemakmuran rakyat dan kepentingan umum (Pasal 33 UUD 1945).
3.      HP-3 sebagaimana dalam Pasal 23 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) dan Pasal 60 ayat (1) huruf b UU 27/2007 mengabaikan kepastian hukum bagi masyarakat lokal dan adat untuk menikmati SDP-PPK. Adanya mekanisme kompensasi memberikan celah pengusiran mereka atas nama sesuai dengan prosedur hukum. Hal ini bertentangan dengan jaminan konstitusi atas hak mempertahankan hidup, mengembangkan diri, perlindungan atas penguasaan barang dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan (Pasal 28C, 28G dan 28H UUD 1945).
Ada beberapa hal yang perlu diperhatika agar norma pengelolaan SDP-PPK dalam H-3  sesuai dengan konsep perberdayaan dan prinsip dalam aliran sociological jurisprudence serta sejalan dengan nilai konstitusi, UU 27/2007 ini membutuhkan penerapan konsep affirmative action, konsep ini bertujuan memberikan perlakuan khusus bagi masyarakat adat dan nelayan tradisional dalam mendapatkan HP-3, selain itu mendorong pengelolaan SDA agar mempunyai keberpihakan kepada powerless group semisal rakyat kecil, masyarakat adat dan lokal dibanding dengan pengusaha yang berkemampuan tekhnologi dan modal kuat. Dalam menjaga pengelolaan SDP-PPK pun harus memperhatikan pembangunan kapabilitas kolektif rakyat. Kapabilitas ini berguna untuk membangun bargaining position mereka agar bisa berkompetisi dengan pemodal dan Negara, dan HP-3 harus mempertahankan status SDP-PPK ini sebagai common property right. Selain itu untuk mengatur pengelolaan SDP-PPK yang menjamin hak masyarakat untuk mempertahankan hidup, hak masyarakat untuk mengembangkan diri, dan hak atas sumber penghidupan, UU 27/2007 harus memperhatikan pembangunan power rakyat, seperti melarang seseorang atau perusahaan swasta membayarkan kompensasi kepada masyarakat yang sudah terlebih dahulu menggunakan SDP-PPK untuk mendapatkan HP-3. Pembolehan pemberian tersebut berpotensi mengakibatkan hilangnya akses dan pekerjaan bagi sebagian besar masyarakat kecil yang bekerja sebagai nelayan untuk mencari nafkah di perairan pesisir.
Dalam pembentukan peraturan perundangan undangan sebaiknya substansi dari aliran sociological jurisprudence penting diterapkan, karena setiap peraturan perundang undangan yang dibuat sejatinya berdasarkan nilai nilai yang hidup dalam masyrarakat. Sebagaimana Roscoe Pound yang berpandangan bahwa hukum berfungsi sebagai rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Hukum sebagai sarana social engineering (SE) adalah penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicitacitakan atau untuk melakukan perubahan-perubahan yang diinginkan. Dengan demikian, Pemerintah seharusnya dapat mengakomodasi kehendak masyarakat dalam setiap pembentukan peraturan perundang undangan sehingga substansi dari aliran sociological jurisprudence yang tercermin dalam sebuah aturan perundang undangan dapat terealisasikan sepenuhnya.


[1] Tanggapan singkat terhadap studi kasus HP-3 dalam tulisan Faiq Thobroni, Jurnal: “Mengkritisi HP-3 Perspektif Konstitusi dan Pemberdayaan Rakyat (Kontribusi Teori Sosiologi Membaca Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010)”, Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Mei 2012.
[2] Lili Rasjidi, Dasar Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya, 2004), hlm. 66.
[3] Faiq Thobroni, Jurnal: “Mengkritisi HP-3 Perspektif Konstitusi dan Pemberdayaan Rakyat (Kontribusi Teori Sosiologi Membaca Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010)”, Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Mei 2012, hlm. 387-388.

Post a Comment for "Aplikasi Aliran Sociological Jurisprudence "