Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pidana Mati: Prespektif Hukum Internasional dan Pancasila


A. Pembahasan
1. Hak Hidup dan Hukuman Mati
Hak untuk hidup adalah hak yang tak terenggutkan (non-derogable right). Dalam arti lain, hak hidup ada begitu manusia ada seiring dengan keberadaan kodrat manusia. Rumusan ini menekankan dan mengakui sifat hak hidup sebagai karunia Tuhan yang bersifat kodrati. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kata melekat dan penekanan sifat kodrati hak hidup dalam ketentuan ini menekankan sifat hak hidup sebagai karunia Tuhan yang tak dapat dicabut oleh manusia.

Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) atau International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) menyatakan, bahwa hak untuk hidup harus dilindungi oleh hukum dan atas hak ini tidak boleh diperlakukan dengan sewenang-wenang. Hak ini sebenarnya telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 terutama Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D Ayat (2), Pasal 28H.

Oleh karena itu, penerapan hukuman mati digolongkan sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi karena melanggar Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), yang mana menyatakan “Setiap orang mempunyai hak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang”. Hal ini dipertegas pada Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) dan diperkuat oleh Protocol Opsional  Kedua (Second optional Protocol) atas perjanjian Internasional mengenai hak-hak Sipil dan Politik tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati.

Namun, pada pasal 6 ayat 2 ICCPR menjelaskan bahwa putusan hukuman mati dapat diberikan untuk kejahatan-kejahatan yang paling berat. Hukuman ini pun hanya boleh dilakukan dengan putusan terakhir dari dari pengadilan yang berwenang. Namun pada ayat 5 memberikan pengecualian bahwa hukuman mati tidak boleh dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan seseorang di bawah umur delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap wanita yang sedang hamil.

Dalam beberapa instrument, larangan hukuman mati dimuat dalam sebuah protokol tersendiri. Seperti Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Konvensi Amerika, keduanya membatasi hukuman mati pada kejahatan yang paling berat. Keduanya mengatur bahwa hukuman mati hanya boleh dikenakan oleh keputusan final dari pengadilan yang berwenang sesuai dengan undang-undang yang tidak retroaktif ( tidak berlaku surut). 

Namun asas hukum tersebut tidaklah berlaku secara imperatif terhadap semua tindak pidana, melainkan hanya pada tindak pidana biasa (ordinary crime). Akan tetapi tindak pidana yang masuk kategori “extra ordinary crime” seperti pelanggaran hak asasi manusia dan terorisme tidak serta merta berlaku asas legalitas dalam pasal 28I UUD 1945.

2. Hukuman Mati di Indonesia
Menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), terdapat 13 undang-undang di Indonesia yang dapat digunakan untuk menjatuhkan pidana mati. Namun, dari 13 UU ini, secara praktek hanya empat yang paling sering diterapkan yaitu pembunuhan berencana, narkotik, terosime, kekerasan seksual terhadap anak yang menyebabkan kematian. Sisanya hampir tidak pernah diterapkan.

UU yang sering dipakai termasuk UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme serta pembunuhan berencana seperti tercantum dalam KUHP. Sembilan UU lain yang jarang dipakai untuk tuntutan mati termasuk Tenaga Atom, Tipikor, dan pengadilan HAM.

Mengenai Konstitusionalitas hukuman mati ini telah diperkuat dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi hukuman mati dalam UU Narkotika dan menyatakan bahwa hukuman mati dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD 1945 lantaran jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak menganut asas kemutlakan.

Menurut MK, hak asasi dalam konstitusi mesti dipakai dengan menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Dengan demikian, menurut MK, hak asasi manusia harus dibatasi dengan instrumen Undang-Undang, yakni Hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan.

Alasan lain pertimbangan putusan MK salah satunya, karena Indonesia telah terikat dengan konvensi internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Sehingga, menurut putusan MK, Indonesia harus berkewajiban menjaga dari ancaman jaringan peredaran gelap narkotika skala internasional, salah satunya dengan menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal.

Dalam konvensi itu, Indonesia telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa serius terhadap kemanusiaan (extra ordinary) sehingga penegakannya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal. Salah satu perlakuan khusus itu, menurut MK, antara lain dengan cara menerapkan hukuman berat yakni pidana mati.

Dengan menerapkan hukuman berat melalui pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika, MK berpendapat, Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menganjurkan penghapusan hukuman mati. Bahkan MK menegaskan, pasal 6 ayat 2 ICCPR itu sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius.

Dalam pandangan MK, keputusan pembuat undang-undang untuk menerapkan hukuman mati telah sejalan dengan Konvensi PBB 1960 tentang Narkotika dan Konvensi PBB 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights, dan UU HAM sebab ancaman hukuman mati dalam UU Narkotika telah dirumuskan dengan hati-hati dan cermat, tidak diancamkan pada semua tindak pidana Narkotika yang dimuat dalam UU tersebut.

Lebih lanjut, melihat pada UU HAM, MK memandang bahwa UU itu juga mengakui adanya pembatasan hak asasi seseorang dengan memberi pengakuan hak orang lain demi ketertiban umum. Dalam hal ini, MK menganggap hukuman mati merupakan bentuk pengayoman negara terhadap warga negara terutama hak-hak korban. Dengan demikian, hak untuk hidup memang benar dijamin dalam konstitusi Indonesia, namun hak tersebut dapat dibatasi dengan instrumen undang-undang. 

3. Hukuman Mati dan Pancasila
Sebagai falsafah dan ideologi negara yang merupakan cita hukum dan cita negara (rechtsidee en staatsidee), Pancasila merupakan sekumpulan nilai-nilai yang dianut serta yang menjadi pedoman, inspirasi, dan penerang jalan menuju tujuan negara. Karena itu Pancasila memiliki fungsi kritis terhadap semua kebijakan publik yang diambil, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan untuk menata ketertiban masyarakat, maupun terhadap program-program sosial, ekonomi, dan budaya  yang perlu untuk  mencapai tujuan negara.

Hukuman mati merupakan salah satu hukuman pokok yang diakui dalam sistem hukum pidana Indonesia sampai saat ini, meskipun kontroversi mengenai keabsahannya dilihat dari konstitusi dan dasar negara masih berlanjut.  Sebagai konsekuensi logis dari Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara,   Indonesia telah secara menyeluruh  memuat hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945. 

Selain itu, Indonesia pun telah menyepakati perjanjian internasional tentang hak-hak asasi manusia, terutama International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)  yang telah menjadi bagian hukum nasional dengan ratifikasi kedua instrumen HAM tersebut.  Semuanya menjamin hak hidup manusia sebagai hal yang tidak dapat dikurangi dalam cara apapun (non-derogable rights).

Namun,  posisi hukuman mati dalam sistem hukum  pidana Indonesia masih belum berubah secara berarti. Padahal, negara-negara yang tidak mengenal Pancasila secara perlahan sudah bergerak ke arah penghapusan (abolisi) hukuman mati, baik atas dasar keterikatan pada instrumen hak asasi manusia yang telah disepakati, maupun atas dasar teori pemidanaan baru, bahwa pembalasan bukan menjadi tujuan. 

Apalagi hasil penelitian menunjukkan bahwa hukuman mati tidak berhasil menjadi deterrence terhadap kejahatan. Tetapi hasil penelitian tersebut sering diabaikan. Banyak pihak di Indonesia yang bersikukuh bahwa prevalensi kejahatan dengan masih adanya hukuman mati pun masih tinggi, apalagi kalau hukuman mati dihapuskan.

Pancasila sebagai Rechtsbeginsel (asas hukum) adalah merupakan sumber hukum tertinggi (sumber dari segala sumber hukum) bagi tertib hukum di Indonesia. Ini berarti bahwa masalah hukum di Indonesia harus diselesaikan dan bersumber dari nilai-nilai Pancasila, tak terkecuali aturan hukum tentang sanksi pidana mati.
a. Pidana Mati dan Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa
Untuk menemukan landasan filosofis keberlakuan pidana mati dalam konteks nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, terlebih dahulu hendaknya dipahami pengertian tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Mohammad Hatta dalam uraiannya, memaknai pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai nilai yang menjiwai cita-cita hukum Indonesia”. Dengan demikian, dalam setiap pengaturan hukum di Indonesia, tidak terkecuali masalah pidana mati juga harus bersumber pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di dalam ajaran Islam dikenal adanya qishash, dimana menurut hukum Islam pidana mati adalah suatu keharusan bagi mereka yang telah menghilangkan nyawa orang lain. Hukum qishash secara tegas terlihat dalam Alquran Surat Al Baqarah ayat 178 : yang artinya, ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu menuntut balas (qishash) sebab membunuh orang, merdeka dengan merdeka, sahaya dengan sahaya, perempuan dengan perempuan ...”.

Dalam ajaran agama Kristen pun membenarkan hukuman mati. Para tokoh agamawan Kristen setuju penerapan pidana mati, karena merujuk pada pandangan Paulus, bahwa negara adalah wakil Tuhan dalam menjalankan kekuasaan duniawi, diberikan pedang yang dipergunakan untuk menjamin kelangsungan hidup negara Roma 13 :4 dan Kejadian 9 : 4.
b. Pidana Mati dan Nilai Kemanusiaan 
Menurut pandangan Drijarkoro, perikemanusiaan dibagi dalam dua perumusan, negatif dan positif. Rumusan Negatif, yaitu "apa yang tidak diinginkan untuk dirimu sendiri, jangan itu kau lakukan terhadap sesamamu manusia". Rumusan Positif, yaitu "cintailah sesama manusia seperti dirimu sendiri, perlakukanlah kepadanya apa yang kau inginkan untuk diri sendiri".

Secara lebih tajam Rachmad Djatmiko berpendapat, pidana mati tidak bertentangan dengan perikemanusiaan, karena dasar keadilan pidana mati adalah perikemanusiaan yang menjaga pertumpahan darah secara sewenang-wenang. Mencermati pandangan tersebut, pidana mati merupakan alat yang radikal untuk mencegah tindakan-tindakan di luar batas perikemanusiaan demi tercapainya masyarakat adil makmur.

c. Pidana Mati dan Nilai Kebangsaan

Mohammad Hatta dalam pandangannya terhadap persatuan kebangsaan Indonesia, memaknainya sebagai cerminan dari susunan negara nasional yang bercorak Bhineka Tunggal Ika. Pandangan ini mengisyaratkan bahwa kesatuan dan kebangsaan dalam konteks kesatuan wilayah, kesatuan dalam kebhinekaan dan kesatuan kehidupan bermasyarakat merupakan hal yang mutlak harus ada dan harus dipertahankan dalam bernegara.

Jika kita hubungkan antara nilai kebangsaan tersebut dengan eksistensi pidana mati, dapat ditarik satu pemikiran bahwa pidana mati adalah merupakan sarana atau alat untuk mencegah segala tindakan yang berupaya untuk memecah kesatuan kebangsaan.
d. Pidana Mati dan Nilai Kerakyatan
Menurut Mohammad Hatta asas kerakyatan (demokrasi) menciptakan pemerintah yang adil yang dilakukan dengan rasa tanggung jawab, agar tersusun sebaik-baiknya Demokrasi Indonesia yang mencakup demokrasi ekonomi dan demokrasi politik.

Maka sebagai perwujudan dari tanggung jawab pemerintah dalam mempresentasikan nilai keadilan, setiap orang memiliki hak-haknya sebagai manusia seutuhnya. Namun, sebagai warga negara, hak tersebut dapat dibatasi melalui instrumen undang-undang ketika menciderai hak orang lain.
e. Pidana Mati dan Keadilan Sosial
Keadilan Sosial adalah keadilan yang merata dalam segala lapangan kehidupan, dalam bidang ekonomi, sosial, kebudayaan yang dapat dirasakan oleh rakyat. Setiap langkah atau upaya mempertahankan sendi-sendi kehidupan masyarakat memang harus dilakukan dalam konteks yang kondisional dan proporsional. Dalam kaitan ini kehadiran pidana mati untuk menjaga keutuhan sendi-sendi kehidupan manusia dirasa juga sangat relevan. Berpijak dari pemahaman tentang keadilan sosial tersebut diatas, tidak ada pertentangan antara pidana mati dengan nilai keadilan sosial, karena prinsip utama pidana mati adalah menjamin keadilan sosial yang berdasarkan persamaan hak.

Pidana mati untuk Negara Indonesia masih dibutuhkan terhadap pelaku kejahatan berat, pembunuhan berencana yang dilakukan secara sadis, termasuk pelaku genosaida dan crime againt humanity, pengedar narkotika, koroptor kelas kakap dan teroris. Hanya saja, memang tehnis pelaksanaan eksekusi pidana mati itu yang perlu direvisi, sehingga mengurangi rasa sakit terpidana, misalnya dengan menggunakan suntikan yang tidak menyakitkan. 

Bertumpu pada uraian diatas, terlihat bahwa eksistensi dan filosofi pemberlakuan pidana mati terkait erat dan tidak dapat dipisah lepaskan dengan nilai-nilai Pancasial itu sendiri. Sehingga tidak mengherankan, walaupun pidana mati dirasa sebagai sanksi pidana yang keras dan kejam, tetap dipertahankan dalam hukum positif.

Dengan demikian implementasi pidana mati yang dijatuhkan dengan pembuktian dan pemeriksaan yang sangat ketat, dengan berbagai pertimbangan keamanan dan ketertiban masyarakat umum, maka jelas tidak bertentangan dengan nilai kemanusian yang adil dan beradab, justru kalau   pidana mati  tidak dilaksanakan padahal jelas-jelas telah terbukti berkekuatan tetap melanggar hukum, maka perwujudan  rasa keadilan dan  HAM telah diabaikan.



B. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hak hidup merupakan salah satu hak yang telah mendapat jaminan, baik dalam hukum Internasional maupun dalam konstitusi Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya, hak ini dapat dibatasi dengan instrumen undang-undang. 

Penerapan hukuman mati memang digolongkan sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi. Namun, pada pasal 6 ayat 2 ICCPR menjelaskan, putusan hukuman mati dapat diberikan khusus untuk kejahatan-kejahatan yang paling serius (extra ordinary).

Maka dalam implementasinya, pidana mati dapat dijatuhkan dengan pembuktian dan pemeriksaan yang sangat ketat, pun dengan berbagai pertimbangan keamanan dan ketertiban masyarakat umum. Melihat hal ini, penerapan pidana mati tampak tidak bertentangan dengan nilai kemanusian yang adil dan beradab. Justru jika   pidana mati tidak dilaksanakan, padahal jelas-jelas telah terbukti berkekuatan tetap melanggar hukum, maka telah begitu saja mengabaikan perwujudan dari rasa keadilan dan kemanusiaan.

Post a Comment for "Pidana Mati: Prespektif Hukum Internasional dan Pancasila"