Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bolehlah ku berkata #4





Pernah ku mengunggah sebuah status WhatsApp; “Cukup melihat mu sukses mereka bangga bahagia”. Kata "mereka", siapq lagi kalau tidak merujuk kepada kedua orang tua.
Pertanyaan yang kemudian menghantui ialah, kapan kah sukses itu?

Sebuah ungkapan yang paradoks memang. Menyatakan tapi tak tau akan bersikap apa, ujung-ujungnya hanyalah keluh-kesah dengan dibarengi umpatan pisuhan keputus-asaan, padahal jelas sudah memahami keputus-asaan hanyalah mereka yang selalu mengkufuri nikmat Tuhan. Duh gusti...

Well, tak berselang lama seutas wangsit pun masuk, pesan singkat dari seorang kakak kepada adiknya, “kudu dintentukan dulu kesuksesan iku apa?”, pertanyaan yang kiranya berusaha membantu menjawab pertanyaan sebelumnya. Loading sejenak… Dalam hati mengamininya.

Memang benar hal mendasar yang perlu dibangun adalah memunculkan presepsi awal tentang suatu hal itu. (Dalam hal ini) bagaimana presepsi (ku) terhadap definisi kesuksesan itu sendiri? Hingga akan dibawa kearah mana (ku) dapat menggapai kesuksesan itu?

Kali ini, pesan itu pun kembali bermunculan, seolah mencoba saling bertautan,
Ilingo nak awak mu iki santri, sak olo-olo mu yak tetepo santri,,”

Mangkane ilingono (maka ingatlah) satu kutipan yang selalu menjadi slogan mendasar kehidupan;
My soul is based on one quote; prioriting God, respecting others
Yaa, kesuksesan mendasar ialah ketika sampeyan iku telah biasa memprioritaskan Allah (menomor satukan – Nya) dan selalu menjadikan orang lain di sekitar sampeyan merasa terhormat.

Sek sek ngesok, apa hubungannya dengan membahagiakan mereka (kedua orang tua)?

"Lho, coba direspect, diinget-inget kembali nasehat nasehat apa dari orang tua yang selalu ditimpakan ke sampeyan", jawabnya sembari menguatkan pernyataannya. “Ojo lali solate yo ngger...". 

Ya, benar juga. Seutas kalimat pepiling akhir yang pasti sampeyan pernah bahkan sering mendapatkannya tiap kali berpamitan atau saat mengakhiri telepon. Menandakan bahwa memang tak dapat dinafikan orang tua akan merasa puas bilamana mengetahui anaknya menjadi saleh.

Bgaimana tidak puas karna mereka yakin tiap kali dalam munajatnya pastilah anak tersebut akan selalu menyelipkan serangkai doa terkhusus untuknya, baik selama hayat-nya maupun dikala mereka telah mangkat.

Menjadi kebanggakan pula jika anaknya memiliki kepribadian yang terpuji terutama dalam hal sesrawungan dengan orang-orang di sekitarnya. Seperti ungkapan masyarakat kampung, “anak e sopo iku kok bagus tenan lakune..” (anak nya siapa itu kok bagus sekali akhlaqnya). 

"Dan yang demikian itulah walau terlihat kecil tapi dapat mengangkat nama baik orang tua mu”, lanjutnya panjang kali lebar.

Jika dipikir-pikir, memang demikian, keinginan sederhana dari setiap orang tua, ingin anaknya menjadi anak yang soleh dan beradab, iling Tuhannya dan bertata krama terhadap lingkungannya. Tak muluk-muluk, cukup hanya itu saja.

Sek ngosek…, dalam batinku, "menormorsatukan-Nya dan membuat orang lain terhormat!!

lhahh solat ku wae dangtek, ra tau khusuk, opo maneh soal tahajudan, subuh wae dadi subha,,, urung ditambah ben dino isone mung misuhh mggersuloni tok, nggibahi bully ni wong,, sok-sok an tumindak apik mung gawe modal pencitraan tok,, yak ngono pen ngusung slogan sing sak mono sucine, diapuran mu liinn liinn…

"Aboott guss aboott..", jawabku membalas pesannya yang belum habis ternyata.

Sembari menarik pesan yang tak jadi tersampaikan, ia balas sembari menginginkan, "Sekedap-sekedap, sampean lali tah karo dawuhi iki";
“Tidak ada sesuatu yang sulit, sesuatu itu sulit karena jauh. Maka dekatilah. Jika sudah dekat dan benar benar dekat, maka akan menjadi mudah akhirnya semua kan kembali kepada “Tresno jalaran soko kulino” dan “al ‘Adatu Muhakkamah”.
Coba di dekati dulu..”, lanjutnya.

"Inggih didekati, tapii...", Jawabku merasa berat. 

"Masalahnya belum saja mau mendekat karna belum biasa, belum biasa karna memang berrat, berrat karna bawaannya maless, males karna… karna rung kebukak atine.. urung kebukak atine karna…"

"Semprull, korna karna karno teruss anane.."
"Yo karna kita nda mau mujahadah too…"

"Ibadah itu interaksi bathin antara hamba dengan Tuhannya. Puncaknya adalah ketika dia merasa dirinya hanyalah hamba yang pada hakikatnya tidak memilki apa apa, tidak bisa apa apa. Inilah yang disebut wushul (telah sampainya tujuan ma’rifatullah).

 

"Perasaan seperti itu butuh riyadhoh (latihan), butuh mudawamah (mudawwah itu terus menerus, terus langgeng tanpa mengesampingkan unsur wajib, mudawwah 11 12 dengan yang namanya istiqomah, yang artinya jejeg, ajeg, tetep, tak mengenal frustasi). Tidak bisa dilihat dari “tata lahire” (tampilan luarnya), tapi lebih pada “sumeleh bathine”(kerendah hatiannya)".

 

"Ada yang mengatakan untuk dapat dibukakan seperti itu adalah hak prerogratifnya Allah, yang namanya hidayah. Maka ilmu yang paling tingggi adalah perasaan menghamba tidak ada gunanya, yaitu wushul (sampai) kepada Allah. Untuk wushul dan dibukakannya hidayah itu , saya yakini, mujahadah adalah jalan menuju kesana”.

"Duhh gusti..”


Post a Comment for "Bolehlah ku berkata #4"