Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sumber dari Segala Sumber Keberadaban Bangsa



Tidak ada satupun manusia di muka bumi ini yang tidak mengenal hukum. Bahkan mereka yang hidup di tengah hutan pun terjerat oleh satu tatanan bernama, hukum rimba. Maka tidak heran bila semua orang terikat oleh satu ikatan yang sama, teori fiksi, semua orang (yang waras) dianggap tahu hukum.

Kebanyakan dari kita tahu bila hukum tidak melulu dari aturan yang dibentuk oleh otoritas negara. Namun, ada pula hukum yang terbentuk dari nilai-nilai yang ada di masyarakat. Pun dalam menanggapi persoalan hukum, setiap orang memiliki cara pandang, presepsi yang beragam.

Bagi masyarakat awam, khalayak umum, hukum itu (dianggap) ada bilamana akan ada akibat dari suatu tindakan, artinya (masih) banyak yang memahami bahwa ada tidaknya hukum itu tergantung dari ada tidaknya akibat kejadian yang akan ada.

Sebagaimana gambaran sederhananya, ketika tengah malam kita sebagai pengendara motor berpapasan dengan traffic light (lampu bangjo), pertanyaan mendasar, apa yang kita lakukan jika saat melewatinya, lampu menunjukkan warna merah, sedangkan jalanan tersebut terlihat sepi tidak ada siapapun. Pasti mayoritas kita akan memilih langsung bablas lanjut jalan tinimbang berhenti sejenak menunggu lampu hijau menyala.

Alasan mendasar terpilihnya suara mayor, karena logika umum telah mematahkan doktrin asal. Wong jelas cetho elo-elo, tengah malam dalan sepipi (jalannya sepi banget), ngapain ada adekan nunggu lampu hijau segala?

Bukankah sudah jelas jika hukum itu dibuat hanya untuk menertibkan saja, adanya bangjo kan fungsinya agar jalanan yang ramai pengendara menjadi tertib nggak macet dan nggak saling usel-uselan, selip-selipan?

Lha ini, jalanan sepi, ketika akibat kejadian yang dimungkinkan tidak ada, maka apa perlunya hukum, apa masih perlu bangjo?

Andai ada pihak yang berpendirian kokoh terhadap doktrin kepastian hukum hingga memilih berhenti menunggu lampu hijau, dan berasumsi kita semua tidak ada yang tau jikalau ada motor/mobil lain yang melaju kencang sedang kita memilih jalan terus, maka itulah alasan hukum itu ada, untuk sebuah kepastian. Sayangnya pihak itu lupa kalau mayoritas masyarakat kita menjunjung tinggi religiusitas, keyakinan atas qodariyah, pandangan hidup tawakkaltu ‘ala allah, itu mah urusane gusti Allah.

Terlebih dari gambaran tadi, memang pada dasarnya adanya hukum dibuat sebagai jalan terakhir untuk mencapai tertib sosial. Sebelum adanya hukum kita telah mengenal adanya nilai dan norma – norma yang telah hidup berkembang di lingkungan sekitar. Mulai dari nilai yang berwujud norma susila yang muncul dari kesadaran diri, norma kesopanan yang timbul dari interaksi masyarakat hingga norma agama berupa doktrinitas yang bersumber dari wahyu Tuhan. Sedangkan hukum sebagai norma yang diwujudkan sebagai penguat terhadap norma-norma lainnya.

Adanya pembentukan hukum karena terjadi ketidakteraturan dan pelanggaran dalam menjalankan norma – norma yang ada. Maka dibentuklah hukum sebagai kesepakatan yang memaksa berupa aturan-aturan yang mengandung sanksi bagi para pelanggarnya.

Namun sebagai antitesis kaum positivis, tidak selamanya hukum dapat menyelesaikan masalah karena secara de jure maupun de facto, banyak persoalan yang tidak dapat dielesaikan lewat jalur hukum.

Maka perlu diingat bahwa hukum merupakan langkah terakhir (ultimum remindium), tetapi hukum tidak selalu dapat menyelesaikan masalah, karena yang dapat menyelesaikan masalah itu akhlak (attitude).

Akhlak adalah bagian dari culture. Apabila culture masyarakatnya baik maka bisa saja hukum tidak lagi diperlukan. Pembangunan culture yang baik ini dapat dimulai dari penanaman akhlak pada setiap person. Adanya akhlak (dalam diri tiap person) lebih bisa menyelesaikan persoalan daripada keputusan hukum.


Namun ibarat hukum itu syariatnya dan akhlak hakekatnya, tidak dapat dinafikan masih diperlukannya syariat untuk mencapai ke tingkat hakekat. Perlu sebuah sistem hukum yang baik untuk dapat mencapai suatu masyarakat yang beradab, masyarakat yang dicita citakan (walefere society). Sehingga hukum yang dibangun ialah hukum yang menyesuaikan diri dengan nilai yang hidup di masyarakat dan merupakan alat memaksa (law as a tool of social engeneering) untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.

Terlebih dengan persoalan hukum dengan segala sistemnya, semua dikembalikan pada diri setiap person. Kembali pada penanaman akhlak merupakan hal mendasar yang seharusnya sejak dini diajarkan. Terutama dalam hal ini, akhlak terhadap lingkungan sekitar, tentang bagaimana seharusnya setiap person membaur dalam wadah society dan memahami tata krama berkomunikasi dengan lingkungan sekitar.

Pengajaran dan pembiasaan akhlaq dalam lingkup keluarga merupakan hal mendasar yang sangat efektif. Sehingga person sebagai subjek dapat mengerti dan memahami bagaimana sikapnya terhadap orang tua, kakak, adik maupun saudaranya. Apabila penanaman akhlak dalam lingkup ini telah matang, maka prinsip kepribadian beradab ini pun akan terus terbawa hingga pada lingkungan sekitar, mulai dari lingkup pertemanan misalnya.


Menyoal pertemanan setiap orang yang telah memilki keberadaban (attitude), pasti akan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai persahabatan, tidak hanya sebatas susah senang dilalui bersama melainkan lebih dari sekedar itu. Banyak diantara kita yang memilki banyak link pertemanan hingga menjalin persahabatan, tapi sangat sedikit yang bisa merawat persahabatan.

Padahal dalam bermasyarakat memperbanyak jalinan ikatan dan merawatnya sangatlah diperlukan demi menciptakan kata manis yang berbuah keharmonisan. Maka bila sejanak menilik musabab dari terputusnya jalinan persahabatan, sering kali disebabkan karena belum adanya rasa tepo seliro diantara keduanya. Adanya permasalahan kecil yang diperbesarkan menjadi rating tertinggi penyebab terputusnya sebuah ikatan. 

Maka sikap terimo ing pandum, menerima apa adanya, saling memahami kekurangan dan kesalahan yang ada hingga memnuculkan sebuah makna keikhlasan diantara kedunya, inilah yang dinamakan ridlo.
Keridloan mengajarkan mereka akan pentingnya saling memahami kekurangan dan kesalahan diantara keduanya, keridloan mengingatkan mereka untuk menerima apa adanya, keridloan menyadarkan mereka untuk mengikhlaskan kekhilafan yang terjadi, hingga keridloan menciptakan sikap saling husnudzon. Karena itulah keridloan (saling ridlo) merupakan puncak dari sebuah pertemanan, puncak dari sebuah persahabatan. Puncak dari sebuah jalinan perikatan.

Karena apabila keridloan telah membumi dalam suatu masyarakat (society), maka tak akan ada lagi rasa saling curiga, tak ada lagi arti kata wanprestasi (ingkar janji), tidak ada lagi persengketaan, pertikaian dan pertengkaran, tidak ada lagi arti kata perbuatan melawan hukum, dan seterusnya. Karna keridloan (saling ridlo) adalah puncak dari (segala permasalahan) hukum, dan puncak dari kemaslahatan.

Karna itulah, (sebagai santri) tidak semua santri itu husnul khotimah. Salah satu tanda nda khusnul khotimahnya ya santri itu ndak bisa merawat persahabatan sampe nanti-nanti, misal "menciptakan iklim mencintai tiap produk dalam negeri”.


Nb.
Sumber referensi berdasar dari hasil komparasi ngaji pagi dengan Bapak Pengasuh, Bapak KH. Drs. Jalal Suyuti S.H, dan materi kuliah sosio-antropologi hukum bersama Prof. Ratno Lukito.

Post a Comment for "Sumber dari Segala Sumber Keberadaban Bangsa"