Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kemunafikan yang Terselubung , Tapi Banyak Penirunya?


Mereka yang membangsatkan seseorang tapi tetap saja masih mengagumi serta menikmati ide-ide dan karya-karyanya. Satu pernyataan penulis usai menggibah habis-habisan malam itu, yang belakangan muncul kembali pertanyaan, Lalu siapa yang bangsat coba?

Sepertinya, hal semacam itu manusiawi. Dalam arti lumrah, tak tabu lagi. Me-anjay-anjay-kan pejabat tapi ketika berpapasan ketemu orangnya tetap saja sungkem. Itu belum sampai pada titik “salam tempel” yang melengketkan keduanya, karena diantara kedua tangan itu, terselip secarik amplop yang di dalamnya berwarnakan merah biru yang menghijaukan mata.

Sampai disini, penulis heran dengan mereka yang masih sok kukuh dengan idealisnya. Saking idealisnya, semua kawannya pada lahapnya makan, dianya sendiri sok-sokan menolak suguhan, padahal perutnya jelas berontak karena sudah seharian ndak keisi asupan.

Terus kene kudu pye? (Terus sini harus gimana?)

Satu pertanyaan yang terkadang sering muncul di saat tak terduga, terbenturnya 2 hal tadi (idealisme dan realita). Tetap kolot dengan idealisnya, atau menukar sejenak idealismenya itu demi sesuap asupan gizi.

Atau seperti perbincangan kami dengan salah satu kawan, malam itu, di salah satu kafe ternama, yang bahasanya sengitnya minta ampun dengan salah seorang tokoh. Tak usah diperjelas tokoh apa pun siapa, yang jelas saking sengitnya, beberapa kebobrokan tokoh itu ia umbar (entah benar tidaknya) diberangi sumpah serapah yang sepertinya penulis tak pantas untuk menirukannya.

Tapi, tetap saja, walaupun sumpah serapah ia lontarkan, beberapa hal yang menyangkut buah karya tokoh itupun tetap ia akui, kalau memang sosok satu ini karyanya keren banget. Sampai ia sendiri mengoleksi beberapa karyanya dan menikmati hingga sekarang.

Begitupun beberapa tokoh lain, dalam obrolan nggibah malam itu, yang saat ini sedang naik daun. Obrolan yang begitu asyiknya ia menikmati alurnya. Padahal pada saat itu, kami sedang berada di salah satu kafe milik salah satu tokoh yang sedang kami nggibahi habis-habisan.

Sampai pada titik satu umpatan yang tak lagi tertahankan, yang malah menghasilkan satu pertanyaan menunggu tanggapan, "wis tah, ngene wae, seandaine kowe ning posisi ndekne pye? Sendaine kowe dadi pak "iku" piye? Meh lapo kon?"

(Sudahlah, begini saja, seandainya kamu berada diposisi dia bagaimana? Seandainya kamu menjadi pak “itu” bagaimana? Mau ngapain kamu?)

Dan mungkin cukup sekian, sekilas kisah dan pertanyaan tadi, tidak perlu lagi kita teruskan, karena memang tidak baik untuk dilanjutkan. Selain memang penulis tidak enak hati dengan kawan yang sedang penulis nggibahi, pun tulisan ini terkesan tidak elok lagi jika diberikan kesimpulan.

Karena apa? Karena penulis hanya bagian dari kaum yang dianggap penebar keganjilan dan ketidakpastian. Sekian.

 

Post a Comment for "Kemunafikan yang Terselubung , Tapi Banyak Penirunya?"